Showing posts with label Aspirasi Politik. Show all posts
Showing posts with label Aspirasi Politik. Show all posts

Apatisme dan Sentralisasi Parpol

Masyarakat Indonesia ditengarai semakin apatis dan tidak lagi mengapresiasi keberadaan partai-partai politik, sebab kebaradaan partai politik dianggap tidak sungguh-sungguh dalam menjalankan fungsi dan perannya untuk mengartikulasikan aspirasi masyarakat.


...Ledakan partisipasi itu tampak pada dua tataran. Pertama, berdirinya partai-partai baru sebagai setelah sebelumnya terjadi pembatatasan partai politik. Dengan mudah partai-partai politik berdiri dan ikut PEMILU.
...


Persepsi merupakan temuan penting yang dipublikasikan oleh Lembaga Riset Informasi (LRI) bertema Membangun Akuntabilitas Parpol dan Wakil Rakyat belum lama ini. Tentu hasil survey itu harus menjadi perhatian dan sekaligus evaluasi bagi seluruh partai politik. Jika tidak maka eksistensi partai politik di negeri ini dalam bahaya. Persepsi masyarakat terhadap partai politik tidak terlalu menggembiraka. Sebagian besar mengatakan kinerja partai politik buruk. Partai-partai besar, yang selama ini dominant di DPR sangat tidak baik citranya. PKB dinilai buruk oleh 61,2%, disusul PPP (59,5%), PAN (55,5%), PDIP (48,4%), PKS (47,6%), PD (45,5%) dan Golkar (45,2%). Tak hanya itu, persepsi buruk terhadap kinerja partai politik itu juga memacu tumbuhnya sikap GOLPUT.
*****

Boleh jadi, hasil survey itu mengkonfirmasi kecenderungan yang sudah lama berkembang di masyarakat. Ada titik balik yang sedang terjadi dalam ledakan partipasi politik di negeri ini. Pada awal reformasi, terjadi ledakan yang cukup besar dan partisipasi politik masyarakat cukup meningkat tajam. Ledakan partisipasi itu tampak pada dua tataran. Pertama, berdirinya partai-partai baru sebagai setelah sebelumnya terjadi pembatatasan partai politik. Dengan mudah partai-partai politik berdiri dan ikut PEMILU.

Kedua, pada tataran masyarakat, sejalan dengan banyaknya partai politik masyarakat sangat antusius. Tentu saja ledakan partisipasi itu dilandasi oleh adanya harapan untuk kehidupan yang lebih baik dalam kehidupan social politik. Masyarakat menaruh harapan yang cukup besar, akan adanya perubahan yang lebih baik. Sayangnya, harapan masyarakat yang cukup besar itu tidak terbukti. Masyarakat hanya diambil suaranya untuk legitimasi politik semata, dan setelah itu, jarak menjadi membentang antara harapan dan kenyataan yang dihadapi oleh masyarakat.

Partai politik menjadi sibuk dengan urusannya sendiri. Konstituen yang telah memilih, tidak terlalu diurusi dan sebaliknya, banyak partai yang sangat ramai dengan urusan-urusan elit semata yang jauh dengan masalah yang dihadapi masyarakat. Pendek kata, partai politik belum memberikan manfaat nyata untuk rakyat. Yang paling dominant dari partai politik adalah memperjuangkan kepentingan partai dan pengurus partai dan karena partai lebih berperan memperebutkan kekuasaan di pemerintah.
****

Pada sisi lain, kecenderungan yang juga terjadi dalam tubuh partai-partai politik di Indonesia di era reformasi ini justru mengarah ke sentralisasi, terutama dalam penentuan calon-calon yang hendak mengikuti pemilihan legislatif maupun pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Sentralisasi itu bisa terlihat dalam penentuan calon kepala daerah. Meski daerah mengusulkan salah satu kader parpol di daerah, misalnya ketua parpol di tingkat daerah, untuk maju dalam Pilkada, putusannya tetap berada di pengurus parpol di tingkat pusat. Semua keputusan akhir berada di tangan elit pimpinan pusat, sementara proses rekruitmen dan kaderisasi parpol mandek. Apalagi tidak kewajiban formal bahwa DPP akan mengusung calon yang diajukan dewan pimpinan parpol tingkat daerah.
Kecenderungan ini yang juga menyuburkan praktek nepotisme di partai politik di Indonesia sampai sekarang, baik dalam penempatan pengurus di tingkat parpol, penetapan calon legislatif maupun penentuan calon yang hendak maju dalam Pilkada. Bukan rahasia lagi, untuk bisa menjadi ketua partai politik di tingkat daerah, harus punya kedekatan dengan elit politik di pusat. Begitu juga untuk menjadi anggota pengurus parpol di tingkat daerah itu, tentu harus punya kedekatan dengan ketua partai daerah.

Mandeknya proses rekuitmen dan pengkaderan pimpinan partai mengakibatkan parpol-parpol mencari calon di luar kader untuk diusung dalam Pilkada, dan momen Pilkada itu disalahartikan dengan menggunakannya sebagai lahan mencari pendapatan.
Tidak heran kemudian, apabila menjelang pelaksanaan PILKADA, banyak partai yang mengalami gunjang ganjing. Pada tataran internal saling berseteru dan secara vulgar menjagokan kandidatnya masing-masing. Tak jarang harus berakhir dengan care taker.
Ellyasa KH Darwis

Delegimitasi Politik PLTN

Empat dari tujuh Fraksi di DPRD I Jateng secara bersama-sama menolak pemenuhan energi listrik dengan tenaga nuklir. Penolakan itu didasari atas kekhawatiran masyarakat akan bahaya yang ditimbulkan dari kegagalan reactor nuklir.

Akankah Pemerintah bersikukuh meneruskan PLTN Muria? Pertanyaan ini menjadi penting untuk dikemukakan setelah mayoritas Fraksi di DPRD I Jawa Tengah secara tegas mengemukakan sikapnya menolak pembangunan PLTN Muria. Penolakan empat fraksi di DPRD Jawa Tengah itu mengindikasikan bahwa secara politik, atau mayoritas masyarakat politik tidak setuju dengan proyek PLTN Muria. Penolakan empat fraksi itu merupakan artikulasi aspirasi warga yang dihimpun selama kegiatan reses.


Seperti diketahui bersama, selama ini pemerintah bersikukuh akan meneruskan pembangunan PLTN Muria dan tampak tidak hirau dengan suara-suara yang keberatan dengan pembangunan PLTN. Suara banyak tokoh, asosiasi dan berbagai sikap organisasi sosial keagamaan sudah lama bersuara lantang menolak dengan berbagai cara. Tak urung, mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid secara tegas mendukung penolakan pembangunan PLTN Muria. Sejauh yang berkembang selama ini, penolakan itu dilandasi oleh argumen yang nyaris sama, bahwa PLTN bukanlah pilihan rasional untuk wilayah Indonesia yang terdiri atas deretan gunung api, lempeng tektonik samudera, patahan, sesar, dan fenomena geologis lainnya.

Akankah pemerintah menafikan sikap politik empat fraksi yang nota bene mayoritas di DPRD I Jawa Tengah, akankah pemerintah terus menafikan aspirasi masyarakat yang menolak? Akankah pihak pemerintah melalui BATAN tetap bersikukuh meneruskan proyek PLTN Muria ini? Adakah ini pertanda bahwa model top down masih dipegang meski secara politik telah ditolak oleh masyarakat?

******
PLTN Muria, merupakan proyek atas investasi Mitsubitshi Heavy Industries (MHI). Pada tahun 1989, melalui anak perusahaannya NewJec telah melakukan studi kelayakan sampai pertengahan 1996. Proyek studi itu kemudian diteruskan oleh Korean Hydro Nuclear Power Co. LTD (KNHP). KNHP yang merupakan anak perusahaan KEPCO Korea, mendapatkan kontrak untuk melakukan feasibility study (studi kelayakan) dan pembangunan PLTN Muria di Jepara.

Awalnya, pembangunan PLTN Muria akan dimulai 2011 dan dengan kapasitas 6000 MG. Tekanan masyarakat yang bertubi-tubi, baik dari local, regional, nasional maupun internasional membuat proyek ini dipetieskan. Akan tetapi tampaknya pemerintah tidak hirau dan menafikan aspirasi yang berkembang di masyarakat. Secara pelan-pelan, niat untuk membangun PLTN Muria kembali dilanjutkan. Argumentasi yang dikemukakan adalah untuk mengatasi krisis energi listrik untuk masyarakat Jawa dan Bali.
Tampaknya pemerintah, berupaya mempengaruhi masyarakat agar PLTN Muria berjalan. Selama ini untuk menggoalkan keinginannya pemerintah hanya meminta masyarakat setuju. Sementara banyak yang tidak clear dari masalah ini.

Dengan kapasitas 6.000 Mega Watt, PLTN Muria akan disuplay dengan enam reactor. Satu reaktor diperkirakan akan memakan biaya 1,5 dan 2 milliar dolar AS. Jelas angka itu merupakan hutang yang harus dibayar kelak kemudian hari. Kemudian, yang juga tidak dijelaskan ke masyarakat adalah biaya dekomisioning yang konon memakan biaya sepertiga dari pembangunan PLTN itu sendiri. Masalah ini penting untuk dijelaskan ke public, sebab usia ekomonis PLTN itu berkisar 25-30 tahun. Jika sudah tidak dipakai lagi, maka harus dilakukan proses dekomisioning, mempreteli satu bersatu bangunan dan mesin-mesinnya, untuk kemudian dikuburkan agar tidak berbahaya karena bekas radiasinya.
*********

Jelas, PLTN merupakan proyek yang selain beresiko tinggi juga menyerap dana yang tidak sedikit. Bukan hanya itu, dana itu juga merupakan hutang luar negeri yang harus dilunasi.

Dari kecenderungan yang terjadi, keinginan pemerintah yang ingin memaksakan proyek PLTN Muria ini menunjukkan bahwa pemerintah masih bersikap top down, menafikan sama sekali aspirasi masyarakat yang keberatan, dan sangat teknokratis dalam mengawal project PLTN Muria ini. Satu kebijakan politik pembangunan yang hanya merujuk kepada kepentingan pragmatis dengan legitimasi ilmiah, tanpa pernah hirau terhadap aspirasi dan hati nurani masyarakat.

Oleh karena itu, menjadi niscaya dan sudah menjadi keharusan pemerintah untuk tidak memaksakan kehendaknya untuk membangun PLTN Muria. Secara politik, daya tolak politik terhadap proyek ini sangat besar. Oleh karena itu, jika diteruskan, maka pemerintah telah memaksakan kehendaknya sendiri sementara secara moral dan politik telah hilang.
Nuklir, tentu saja bukan satu-satunya alternative untuk mengatasi masalah pasokan listrik. Mengapa tidak dipikirkan alternative lain selain PLTN untuk mengatasi kekurangan pasokan listrik? Satu alternative yang lebih ramah dan relative tidak mendapatkan konfrontasi dari rakyatnya sendiri.

Kini kembali kepada pemerintah, kembali kepada Menristek dan Kepala BATAN, apakah akan tetap ngotot membela diri untuk menggoalkan proyek PLTN Muria sementara komunitas politik dengan tegas sudah menolaknya.

Ellyasa KH Darwis
Mingguan Opindo, edisi 65 27 Agustus-3 September 2007

Memahami Sikap Romo Magnis

“Penghargaan Achmad Bakrie 2007 yang disampaikan Freedom Institute tidak terkait dengan masalah lumpur panas di Sidoarjo.”

Demikian klarifikasi yang dikemukakan Freedom Institute menanggapai penolakan Romo Franz Magnis Suseno atas pemberian Perhargaan dalam bidang Pemikiran Sosial tahun 2007. Penolakan Romo Magnis itu, terkait dengan sikap dan tanggung jawab keluarga Bakrie terhadap korban Lumpur Panas Lapindo. Keluarga Bakrie, pemilik mayoritas saham di Lapindo dan sponsor Freedom Institute, dinilai tidak serius dalam menangani korban Lumpur Lapindo. Implikasinya, terjadi masalah kemanusiaan di pada korban.


Segera saja, penolakan Ramo Magnis itu mendapat dukungan dari berbagai kalangan. Sikap itu, disebut sebagai cerminan sikap moral paling obyektif. Sudah tentu, sikap Romo Magnis bisa dimaknai sebagai protes terhadap keluarga Bakrie dalam menyelesaikan Lumpur Panas Lapindo.


******
Dibalik penolakan Romo Magnis terhadap Perhargaan Bakrie itu, kembali membawa kita kepada diskursus lama soal posisi dan peran seorang intelegensia. Seperti diketahui, paling tidak ada dua pandangan yang berkembang dalam memandang peran dan posisi kaum intelektual.

Pertama, kubu yang memandang bahwa posisi dan peran kaum intelektual adalah tidak terkait dengan situasi social politik dan budaya. Jadi tugasnya adalah berpikir tanpa menghiraukan dengan situasi dan ruang politik. Ia berada pada suatu ruang dan waktu yang tidak terkait dengan situasi social politik yang melatar belakangi. Jadi ia tidak bersinggungan dengan ranah politik. Kerja dan posisi kaum intelektual adalah tidak terikat dengan latar social masyarakat. Ia berada di dunia sendiri, dunia ide, dunia Platonik. Dunia gagasan, melalui komtemplasi, penelitian, eksplorasi untuk kepentingan keilmuan yang ujungnya untuk kehidupan manusia pada masa yang akan datang.

Oleh karena bergulat dengan dunia ide, maka ia sibuk dengan gagasannya dan tidak memikirkan realitas social. Ia kelas tersendiri, kelas yang menempati posisi terhormat karena keahlian dan keseriusannya menggulati dunia ide. Sosok yang sering digambarkan adalah seorang resi, yang sibuk dan serius menggulati dunianya tanpa hirau dengan realitas sosial yang terjadi di sekelilingnya.

Kedua, pandangan yang menempatkan bahwa intelektual tidak bisa lepas dari konteks ruang dan waktu. Tugas utama kaum intelektual adalah melakukan proses concientasiasi untuk proses humanisasi. Oleh karena itu, artikulasinya tidak bisa dipisahkan untuk menyikapi segala tatanan social politik, ekonomi,budaya yang tidak memanusiakan manusia.

Bagi intelektual dalam posisi ini, dunia ide, dunia gagasan yang digulati diproyeksikan untuk melakukan proses transpormasi sosial masyarakatnya. Untuk itu, ia menempatkan diri sebagai produsen gagasan, tetapi sekaligus sebagai pelaku dalam melakukan proses transpormasi masyarakat. Oleh karena itu, ia sangat sensitive dan selalu menggunakan analisis sosial untuk melihat pola relasi sosial ekonomi dan politik. Dengan demikian, dunia keilmuan yang digulati digunakan untuk kepentingan melakukan transpormasi masyarakatnya kearah pola relasi yang lebih emansipatoris.


*****
Tidak bisa dipungkiri, sejak kasus Lumpur Panas Lapindo, keluarga Bakrie menjadi sorotan. Serangkaian tuduhan dikemukakan dari indikasi terjadinya pelanggaran terhadap UU Lingkungan, penangan korban yang jauh dari standar sphere, kecenderungan keluarga Bakri yang menyerahkan masalah Lumpur Lapindo kepada Negara, ketidak tegasan Negara dalam menangani masalah Lapindo, dan banyak lagi masalah-masalah yang terkait. Belum lagi langkah cuci tangan dengan akan menjual PT Lapindo kepada pihak lain.

Nuansa politis sangat kental dalam kasus Lumpur Panas Lapindo. Pertama, di tengah ketidak pastian nasib masyarakat, pada tataran elit, di parlemen, ada gelagat dari kekuatan politik doniman dan beberapa partai lainnya yang mengusulkan agar Lapindo jadi bencana. Mudah ditebak, gelagat ini berjalan, maka pihak Lapindo bisa cuci tangan dan Negara yang mengambil tanggung jawab. Kedua, terjadi pergeseran yang sangat cepat dalam pembicaraan masalah Lumpur Panas Lapindo. Proses hukum tidak lagi terdengar, sebaliknya yang mencuat adalah masalah bagaimana penanganan korban. Ketiga, munculnya upaya sistematis di lapangan yang mendorong peralihan tanggung jawab. Dari persoalan masyarakat dengan Lapindo, menjadi persoalan masyarakat dengan Negara. Serangkaian aksi massa korban Lapindo ke Istana Negara, beberapa waktu yang lalu, merupakan tengara bahwa di lapangan terjadi pergeseran, orang tidak lagi meminta tanggung jawab Lapindo tetapi kepada pemerintah.

Penolakan penolakan Romo Magnis itu suatu refleksi sikap moral intelektual. Sikap simbolik dan cermin nyata pemihakan Romo Magnis terhadap korban Lapindo. Masyarakat yang the voice of voiceless. Menggunakan momentum itu untuk menegaskan keperpihakanya. Sikap dan moralitasnya yang paling obyektif sebagai seorang intelektual yang terlibat dan memihak kepada nilai-nilai kemanusiaan. Memihak kelas masyarakat yang tidak berdaya sejak lumpur panas Lapindo menyembur dan hingga kini dalam ketidak pastian dan ketidakberdayaan.

Ellyasa KH Darwis
Mingguan Opindo, edisi 64, 21- 27 Agustus 2007


Lampu Kuning atau ‘Lonceng Kematian’?

Adalah Ketua Dewan Penasehat Partai Golkar, Surya Paloh, dalam kesempatan pertemuan di Palembang yang mengisaratkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik sudah menurun. Kekecewaan dan penurunan tingkat kepercayaan masyarakat itu, sebagai buah dari perilaku partai politik sendiri yang selama ini sangat sibuk dengan kepentingan-kepentingan pragmatis. Partai politik terkesan hanya mengurusi kepentingan jangka pendek untuk merengkuh kue kekuasaan dan melupakan posisi dan perannya sebagai institusi politik masyarakat.

Tentu saja, statemen itu hanya merupakan penegasan dari kecenderungan yang diam-diam sudah berkembang di masyarakat. Dari berbagai polling yang dilakukan beberapa lembaga survey, mengindikasikan ketidakpercayaan atau kekecewaan terhadap partai politik semakin meningkat. Jika kecenderungan ini makin meningkat, tentu bukan cuma lampu kuning yang menyala tetapi sudah mengarah kepada lonceng kematian partai politik.

Kecenderungan seperti itu jauh-jauh hari sudah diperkirakan banyak kalangan, saat era booming partai tahun 1998 yang lalu. Sebagian besar, partai politik yang ada, didirikan lebih mencerminkan kepentingan elit politik dibandingkan sebagai kepentingan masyarakat. Itu sebabnya, orientasi partai politik lebih menonjolkan orientasi dan kepentingan elit pemimpinnya dibandingkan dengan orientasi berbadasarkan platform dan perjuangan politik. Secara nyata telah terjadi proses personifikasi politik kepada elitnya. Oleh karena itu, orientasi elit lebih menentukan dan menjadi pertimbangan dibandingkan pemihakan atau konsistensi terhadap platform perjuangan partai politik.

****

Partai Politik, selama ini memang telah gagal menunjukkan dirinya sebagai wahana untuk memperjuangkan politik masyarakat. Tidak ada titik temu antara apa yang dipikirkan oleh elit politik dengan apa yang menjadi aspirasi masyarakat. Tidak jarang keputusan, tindakan dan orientasi politiknya berseberangan atau bahkan melukai perasaan masyarakat yang menjadi angotanya. Seringkali disebut-sebut ‘atas nama rakyat’ tetapi sesungguhnya hanya retorika belaka.

Tidak heran kemudian jika ada sementara kalangan yang mengatakan bahwa partai politik sekarang ini, hanya mengambil suara pemilihnya dalam Pemilu sebagai bekal untuk membangun legitimasi politik. Begitu Pemilu usai, maka sepi pula realisasi janji politik yang disampaikan dalam kampanye. Sementara jika ada warga, anggota atau pemilih yang mempertanyakan perilaku dan sikap partai politik, jawabannya selalu dibentengi dengan kata-kata sudah menjadi keputusan partai politik, oleh karena itu tidak boleh ditentang atau dilawan.

Dalam kadar serta intensitas tertentu, apa yang terjadi sekarang telah mengarah terjadinya hegemoni partai terhadap masyarakat. Ini tentu berbeda dengan situasi pada jaman Orba, jika sebelumnya Negara yang menghegemoni masyarakat, maka sekarang partai politik menghegemoni anggotanya sedemikian rupa, agar tetap patuh terhadap apapun yang sudah diputuskan oleh elit politik dalam parpol. Oleh karena itu, yang terjadi adalah proses komunikasi politik yang searah dari elit atau pemimpin kepada anggotanya. Tidak jarang partai politik pun menerapkan hukum besi politik untuk menyingkirkan orang-orang yang menentang atau tidak sepaham dengan keputusan partai politiknya.

****

Ada tiga persoalan yang menjadi agenda pekerjaan rumah partai politik selama ini. Pertama, soal konstituensi. Basis dukungan terhadap partai politik tampaknya tidak lagi diperlukan hanya menjelang dan pada saat pemilu. Oleh karena itu, maka secara intens dan terus menerus harus melakukan komunikasi politik dengan basisnya. Aspirasi pemilih atau pendukung, harus menjadi agenda perjuangan partai dalam kancah politik di berbagai level. Partai sudah saatnya tidak hanya mengambil suara pendukungnya hanya dalam Pemilu, tetapi juga melakukan proses pendidikan politik secara intensif dan terus menerus. Dengan demikian, terjadi proses komunikasi dua arah. Komunikasi intensif dangan konstituen, juga bisa menghindarkan partai politik untuk mengerem atau menghentikan kecenderungan elitisasi atau aristokrasi politik.

Kedua, soal integritas moral politik. Kasus-kasus moral yang terjadi di beberapa partai politik, akhir-akhir ini menunjukkan bahwa soal integritas moral politik juga menjadi persoalan. Tingginya anggapan masyarakat terhadap DPR dan Parpol sebagai lembaga yang korup sebagaimana ditunjukkan dalam survey Masyarakat Transparansi Internasional, mencerminkan bahwa persoalan integritas moral politik memang menjadi sorotan.

Ketiga, kompetensi. Kompetensi juga masih menjadi persoalan dalam elit parpol di negeri ini. Sebagian besar partai politik dalam melakukan rekrutmen masih mengandalkan jaringan primordialisme. Rekrutmen seperti ini, tentu saja tidak mengandalkan kompetensi, tetapi lebih mempertimbangkan hubungan darah, klan atau bani.

Tentu bukan hal mudah. Melakukan transpormasi dari kehidupan partai politik yang elitis ke arah kehidupan partai politik yang rasional dan akuntable kepada pendukungnya. Akan tetapi itu yang harus dilakukan jika “lampu kuning” kehidupan partai tidak berlanjut kepada denting “lonceng kematian” partai politik.

Ellyasa KH Darwis



Bebas Beropini, Bebas Berekspresi

Tanggal tujuh belas, bulan tujuh tahun dua ribu tujuh. Menjadi momentum penting di negeri ini. Pada tanggal itu, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusannya atas permintaan uji materi pasal 154 dan pasal 155 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang diajukan oleh direktur Forum Komunikasi Antar Barak Panji Utomo. Panji, salah seorang yang pernah menjadi korban dari penggunaan pasal itu dan harus mendekam di penjara selama tiga bulan setelah di putus oleh Pengadilan Negeri Aceh.


Panji Utomo, seorang dokter yang bekerja sebagai sukarelawan pasca tsunami di Aceh mengajukan uji materi pasal-pasal penebar kebencian dalam KUHP ke Mahkamah Konstitusi. Ia divonis tiga bulan penjara oleh Pengadilan Tinggi Aceh pada 18 Desember 2006. Dirinya didakwa telah mengeluarkan pernyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah negara Indonesia pada saat melakukan aksi demonstrasi di kantor Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh, pada 11 September 2006.

MK akhirnya membatalkan Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP. Dua pasal ini dianggap bertentangan dengan UUD 45 karena menghalangi kemerdekaan menyarakan pikiran dan pendapat. Seperti diketahui, Pasal 154 KUHP mengatur siapa pun yang menyatakan kebencian, permusuhan atau merendahkan pemerintah diancam pidana paling lama tujuh tahun. Pasal 155 mengatur tentang larangan penyiaran, penempelan tulisan/lukisan di depan umum yang menyatakan perasaan kebencian kepada pemerintah.

***
Dalam pertimbangannya, MK menyebutkan bahwa konteks histories struktural lahirnya dua pasal itu adalah untuk menjerat tokoh-tokoh pergerakan nasional di Hindia Belanda. Kedua pasal itu dirancang sedemikian rupa untuk mengekang dan membungkam aktivis pergerakan nasional kala itu agar tidak melakukan aktivitas politiknya.

Dalam KUHAP Belanda sendiri, tidak dikenal adanya delik tentang penebar kebencian. Menteri Kehakiman Beladan saat itu, secara tegas menolak ketika ide pasal kebencian ini dilontarkan. Kalaupun akhirnya disetujui, maka hanya ditoleransi hanya untuk diterapkan di tanah jajahannya, tetapi tidak diterapkan untuk masyarakat Belanda dan Eropa. Tak hanya itu, jauh-jauh hari, substansi pasal kebencian ini juga ditolak oleh oleh masyarakat Belanda sendiri karena bertentangan dengan prinsip kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat.

MK juga mempertimbangkan kualifikasi delik atau tindak pidana yang dirumuskan dalam paal 154 dan 155 KUHP. Dua pasal ini hanya menyaratkan terpenuhinya unsur perbuatan terlarang tanpa mengaitkan dengan akibat perbuatan. Itu sebabnya, dua pasal ini, selama ini cenderung menjadi alat kepentingan untuk melanggengkan status quo. Pasal itu juga layaknya karet, dengan mudah bisa ditafsirkan dan digunakan oleh penguasa untuk kepentingan penguasa.

Sejauh yang terjadi selama ini, dua pasal itu sangat ampuh untuk menjerat dan mengantarkan kelompok yang kritis dan vocal kepada penguasa ke jeruji besi. Pertama, menggunakan pasal 154. Suara kritis dan vocal dianggap sebagai tindakan melakukan perasaan permusuhan, kebencian, atau merendahkan pemerintah Indonesia. Kedua, jika dilakukan secara tertulis, maka kena pasal 155 KUHP dianggap sebagai menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum dan mengandung perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan pemerintah Indonesia.

****
Adalah suatu yang tidak masuk akal jika seorang warga Negara yang di Negara yang berdaulat, kemudian menyampaikan suara yang berbeda dan kritis dianggap sebagai menyebarkan kebencian terhadap pemerintahnya dan disebut sebagai memusuhi negaranya sendiri.

Menyampaikan aspirasi, merupakan hak-hak politik yang tidak boleh dihalangi oleh ketentuan apapun. Suatu hak negative (negative right), dimana peran fungsi Negara harus membatasi diri. Jika Negara terlalu banyak mengatur, maka dengan sendirinya hak-hak politik masyarakat akan terganggu atau tidak bias diimplementasikan secara optimal. Makin kurang campur tangan Negara maka akan semakin kuat dan terjamin hak-hak politik rakyat.

Pasal 154 dan 155 KUHP, yang tak lagi memiki kekuatan hukum itu, adalah contoh campur tangan Negara yang terlalu jauh campur tangan dan mengatur hak-hak politik rakyat. Parahnya lagi, ketentuan itu selama ini dipakai untuk menjadi alat. Pertama, stigmatisasi politik terhadap kelompok masyarakat yang kritis. Kedua, sebagai alat hegemoni. Dengan pasal itu, kelompok-kelompok masyarakat menjadi takut untuk mengkritisi kebijakan Negara karena akan dianggap sebagai penyebar kebencian.

Putusan MK, jelas merupakan fajar baru bagi kemerdekaan berpendapat di negeri ini. Tak ada lagi bayang-bayang delik yang mengancam kebebasan berpendapat. Penguasa sudah tidak lagi bisa menggunakan delik kebencian dan penyiaran untuk membungkam aspirasi masyarakat yang bersuara lain dalam menyikapi kebijakan politik.

Ruang publik yang bebas (free public sphere) menjadi semakin terbuka untuk menyampaikan aspirasi politiknya. Tentu saja tidak dengan sendirinya bebas berbicara apa saja, kesantunan politik tetap harus dijunjung tinggi.

Ellyasa KH Darwis
OpiniIndonesia, edisi 61, 31 Juli-5 Agustus2001

Presiden Harus Sarjana?

Opindo edisi 43, 26 Maret- 2 April 2007

SALAH satu kecenderungan yang menonjol, bahkan paling menonjol dalam setiap pembahasan tentang UU yang terkait dengan politik adalah, menguatnya aroma kepentingan politik jangka pendek untuk kepentingan kelompoknya atau partainya. Kecenderungan seperti ini, meski sudah berkali-kali dikritik tajam toh tetap menjadi daur dan selalu muncul setiap pembahasan di DPR.

Pada tahun pembahanan tentang UU Pilpres tahun 2004 misalnya, masalah persyaratan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden harus Sarjana sudah dikemukakan dengan lantang oleh Partai Golkar. Kemudian PDIP tak kalah garang, mengajukan salah satu syarat calon presiden dan wakil presiden adalah tidak sedang menjadi terdakwa. Jelas, syarat calon presiden harus sarjana dibaliknya ada kepentingan politik jangka pendek untuk menghadang Megawati Sukarno Putri. Sementara syarat agar calon presiden dan calon wakil presiden tidak sedang menjadi terdakwa, diajukan untuk menghadang laju ketua umum Partai Golkar kala itu, Akbar Tanjung, yang sedang menjadi terdakwa dalam kasus Bulog.

Bukan hanya itu, kalau kita rumut pada UU Pemilu 1999, misalnya, masalah serupa juga muncul. Partai Golkar waktu itu menghendaki agar syarat menjadi calon anggota DPR (Caleg) harus memiliki pendidikan minimal sarjana. Kubu yang kelabakan dan melakukan perlawanan kala itu adalah PPP, yang memang sebagian besar tokoh-tokohnya berasal dari pendidikan pesantren. Contoh lain, soal penerapan sistim distrik, pada Pemilu 1999 Partai Golkar menghendaki diberlakukannya system distrik murni, sementara partai-partai lain menolak. Keuntungan Golkar jika system distrik diberlakukan waktu itu, partai berlambang beringin itu memiliki tokoh-tokoh yang merata di berbagai daerah dan relative di kenal masyarakat, sementara partai-partai lain lebih-lebih partai baru, tidak memiliki kader seperti Golkar. Pada sisi lain, secara infrastuktur Golkar relative mapan dibanding partai lainnya.

Beberapa kasus yang dipaparkan menunjukkan bahwa kepentingan politik jangka pendek sangat dominant dalam setiap pembahasan ketentuan UU Politik di negeri ini, sehingga membuat produk UU tidak memiliki visi yang jelas dan pada akhirnya, hanya menjadi wadah dari kompromi demi kompromi.

*****

DEPDGARI mencantumkan persyaratan calon presiden dan calon wakil presiden harus seorang sarjana, sebagaimana tampak dalam draft penyempurnaan Paket RUU Bidang Politik juga terulang. Segera saja tendensi dibalik ketentuan itu untuk untuk menjegal langkah Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden mendatang, segera merebak ke mana. Bukan hanya di kalangan DPR tetapi juga di media massa.

Banyak kritik yang ditujukan sebagai catatan atas draft Departemen Dalam Negeri. Pertama, bahwa masalah gelar sarjana bukan masalah substansi yang harus dituangkan menjadi salah satu persyaratan. Sebab, masalah politik itu memang tidak terkait dengan soal gelar kesarjanaan.

Kedua, kepemipinan politik adalah soal konstituensi, seberapa banyak dukungan dari masyarakat yang diberikan kepada seseorang tanpa melihat latar belakang pendidikannya. Lagi pula, sarjana juga bukan jaminan untuk menakar kemampuan dan kapasitas politik seseorang.

Ketiga, secara diameteral peryaratan harus sarjana itu juga bertentangan dengan UUD 45 dan prinsip-prinsip dasar dari civil and political right. Dimana hak-hak memilih dan dipilih tidak boleh dibatasi dengan alasan apapun.

Catatan lain, bahwa selama ini proses kaderisasi politik tidak ditentukan oleh jenjang pendidikan seseorang. Dunia politik lebih ditentukan oleh bakat, insting, naluri dan panggilan hati untuk mengartikulasikan gagasan dan kenyakinan politiknya memalui mekanisme politik yang tersedia. Jadi memang, tidak relevan jika persyaratan sarjana sebagaimana diusulkan DEPDAGRI itu menjadi bagian yang harus dipenuhi oleh seorang capres dan cawapres.

Jadi, soal kompetensi dan integritas politik seorang capres dan cawapres biarlah rakyat pemilih yang menentukan. Sebab seorang sarjana tidak bisa menjadi jaminan apapun untuk bisa memimpin.


*****
OLEH karena itu, belajar dari pengalaman masa lalu, janganlah mencari-cari alas an formalistik yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara nalar. Janganlah dari awal sebuah rancangan undang-undang dibuat hanya untuk kepentingan politik jangka pendek, dengan mencari-cari sesuatu yang bersifat formal, hanya untuk mengganjal lawan yang potensial.

Masalah-masalah seperti ini, yang membuat produk dan format politik kita selama ini tidak memiliki visi yang jelas. Tolak ukurnya sederhana, bagaimana mendesign RUU yang secara substansi tidak melanggar atau menjamin setiap warga Negara mampu mengartikulasikan dan menggunakan hak-hak politiknya, termasuk hak politik warga Negara yang tidak sarjana untuk menjadi capres atau cawapres.

Barangkali ada baiknya, sebagai penutup tulisan ini, dikutip kata-kata almarhum Pramudya Ananta Toer dalam novel Bumi Manusia: Bersikap adilah sejak dalam pikiran. Ya bersifat jujurlah dalam menyusun rancangan UU PILPRES.

Memindahkan Ibu Kota

Opindo, edisi 37 12-18 Pebruari 2007

Adalah Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) A. Muhaimin Iskandar yang menilai Jakarta sudah tidak layak lagi dipertahankan sebagai ibukota negara dan pusat pemerintahan sehingga mulai perlu dipikirkan penggantinya. Harus dikaji secara serius (pemindahan ibukota negara). Peristiwa banjir yang selama beberapa hari menggenangi kawasan Jakarta, harus dijadikan momentum untuk kembali memikirkan tata ruang secara serius, termasuk kemungkinan memindahkan ibukota negara.

Argumen Muhaimin, jika Jakarta tetap dipertahankan sebagai ibukota negara, maka bukan mustahil suatu ketika Jakarta akan lumpuh. Dikatakannya, usul Ketua Umum Dewan Syuro PKB yang juga mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) agar ibukota dipindah ke Subang, Jawa Barat, bisa dikaji lebih lanjut. PKB sendiri sepakat dengan pembagian fungsi kota, misalnya pembagian antara kota pusat pemerintahan dengan pusat bisnis. Sejumlah negara maju memisahkan antara kota pusat pemerintahan dengan pusat bisnis. Amerika Serikat, misalnya, memilih Washington sebagai pusat pemerintahan, sementara pusat bisnisnya antara lain di New York, Manhattan.
Memindahkan ibukota, merupakan suatu keniscayaan. Secara obyektif, Jakarta sudah tidak kondusif lagi jika tetap dipertahankan sebagai ibukota karena sudah over capacity.

Tentu saja, memindahkan ibukota atau pusat pemerintahan bukan perkara mudah. Selain membutuhkan dana yang sangat besar, juga dibutuhkan pengkajian yang sangat serius dan tak kalah penting adalah membutuhkan konsensus nasional. Memindahkan ibu kota bukan suatu yang mudah. Banyak permasalahan yang harus dikaji secara cermat dan matang.. Tentu saja hal ini harus segera diputuskan. Jakarta sudah begitu ruwet dan bebannya begitu berat plus banjir dahsyat. Beban ganda terus menumpuk baik sebagai pusat pemerintahan pada satu sisi, juga sebagai pusat perdagangan, keuangan, dan industri. Wajar kemudian kalau terjadi penumpukan beragam fungsi di Jakarta itu selama ini, telah mengakibatkan peningkatan urbanisasi, yang pada akhirnya menambah beban Jakarta dengan banyak permasalahan sosial, yang semakin sulit terpecahkan.

****

Banyak alasan yang dikemukakan mengapa ibu kota negara harus dipindahkan. Dari karena masalahlah semrawutnya tata kota, lalu lintas dampai terakhir soal banjir yang merendam nyaris 70% wilayah Jakarta. Bajir tahun ini, bukan hanya merendam ibu kota tetapi juga merendam tempat tinggal mereka. Dambaknya jelas terhadap masalah sosial sosial, ekonomi, serta menimbulkan masalah penyakit yang selalu menyertai.

Dengan pertimbangan seperti itu, maka Jakarta dianggap tak layak lagi ibu kota negara, sebagai pusat pengendalian pemerintahan. Ketua DPR Agung Laksono dalam pembahasan RUU Tata Ruang di DPR menekankan sudah saatnya kantor presiden yang menjadi pusat pengendali pemerintahan dipindahkan ke tempat yang lebih kondusif. Tentu, banyak alasan yang patut dikaji secara seksama untuk membuat keputusan politik dalam rangka memindahkah ibu kota negara ini.

Secara geografis memang Jakarta memang tidak layak dibangun. Daerah muara Sungai Ciliwung ini terlalu banyak membawa penyakit-penyakit masyarakat tropis. Ribuan orang Eropa meninggal dunia karena malaria. Raffles pernah mencoba memindahkannya ke Bogor. Hasil pekerjaan Raffles masih kita rasakan, yakni Kebun Raya Bogor yang menghimpun banyak kekayaan tumbuhan-tumbuhan. Demikian juga Soekarno pernah berencana mau memindahkan ibu kota negara ini. Hal yang sama juga pernah digagas oleh mantan presiden Suharto, sempat pula muncul wacana untuk memindahkan Jakarta ke Jonggol, Bogor, yang berjarak sekitar 70 kilometer dari Istana Negara saat ini.

****

Bencana Banjir besar yang menggenangi hampir 70 persen wilayah Jakarta, tampaknya mendorong mencuatnya wacana untuk memindahkahkan ibu kota negara ke tempat yang paling aman. Kini Komisi II II DPR, Chozin Cumaidy, sedang sudah dibahas serius di DPR. Dan konon, DPR sudah melakukan pertemuan beberapa kali dengan
Mendagri M Ma'ruf.

Kabarnya juga,.Tim komisi II sudah melakukan kunjungan ke beberapa daerah yang memang layak dijadikan ibu kota negara. Hanya saja, karena masalah ibu kota negara ini sudah ada ketetapan undang-undanganya, maka tentunya UU tersebut harus direvisi dulu
Kalau ibu kota mau dipindahkan.

Soal pemindahan ibu kota negara ini, memang mendapat tanggapan beragam. Kesimpulannya hampir seragam, Jakarta sudah tidak lagi jadi ibu kota yang layak. Jalanan macet dimana-mana sehingga tak layak lagi menjadi pusat pemerintahan. Selain daerah langganan banjir, tata kotanya juga makin hari makin semrawut dengan jumlah penduduk yang makin bertambah setiap tahunnya.

Bisa jadi, kita harus mencontoh Malaysia yang memindahkan ibu kotanya dari Kuala Lumpur ke Putrajaya. Atau, model Australia yang yang memindahkan pusat pemerintahannya ke Canberra. Jadi, Jakarta dijadikan saja pusat kota niaga seperti New York, sementara pusat pemerintahan Amerika Serikat berada di Washington.

Jika demikian halnya, tinggal kota mana yang layak mendapat kehormatan untuk dipilih sebagai pusat pemerintahan. Pasti akan ramai nanti.

Ellyasa KH Darwis

Memperbesar Kewenangan Badan Kehormatan


Oleh Ellyasa KH Darwis, Opinindo edisi 31, 11-17 Desember 2006

BELAKANGAN ini berbagai pelanggaran kode etik oleh anggota DPR semakin banyak terungkap. Mulai dari percaloan, pemerasan, penyalahgunaan kewenangan, sampai permesuman. Untuk menyikapi ini, kewenangan Badan Kehormatan DPR perlu diperbesar. Badan Kehormatan (BK) DPR RI perlu mengubah mekaisme yang selama ini dilakukan dalam menanggapi dugaan penyimpangan etika anggota DPR dengan tidak lagi bersifat pasif, tetapi bersifat proaktif. Terhadap-kasus sepertiu itu, BK DPR perlu bertindak cepat dalam merespons tindakan angota DPR yang diduga menyimpang dari kode etik. Untuk bisa bertindak cepat, BK ketentuan internalnya yang harus terlebih dahulu dirubah. Selama ini, BK baru bertindak setelah menerima pengaduan dari masyarakat dan pimpinan DPR. Selain pasif, dengan posisi dan peran seperti itu membuat BK tidak responsive. Sementara banyak kasus-kasus yang terjadi di sekitar DPR yang publik mengetahui dengan mata telanjang.

Itu vocal point yang terungkap dalam diskusi di DPR, minggu lalu. Kesimpulan penting dari diskusi itu adalah Kewenangan BK ini dirasa perlu untuk diperbesar karena perundang-undangan dan Tata Tertib DPR selama ini sangat membatasi. Salah satu kelemahan BP DPR adalah tidak bisa bertindak proaktif, tetapi hanya menunggu laporan dari masyarakat atau Pimpinan DPR. Sementara BK sendiri juga tidak bisa memaksa pihak luar mengeksekusi keputusan BK seperti dalam kasus Aziddin di DPR yang masih tetap di DPR meskipun BK memberhentikannya.

Salah satu usulan lainnya adalag agar masyarakat harus diberi peluang me-recall anggota DPR di daerah pemilihannya melalui BK. Tujuannya untuk untuk memperbesar kontrol rakyat. Bagaimanapun anggota DPR itu, dengan wewenang dan kekuasaan yang dimiliki, jika tidak dibarengi dengan saksi dan kontrol dari pemilihnya maka peluang terjadi penyalah gunaan sangat terbuka sementara BK wewenangnya terbatas. Dari catatan yang ada, sejak Januari 2005 sampai Juli 2006 tercatat ada 75 aduan dan BK sudah memberikan 52 sanksi.

***

DENGAN peran yang pasive seperti dikemukakan di atas, harus diakui, BK DPR terlihat bekerja keras dalam memproses laporan-laporan hingga menjatuhkan sanksi. Pada saat yang sama, juga berkembang kecurigaan public tentang adanya kecenderungan yang mengindikasikan adanya “tebang pilih” di bawah payung klasifikasi jenis; ringan, sedang atau berat.

Soal tebang pilih, terkait dengan ketidakjelasan kasus pelanggaran yang sampai sekarang tidak jelas hasilnya. Sebut saja misalnya, kasus pelanggaran kode etik terkait soal ‘plesiran’ ke luar negeri, kasus percaloan anggaran yang melibatkan beberapa anggota DPR dari beberapa fraksi, yang beritanya sempat mencuat ke publik dan menjadi perhatian banyak kalangan. Seperti diketahui bersama, sampai kini, kasus itu seolah-olah disimpan dalam lemari es dan kasus-kasus itu hanya menjadi kliping berita belaka.

Banyak soal kemudian yang melingkar-lingkar di sekitar kecenderungan tebang pilih ini dan mengapa banyak kasus yang jelas-jelas diketahui publik, dan kemudian membeku di lemari es BP DPR. Banyak kalangan kemudian mencurigasi terjadinya proses negosiasi politik di belakang layar. Tak heran kemudian kalau kemandirian BK DPR kemudian dipertanyakan. Secara bersamaan juga, tampak kecenderungan bahwa upaya-upaya yang dilakukan BP DPR hanya sebatas simbolik semata, seolah-seolah, yang penting sudah ada “korban” tanpa berani menyisir kasus-kasu lainnya yang hampir sama.

Kesan yang terhindar lagi di mata publik adalah, BP DPR tak ubahnya “cagar politik” semata yang secara simbolik menggambarkan adanya institusi pengawal moral politik anggota DPR, tetapi realitasnya tak bisa berbuat banyak dan hanya mentereng di tingkat nama belaka. Hal ini tampak saat BK DPR seolah-olah diam, saat issue penerimaan amplot terjadi. Issue itu amplop DPR sudah menjadi isu public, sementara BK DPR hanya menunggu laporan belaka dan tidak proaktif meminta klarifikasi dari anggota yang sedang disoroti berkaitan dengan kasus tersebut. Padahal, peluang untuk proaktive atau peluang buat mengambil inisiative terbuka dimana dalam tata tertib DPR, tidak terdapat larangan untuk melakukan hal itu . Sementara kewenangan untuk melakukan klarifikasi cukup jelas.

***
OLEH karena itu, ke depan Badan Kehormatan DPR harus sudah saatnya perannya lebih proaktife, jemput bola dan bebas dari hambatan prosedural ataupun politik dalam pemrosesan indikasi pelanggaran tata tertib dan kode etik DPR. Terkait dengan masalah ini, maka harus segera disusun sistem pengawasan yang efektif terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi DPR.

Untuk itu, juga tidak bisa sendirian lagi, BK DPR harus menjalin kerjasama dengan instansi terkait dalam kaitan dengan tindak lanjut temuan Badan Kehormatan DPR yang berindikasi kuat terjadi tindak pidana korupsi. Jika hal ini dilakukan, maka kasus-kasus yang terjadi dan terkait dengan soal penyelewengan keuangan negara, tidak akan hanya berhenti pada sanksi politik semata.

Hal lain yang juga penting adalah, soal transparansi. Selama ini BP DPR tidak memberi akses kepada publik untuk mengetahui hasil dan proses kasus yang ditangani. Itu sebabnya, di kalanngan publik yang berkembang justru spekulasi dan interpretasi publik yang bisa mendelegitimasi keabsahan keputusan Badan Kehormatan DPR di mata publik.

Di sini, menjadi penting untuk diperhatikan rekomendasi ICW untuk me revitalisasi BK DPR. Pertama, BK DPR ke depan harus lebih pro-aktif di dalam menyikapi isu yang berkembang di public maupun laporan masyarakat mengenai indikasi pelanggaran kode etik anggota DPR RI. Kedua, BK DPR harus membuat mekanisme kerja sama dengan instansi terkait misalkan; KPK dalam kaitan dengan tindak lanjut temuan BK DPR yang berindikasi kuat terjadinya tindak pidana. Ketiga, BK harus menciptakan mekanisme pertanggungjawaban public atas laporan hasil pemeriksaan yang dilakukan agar tidak menimpulkan interpretasi di masyarakat yang justru akan mengurangi nilai keabsahan keputusan BK DPR di mata publik. Keempat, BK DPR harus mengusut tuntas kasus-kasus pelanggaran kode etik seperti kasus percaloan di DPR, kasus amplop DPR dan kasus-kasus lain serta membuka ke public mengenai hasil-hasil proses pemeriksaannya.

Block Cepu dan Perlunya Revisi UU Migas

Ellyasa KH Darwis

Setelah beberapa kali hak angket kandas, 62 orang tersebut berasal dari lima fraksi, yaitu Fraksi PDIP, PAN, PKB, PPP dan PKS akan menggunakan instrumen kelengkapan dewan, kali ini hak itu terkait dengan penetapan ExxonMobil sebagai operator Blok Cepu oleh SBY-JK.

Dalam padangan para pengusul, secara hukum telah terjadi pelanggaran kontrak, awalnya TAC (Technical Assistant Contrac) tiba-tiba diubah menjadi PSC (Production Sharing Contract). Jika bentuk kontrak TAC maka kawasan kerja tersebut milik Pertamina. Sedangkan jika kontrak berbentuk PSC maka kelola blok di bawah BP Migas. Jika PSC maka seharusnya kawasan itu ditender secara terbuka bukan penunjukkan langsung. Dengan perubahan itu, negara akan mengalami kerugian apabila Exxon menjadi operator pertama. Sebab, cost recovery-nya jauh lebih tinggi dibandingkan Pertamina yang menjadi operatornya.

Sebaliknya, jika Pertamina jadi first operator maka Pertamina akan tahu kandungan riil dan akan menikmati peak production dan kita tidak bisa dikibulin Exxon. Oleh para pengusul hak angket, keputusan pemerintah itu dianggap aneh, mengapa karena secara finansial, skill dan lainnya Pertamina sanggup. Dan sejak 2004, Exxon sudah putus kontrak TAC nya. Jika pertamina yang pegang, maka kebutuhan migas dalam negeri dan APBN akan aman.

Jadi, point penting yang disorot dalam hak angket ini adalah terjadinya penyalahgunaan wewenang. Penyerahan kepemimpinan operatorship lapangan minyak Blok Cepu kepada ExxonMobil mengandung penyalahgunaan wewenang. Sekaligus pelaksanaan kebijakan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Pada sisi lain, persoalan mendasar menyangkut kebijakan pemerintah mengenai Blok Cepu dinilai belum terungkap jelas sehingga penggunaan hak angket dirasa perlu. Mereka menilai pengelolaan Blok Cepu oleh pihak asing mengandung praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). DPR meragukan keberpihakan pemerintah kepada masyarakat luas.

Kalangan DPR juga menengarai, ada kesengajaan pelanggaran Technical Assistan Contract oleh ExxonMobil. Salah satunya adalah laporan ExxonMobil yang menyebutkan bahwa biaya yang dikeluarkan per September 2003 sebesar US$ 343 juta. Padahal menurut perhitungan Pertamina biaya yang dikeluarkan tidak lebih dari US$ 100 juta. Jadi ada potensi merugikan negara sekitar US$ 243 juta.

GRPBC (Gerakan Rakyat Penyelamatan Blok Cepu) malah menilai, dengan adanya JOA itu telah menimbulkan kerugian negara Rp 13 triliun karena tidak menunjuk Pertamina sebagai pengelola, tapi malah menyerahkan pada ExxonMobil. Exxon menyatakan biaya produksinya 6 dollar per barrel. Biaya produksi oleh Pertamina maksimum hanya 60 persen biaya Exxon, yaitu 3,6 dollar per barrel. Dengan cadangan sebesar 600 juta barrel, maka kerugian pemerintah dengan memberikan hak pengendali pada Exxon adalah 1,32 miliar dollar atau Rp 13 triliun.

Soal Blok Ceptu ini, tak ayal lagi sudah menjadi perbincangan yang hangat oleh berbagai tokoh politik. Beberapa kali, tokoh politik bertemu untuk membahas masalah Bloc Cepu dikaitkan dengan masalah nasionalisme. Umumnya, para tokoh di luar kekuasaan suaranya senada, “atas nama nasionalisme maupun manfaat ekonomi yang akan diperoleh rakyat, kandungan migas di Nusantara, termasuk Blok Cepu, seharusnya dikuasai, dimiliki, dan diatur negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai amanat konstitusi.

****
SEJAK UU No 8/1971 dicabut, diganti UU Migas No 22/2001 sehingga pola pengelolaan dan penguasaan negara atas kekayaan alam migas dan produk BBM berubah secara drastis. Pertamina tidak lagi sebagai pemegang kuasa tunggal pertambangan migas di Indonesia dan tidak lagi berhak mengontrol para kontraktor KPS-nya. Kini status Perusahaan Minyak Nasional, yang pernah menjadi kiblat dan acuan banyak negara penghasil minyak dalam mengembangkan sumber daya migas termasuk Petronas Malaysia, PDVSA Venezuela telah didegradasi menjadi PT (perseroan) biasa, sederajat dengan semua KPS bekas kontraktornya.

Dalam UU Migas No. 22/2002 itu, memang terdapat sejumlah ketentuan yang merugikan, diantaranya menyangkut penjualan minyak dan gas bagian negara dari kontraktor minyak asing. Di situ disebutkan siapa saja termasuk kontrak production sharing (KPS) boleh menjual minyak bagian negara tersebut sepanjang ditunjuk oleh BP Migas.

Kalau BP Migas menunjuk KPS yang menjual, KPS itu yang berhak menjual keluar. Berbahaya kalau KPS menjual minyak dan gas bagian negara, karena KPS ini perusahaan minyak yang juga beroperasi di banyak negara, sehingga kalau migas kita dipasarkan mereka, ada konflik kepentingan dengan kepentingan dia di negara lain yang merupakan kompetitor.

****
DI LUAR soal Block Cepu dengan ExxonMobile, harus di akui bahwa sekarang ini penting untuk dilakukan upaya UU Migas Nomor 22/2001, penyempurnaan UU Migas yang berlaku sekarang ini memang suatu keharusan, karena ada sejumlah ketentuan dalam UU tersebut yang justru berpotensi merugikan negara.

Sejumlah ketentuan yang merugikan, diantaranya menyangkut penjualan minyak dan gas bagian negara dari kontraktor minyak asing. Di situ disebutkan siapa saja termasuk kontrak production sharing (KPS) boleh menjual minyak bagian negara tersebut sepanjang ditunjuk oleh BP Migas. Kalau BP Migas menunjuk KPS yang menjual, KPS itu yang berhak menjual keluar. Berbahaya kalau KPS menjual minyak dan gas bagian negara, karena KPS ini perusahaan minyak yang juga beroperasi di banyak negara, sehingga kalau migas kita dipasarkan mereka, ada konflik kepentingan dengan kepentingan dia di negara lain yang merupakan competitor. Penjualan minyak dan gas bagian negara dari kontraktor minyak asing jangan diserahkan ke pihak ketiga, tetapi supaya dilakukan oleh entitas bisnis milik negara. Ini penting agar pendapatan negara bisa lebih maksimal dan posisi Indonesia bisa lebih kuat di mata pembeli. Apalagi BP Migas ini bukan unit bisnis sehingga dia tidak bisa menjual atau melakukan transaksi minyak dan gas kepada pihak ketiga.

Akibat mekanisme yang dikembangkan UU Migas tersebut juga berakibat biaya pokok BBM Pertamina menjadi meningkat tajam, tidak hanya disebabkan oleh naiknya harga minyak, tetapi ditimbulkan oleh biaya transaksi yang besar yang disebabkan oleh semakin berbeli-belitnya sistem yang ada. Minyak mentah produksi KPS harus dibeli Pertamina lewat pihak ketiga yang ditunjuk BP Migas. Keberadaan pihak ketiga dalam rangka menjual minyak bagian pemerintah ini merupakan mata rantai tambahan yang membebani biaya pokok BBM.

Network