Lampu Kuning atau ‘Lonceng Kematian’?

Adalah Ketua Dewan Penasehat Partai Golkar, Surya Paloh, dalam kesempatan pertemuan di Palembang yang mengisaratkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik sudah menurun. Kekecewaan dan penurunan tingkat kepercayaan masyarakat itu, sebagai buah dari perilaku partai politik sendiri yang selama ini sangat sibuk dengan kepentingan-kepentingan pragmatis. Partai politik terkesan hanya mengurusi kepentingan jangka pendek untuk merengkuh kue kekuasaan dan melupakan posisi dan perannya sebagai institusi politik masyarakat.

Tentu saja, statemen itu hanya merupakan penegasan dari kecenderungan yang diam-diam sudah berkembang di masyarakat. Dari berbagai polling yang dilakukan beberapa lembaga survey, mengindikasikan ketidakpercayaan atau kekecewaan terhadap partai politik semakin meningkat. Jika kecenderungan ini makin meningkat, tentu bukan cuma lampu kuning yang menyala tetapi sudah mengarah kepada lonceng kematian partai politik.

Kecenderungan seperti itu jauh-jauh hari sudah diperkirakan banyak kalangan, saat era booming partai tahun 1998 yang lalu. Sebagian besar, partai politik yang ada, didirikan lebih mencerminkan kepentingan elit politik dibandingkan sebagai kepentingan masyarakat. Itu sebabnya, orientasi partai politik lebih menonjolkan orientasi dan kepentingan elit pemimpinnya dibandingkan dengan orientasi berbadasarkan platform dan perjuangan politik. Secara nyata telah terjadi proses personifikasi politik kepada elitnya. Oleh karena itu, orientasi elit lebih menentukan dan menjadi pertimbangan dibandingkan pemihakan atau konsistensi terhadap platform perjuangan partai politik.

****

Partai Politik, selama ini memang telah gagal menunjukkan dirinya sebagai wahana untuk memperjuangkan politik masyarakat. Tidak ada titik temu antara apa yang dipikirkan oleh elit politik dengan apa yang menjadi aspirasi masyarakat. Tidak jarang keputusan, tindakan dan orientasi politiknya berseberangan atau bahkan melukai perasaan masyarakat yang menjadi angotanya. Seringkali disebut-sebut ‘atas nama rakyat’ tetapi sesungguhnya hanya retorika belaka.

Tidak heran kemudian jika ada sementara kalangan yang mengatakan bahwa partai politik sekarang ini, hanya mengambil suara pemilihnya dalam Pemilu sebagai bekal untuk membangun legitimasi politik. Begitu Pemilu usai, maka sepi pula realisasi janji politik yang disampaikan dalam kampanye. Sementara jika ada warga, anggota atau pemilih yang mempertanyakan perilaku dan sikap partai politik, jawabannya selalu dibentengi dengan kata-kata sudah menjadi keputusan partai politik, oleh karena itu tidak boleh ditentang atau dilawan.

Dalam kadar serta intensitas tertentu, apa yang terjadi sekarang telah mengarah terjadinya hegemoni partai terhadap masyarakat. Ini tentu berbeda dengan situasi pada jaman Orba, jika sebelumnya Negara yang menghegemoni masyarakat, maka sekarang partai politik menghegemoni anggotanya sedemikian rupa, agar tetap patuh terhadap apapun yang sudah diputuskan oleh elit politik dalam parpol. Oleh karena itu, yang terjadi adalah proses komunikasi politik yang searah dari elit atau pemimpin kepada anggotanya. Tidak jarang partai politik pun menerapkan hukum besi politik untuk menyingkirkan orang-orang yang menentang atau tidak sepaham dengan keputusan partai politiknya.

****

Ada tiga persoalan yang menjadi agenda pekerjaan rumah partai politik selama ini. Pertama, soal konstituensi. Basis dukungan terhadap partai politik tampaknya tidak lagi diperlukan hanya menjelang dan pada saat pemilu. Oleh karena itu, maka secara intens dan terus menerus harus melakukan komunikasi politik dengan basisnya. Aspirasi pemilih atau pendukung, harus menjadi agenda perjuangan partai dalam kancah politik di berbagai level. Partai sudah saatnya tidak hanya mengambil suara pendukungnya hanya dalam Pemilu, tetapi juga melakukan proses pendidikan politik secara intensif dan terus menerus. Dengan demikian, terjadi proses komunikasi dua arah. Komunikasi intensif dangan konstituen, juga bisa menghindarkan partai politik untuk mengerem atau menghentikan kecenderungan elitisasi atau aristokrasi politik.

Kedua, soal integritas moral politik. Kasus-kasus moral yang terjadi di beberapa partai politik, akhir-akhir ini menunjukkan bahwa soal integritas moral politik juga menjadi persoalan. Tingginya anggapan masyarakat terhadap DPR dan Parpol sebagai lembaga yang korup sebagaimana ditunjukkan dalam survey Masyarakat Transparansi Internasional, mencerminkan bahwa persoalan integritas moral politik memang menjadi sorotan.

Ketiga, kompetensi. Kompetensi juga masih menjadi persoalan dalam elit parpol di negeri ini. Sebagian besar partai politik dalam melakukan rekrutmen masih mengandalkan jaringan primordialisme. Rekrutmen seperti ini, tentu saja tidak mengandalkan kompetensi, tetapi lebih mempertimbangkan hubungan darah, klan atau bani.

Tentu bukan hal mudah. Melakukan transpormasi dari kehidupan partai politik yang elitis ke arah kehidupan partai politik yang rasional dan akuntable kepada pendukungnya. Akan tetapi itu yang harus dilakukan jika “lampu kuning” kehidupan partai tidak berlanjut kepada denting “lonceng kematian” partai politik.

Ellyasa KH Darwis



Network