Block Cepu dan Perlunya Revisi UU Migas

Ellyasa KH Darwis

Setelah beberapa kali hak angket kandas, 62 orang tersebut berasal dari lima fraksi, yaitu Fraksi PDIP, PAN, PKB, PPP dan PKS akan menggunakan instrumen kelengkapan dewan, kali ini hak itu terkait dengan penetapan ExxonMobil sebagai operator Blok Cepu oleh SBY-JK.

Dalam padangan para pengusul, secara hukum telah terjadi pelanggaran kontrak, awalnya TAC (Technical Assistant Contrac) tiba-tiba diubah menjadi PSC (Production Sharing Contract). Jika bentuk kontrak TAC maka kawasan kerja tersebut milik Pertamina. Sedangkan jika kontrak berbentuk PSC maka kelola blok di bawah BP Migas. Jika PSC maka seharusnya kawasan itu ditender secara terbuka bukan penunjukkan langsung. Dengan perubahan itu, negara akan mengalami kerugian apabila Exxon menjadi operator pertama. Sebab, cost recovery-nya jauh lebih tinggi dibandingkan Pertamina yang menjadi operatornya.

Sebaliknya, jika Pertamina jadi first operator maka Pertamina akan tahu kandungan riil dan akan menikmati peak production dan kita tidak bisa dikibulin Exxon. Oleh para pengusul hak angket, keputusan pemerintah itu dianggap aneh, mengapa karena secara finansial, skill dan lainnya Pertamina sanggup. Dan sejak 2004, Exxon sudah putus kontrak TAC nya. Jika pertamina yang pegang, maka kebutuhan migas dalam negeri dan APBN akan aman.

Jadi, point penting yang disorot dalam hak angket ini adalah terjadinya penyalahgunaan wewenang. Penyerahan kepemimpinan operatorship lapangan minyak Blok Cepu kepada ExxonMobil mengandung penyalahgunaan wewenang. Sekaligus pelaksanaan kebijakan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Pada sisi lain, persoalan mendasar menyangkut kebijakan pemerintah mengenai Blok Cepu dinilai belum terungkap jelas sehingga penggunaan hak angket dirasa perlu. Mereka menilai pengelolaan Blok Cepu oleh pihak asing mengandung praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). DPR meragukan keberpihakan pemerintah kepada masyarakat luas.

Kalangan DPR juga menengarai, ada kesengajaan pelanggaran Technical Assistan Contract oleh ExxonMobil. Salah satunya adalah laporan ExxonMobil yang menyebutkan bahwa biaya yang dikeluarkan per September 2003 sebesar US$ 343 juta. Padahal menurut perhitungan Pertamina biaya yang dikeluarkan tidak lebih dari US$ 100 juta. Jadi ada potensi merugikan negara sekitar US$ 243 juta.

GRPBC (Gerakan Rakyat Penyelamatan Blok Cepu) malah menilai, dengan adanya JOA itu telah menimbulkan kerugian negara Rp 13 triliun karena tidak menunjuk Pertamina sebagai pengelola, tapi malah menyerahkan pada ExxonMobil. Exxon menyatakan biaya produksinya 6 dollar per barrel. Biaya produksi oleh Pertamina maksimum hanya 60 persen biaya Exxon, yaitu 3,6 dollar per barrel. Dengan cadangan sebesar 600 juta barrel, maka kerugian pemerintah dengan memberikan hak pengendali pada Exxon adalah 1,32 miliar dollar atau Rp 13 triliun.

Soal Blok Ceptu ini, tak ayal lagi sudah menjadi perbincangan yang hangat oleh berbagai tokoh politik. Beberapa kali, tokoh politik bertemu untuk membahas masalah Bloc Cepu dikaitkan dengan masalah nasionalisme. Umumnya, para tokoh di luar kekuasaan suaranya senada, “atas nama nasionalisme maupun manfaat ekonomi yang akan diperoleh rakyat, kandungan migas di Nusantara, termasuk Blok Cepu, seharusnya dikuasai, dimiliki, dan diatur negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai amanat konstitusi.

****
SEJAK UU No 8/1971 dicabut, diganti UU Migas No 22/2001 sehingga pola pengelolaan dan penguasaan negara atas kekayaan alam migas dan produk BBM berubah secara drastis. Pertamina tidak lagi sebagai pemegang kuasa tunggal pertambangan migas di Indonesia dan tidak lagi berhak mengontrol para kontraktor KPS-nya. Kini status Perusahaan Minyak Nasional, yang pernah menjadi kiblat dan acuan banyak negara penghasil minyak dalam mengembangkan sumber daya migas termasuk Petronas Malaysia, PDVSA Venezuela telah didegradasi menjadi PT (perseroan) biasa, sederajat dengan semua KPS bekas kontraktornya.

Dalam UU Migas No. 22/2002 itu, memang terdapat sejumlah ketentuan yang merugikan, diantaranya menyangkut penjualan minyak dan gas bagian negara dari kontraktor minyak asing. Di situ disebutkan siapa saja termasuk kontrak production sharing (KPS) boleh menjual minyak bagian negara tersebut sepanjang ditunjuk oleh BP Migas.

Kalau BP Migas menunjuk KPS yang menjual, KPS itu yang berhak menjual keluar. Berbahaya kalau KPS menjual minyak dan gas bagian negara, karena KPS ini perusahaan minyak yang juga beroperasi di banyak negara, sehingga kalau migas kita dipasarkan mereka, ada konflik kepentingan dengan kepentingan dia di negara lain yang merupakan kompetitor.

****
DI LUAR soal Block Cepu dengan ExxonMobile, harus di akui bahwa sekarang ini penting untuk dilakukan upaya UU Migas Nomor 22/2001, penyempurnaan UU Migas yang berlaku sekarang ini memang suatu keharusan, karena ada sejumlah ketentuan dalam UU tersebut yang justru berpotensi merugikan negara.

Sejumlah ketentuan yang merugikan, diantaranya menyangkut penjualan minyak dan gas bagian negara dari kontraktor minyak asing. Di situ disebutkan siapa saja termasuk kontrak production sharing (KPS) boleh menjual minyak bagian negara tersebut sepanjang ditunjuk oleh BP Migas. Kalau BP Migas menunjuk KPS yang menjual, KPS itu yang berhak menjual keluar. Berbahaya kalau KPS menjual minyak dan gas bagian negara, karena KPS ini perusahaan minyak yang juga beroperasi di banyak negara, sehingga kalau migas kita dipasarkan mereka, ada konflik kepentingan dengan kepentingan dia di negara lain yang merupakan competitor. Penjualan minyak dan gas bagian negara dari kontraktor minyak asing jangan diserahkan ke pihak ketiga, tetapi supaya dilakukan oleh entitas bisnis milik negara. Ini penting agar pendapatan negara bisa lebih maksimal dan posisi Indonesia bisa lebih kuat di mata pembeli. Apalagi BP Migas ini bukan unit bisnis sehingga dia tidak bisa menjual atau melakukan transaksi minyak dan gas kepada pihak ketiga.

Akibat mekanisme yang dikembangkan UU Migas tersebut juga berakibat biaya pokok BBM Pertamina menjadi meningkat tajam, tidak hanya disebabkan oleh naiknya harga minyak, tetapi ditimbulkan oleh biaya transaksi yang besar yang disebabkan oleh semakin berbeli-belitnya sistem yang ada. Minyak mentah produksi KPS harus dibeli Pertamina lewat pihak ketiga yang ditunjuk BP Migas. Keberadaan pihak ketiga dalam rangka menjual minyak bagian pemerintah ini merupakan mata rantai tambahan yang membebani biaya pokok BBM.

0 komentar:

Network