Bebas Beropini, Bebas Berekspresi

Tanggal tujuh belas, bulan tujuh tahun dua ribu tujuh. Menjadi momentum penting di negeri ini. Pada tanggal itu, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusannya atas permintaan uji materi pasal 154 dan pasal 155 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang diajukan oleh direktur Forum Komunikasi Antar Barak Panji Utomo. Panji, salah seorang yang pernah menjadi korban dari penggunaan pasal itu dan harus mendekam di penjara selama tiga bulan setelah di putus oleh Pengadilan Negeri Aceh.


Panji Utomo, seorang dokter yang bekerja sebagai sukarelawan pasca tsunami di Aceh mengajukan uji materi pasal-pasal penebar kebencian dalam KUHP ke Mahkamah Konstitusi. Ia divonis tiga bulan penjara oleh Pengadilan Tinggi Aceh pada 18 Desember 2006. Dirinya didakwa telah mengeluarkan pernyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah negara Indonesia pada saat melakukan aksi demonstrasi di kantor Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh, pada 11 September 2006.

MK akhirnya membatalkan Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP. Dua pasal ini dianggap bertentangan dengan UUD 45 karena menghalangi kemerdekaan menyarakan pikiran dan pendapat. Seperti diketahui, Pasal 154 KUHP mengatur siapa pun yang menyatakan kebencian, permusuhan atau merendahkan pemerintah diancam pidana paling lama tujuh tahun. Pasal 155 mengatur tentang larangan penyiaran, penempelan tulisan/lukisan di depan umum yang menyatakan perasaan kebencian kepada pemerintah.

***
Dalam pertimbangannya, MK menyebutkan bahwa konteks histories struktural lahirnya dua pasal itu adalah untuk menjerat tokoh-tokoh pergerakan nasional di Hindia Belanda. Kedua pasal itu dirancang sedemikian rupa untuk mengekang dan membungkam aktivis pergerakan nasional kala itu agar tidak melakukan aktivitas politiknya.

Dalam KUHAP Belanda sendiri, tidak dikenal adanya delik tentang penebar kebencian. Menteri Kehakiman Beladan saat itu, secara tegas menolak ketika ide pasal kebencian ini dilontarkan. Kalaupun akhirnya disetujui, maka hanya ditoleransi hanya untuk diterapkan di tanah jajahannya, tetapi tidak diterapkan untuk masyarakat Belanda dan Eropa. Tak hanya itu, jauh-jauh hari, substansi pasal kebencian ini juga ditolak oleh oleh masyarakat Belanda sendiri karena bertentangan dengan prinsip kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat.

MK juga mempertimbangkan kualifikasi delik atau tindak pidana yang dirumuskan dalam paal 154 dan 155 KUHP. Dua pasal ini hanya menyaratkan terpenuhinya unsur perbuatan terlarang tanpa mengaitkan dengan akibat perbuatan. Itu sebabnya, dua pasal ini, selama ini cenderung menjadi alat kepentingan untuk melanggengkan status quo. Pasal itu juga layaknya karet, dengan mudah bisa ditafsirkan dan digunakan oleh penguasa untuk kepentingan penguasa.

Sejauh yang terjadi selama ini, dua pasal itu sangat ampuh untuk menjerat dan mengantarkan kelompok yang kritis dan vocal kepada penguasa ke jeruji besi. Pertama, menggunakan pasal 154. Suara kritis dan vocal dianggap sebagai tindakan melakukan perasaan permusuhan, kebencian, atau merendahkan pemerintah Indonesia. Kedua, jika dilakukan secara tertulis, maka kena pasal 155 KUHP dianggap sebagai menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum dan mengandung perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan pemerintah Indonesia.

****
Adalah suatu yang tidak masuk akal jika seorang warga Negara yang di Negara yang berdaulat, kemudian menyampaikan suara yang berbeda dan kritis dianggap sebagai menyebarkan kebencian terhadap pemerintahnya dan disebut sebagai memusuhi negaranya sendiri.

Menyampaikan aspirasi, merupakan hak-hak politik yang tidak boleh dihalangi oleh ketentuan apapun. Suatu hak negative (negative right), dimana peran fungsi Negara harus membatasi diri. Jika Negara terlalu banyak mengatur, maka dengan sendirinya hak-hak politik masyarakat akan terganggu atau tidak bias diimplementasikan secara optimal. Makin kurang campur tangan Negara maka akan semakin kuat dan terjamin hak-hak politik rakyat.

Pasal 154 dan 155 KUHP, yang tak lagi memiki kekuatan hukum itu, adalah contoh campur tangan Negara yang terlalu jauh campur tangan dan mengatur hak-hak politik rakyat. Parahnya lagi, ketentuan itu selama ini dipakai untuk menjadi alat. Pertama, stigmatisasi politik terhadap kelompok masyarakat yang kritis. Kedua, sebagai alat hegemoni. Dengan pasal itu, kelompok-kelompok masyarakat menjadi takut untuk mengkritisi kebijakan Negara karena akan dianggap sebagai penyebar kebencian.

Putusan MK, jelas merupakan fajar baru bagi kemerdekaan berpendapat di negeri ini. Tak ada lagi bayang-bayang delik yang mengancam kebebasan berpendapat. Penguasa sudah tidak lagi bisa menggunakan delik kebencian dan penyiaran untuk membungkam aspirasi masyarakat yang bersuara lain dalam menyikapi kebijakan politik.

Ruang publik yang bebas (free public sphere) menjadi semakin terbuka untuk menyampaikan aspirasi politiknya. Tentu saja tidak dengan sendirinya bebas berbicara apa saja, kesantunan politik tetap harus dijunjung tinggi.

Ellyasa KH Darwis
OpiniIndonesia, edisi 61, 31 Juli-5 Agustus2001

Network