Showing posts with label Budaya Politik. Show all posts
Showing posts with label Budaya Politik. Show all posts

Suraji dan PILPRES 2009

Saya dan Suraji tak saling kenal. Saya ‘mengenal ‘Suraji lewat sebuah media on line saat musim kampanye lalu. Ia sedang jualan ES di GBK Senayang dan kemudian ditanya wartawan. Sikapnya tentang PILPRES 2009, menarik saya. Ucapannya yang juga dijadikan judul berita, “siapapun presidennya saya tetap penjual es”. Bagi saya, Suraji boleh jadi merupakan representasi dari masyarakat kecil kebanyakan yang tidak menaruh harapan apapun terhadap proses politik yang sedang berjalan pada tataran elit. Siapapun presidennya, tak akan merubah dirinya.

Jika benar bacaan saya tentang Suraji, maka diam-diam ada yang tidak beres dalam proses politik yang tengah terjadi di negeri ini. Pertama, sebagaimana ditunjukkan sikap Suraji, tampak jelas bahwa selama proses kampanye para capres dan cawapres telah gagal membangun komunikasi politik dengan masyarakat kecil. Tawaran dan gagasan program yang ditawarkan oleh masing-masing pasangan, tidak mampu menggerakan orang semacam Suraji untuk tumbuh dan berkembang optimismenya pada saat terjadinya proses perubahan politik di level elit. Jargon ‘suaramu menentukan nasib bangsa’ tak mampu menggerakan dirinya. Profesi sebagai penjual es, di ibu kota pula yang sering menjadi sasaran penertiban trantib, tidak menjadi bagian dari proses politik.

Kedua, bisa jadi tawaran program yang masing-masing pasangan sangat abstrak tak mampu meresap dan menggerakan Suraji. Jika demikian persoalannya, jelas orang semacam Suraji memang tak tersentuh. Aspirasinya merasa tidak terwakilili, dengan demikian maka ia tidak merasa menjadi bagian dari proses politik Pemilihan Presiden. Bagi orang semacam Suraji, atau kalangan masyarakat kecil kebabanyak, tentu tidak membutuhkan dan tidak mau tahu soal visi misi, tak mau peduli soal strategi pembangunan, dan lain sebagainya. Baginya adalah yang penting ‘saya akan mendapatkan apa jika salah satu dari tiga pasangan itu yang terpilih”. Sayang, lagi-lagi harus disayangkan, pasangan Capres yang ikut kontestasi politik tampaknya tak pernah mendapatkan perhatian dan sentuhan.

Ketiga, narasi politik tampaknya tetap merupakan narasi elit. Persoalan akses kalangan terdekat di seputar masing-masing pasangan. Merekalah yang akan naik naun atau turun daun, sejalan dengan proses politik yang terjadi. Dengan demikian, sikap Suraji bisa dimaknai sebagai perlawanan, tak hirau dengan persoalan elit. Suatu sikap yang mungkin layak dibilang sebagai ‘saminisme’ politik. Bahasa lain mungkin sebagai apatisme politik. Sikap yang tentu saja tidak tumbuh dan berkembang dengan sendiri, tetapi sebagai refleksi pengalaman diri yang selama ini dikecewakan atau diabaikan aspirasi-aspirasi politiknya.


****
Kalangan ekonomi bawah, atau dalam bahasa yang lebih ideologis wong cilik,, kaum mustadafin. Dalam terminology yang lebih heroic dan sering digunakan rakyat. Memang sering menjadi jargon yang enak didengar dan siapapun pasti akan tergerak jika disentuh dengan sentiment ini. Rakyat merupakan jargon yang ideologis dan memang demikian seharusnya. Siapapun yang memimpin negeri, tak boleh melupakan rakyat. Sebab suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei), do’a rakyat akan cepat diterima dibandingkan doa penguasa. Rakyat pula (yang miskin dan tertindas) akan lebih dahulu masuk syurga dibandingkan dengan orang kaya dan penguasa. Demikian juga politik, tujuan politik yang paling mulia adalah tak lain untuk mensejahterakan rakyat tanpa kecuali. Sila Kelima dalam Pancasila kita pun sangat indah dan luhur: “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.”

Dalam wacana dan praksis politik pun kata rakyat, wong cilik, kaum mustadafin sangat kental. Wajar jika para politisi, dari berbagai level, sangat membutuhkan dukungan rakyat. Kita pun menyaksikan, selama musim kampanye Pilpres 2009, setiap pasangan hampir berlomba-lomba merubut simpati rakyat dengan program-program jargon yang sangat memikat hati. Layaknya ratu adil saja, semua masalah seolah-olah akan bisa dituntaskan dengan cepat dan segera apabila terpilih menjadi orang nomor satu di negeri ini.

Memukau memang. Lebih-lebih hampir setiap hari di mesia elektronik pikiran dijejali dengan iklan-iklan pencitraan, kesadaran kita sebagai rakyat sedang dicuci. Dijejali informasi yang sama memukai secara terus menerus tiada henti. Empati masyarakat terus disentuh dari sudut yang paling dalam secara lembut, empatinya digedor-gedor dan hasratnya untuk memilih terus dibarakan. Jaminan akan aman kehidupannya, juga terus disosialisasi.

“Siapapun presidennya saya tetap jualan es” seperti yang dikatakan Suraji merupakan jawaban dan sekaligus gambaran dari model komunikasi politik yang dikembangkan elit yang tidak nyambung dengan masyarakat kaum bawah. Elit politik mewacanakan narasi politiknya sendiri, sementara masyarakat juga asyik dengan narasi politiknya sendiri. Salah satu narasi politiknya, bisa jadi diekspresikan dengan cara tidak memberikan suara. Angka Golput, setelah Pemilu 1999 indikasinya terus meningkat dari Pemilu ke Pemilu. Pada PILPRES 2009 ini, tampaknya juga demikian, belum ada angka pasti memang. Akan tetapi mencermati beberapa TPS yang sepi, menggambarkan antusiasme masyarakat terhadap politik menurun tajam.

****
PILPRES 2009 dipastikan usai dengan satu putaran. Akan tetapi menurut saya ada ‘PR’ besar yang harus segera dituntaskan terkait sikap masyarakat. Ucapan Suraji harus direnungkan dalam-dalam. Ungkapan itu menggambarkan bahwa di kalangan masyarakat kecil, rakyat, kaum mustadafin sedang tumbuh dan berkembang bahwa politik dipersepsi sebagai sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan diri sendiri sebagai rakyat. Politik tidak memiliki kaitan dengan nasib dan kehidupan masa depan yang lebih baik.

Bisa jadi sikap Suraji itu mewakili pandangan yang paling banal dalam politik. Politik itu persoalan siapa mendapatkan apa. Bisa jadi, pengalaman selama ini menunjukkan bahwa yang mendapatkan apa-apa itu hanya lingkaran elit belaka, sementara rakyat seperti dirinya hanya diambil legitimasinya belaka. Suaranya diberikan saat Pemilu, setelah itu dilupakan sama sekali aspirasi politiknya.

Sebagai pihak yang tidak punya interest langsung terhadap siapapun yang jadi dalam PILPRES 2009 ini, kecuali kepentingan yang lebih substansial, pasangan SBY-Budiono memiliki tugas yang berat dan tidak mudah. Pertama-tama, mengembalikan apatisme politik masyarakat yang mulai meningkat sebagai implikasi dari menumpuknya kekecewaan politik terhadap elit politik selama ini. Kedua, saya kira pasangan SBY-Budiono harus meningkatkan sense of urgency-nya yang selama ini dianggap sebagai titik lemah dalam kepempimpinannya. Hal-hal yang menyangkut nasib orang kecil harus segera diselesaikan secara cepat dan integratif. Ketiga, kesan tebang pilih dalam memberantas KKN harus dihilangkan. Elit politik atau pejabat public yang terindikasi KKN harus diselesaikan secara serius. Ketidakpercayaan politik masyarakat, berdasarkan survey Transparansi Internasional Indonesia, selama ini karena persepsi masyaraklat terhadap lembaga politik masih tinggi. Wajar kemudian apabila membuat modal sosial demokrasi masyarakat menjadi rendah. Saya kira di tangan anda, SBY-Budioyono, yang terpilih secara mutlak dalam satu putaran untuk membuat orang semacam Suraji (dan kawan-kawanya) untuk tumbuh dan berkembang harapan politiknya. Tugas yang tak mudah memang tetapi saya nyakin pasti bisa. Lanjutkan,., [*]

Aroma Politik Kekerabatan

Aroma politik kekerabatan sangat kental dalam penyusunan daftar caleg. Beberapa partai politik, diantaranya; PDIP, PG, PAN, PBB, PPP, dan PBR ---untuk menyebut sebagian diantaranya—tak juga bisa melepaskan diri dari aroma politik kekerabatan dalam penyusunan caleg. Keluarga pemimpin partai, dan ada kecenderungan akan mewarnai dalam bursa caleg Pemilu 2009. Kecenderungan nepotisme, tampaknya bukan masalah, dan dianggap bukan lagi masalah sosial untuk menempatkan orang-orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan karena kedudukan mereka adalah warga negara yang memiliki hak.

Elit politik di setiap partai politik, tampaknya sedang menata dan menyusun langkah-langkah untuk membangun kokohnya dinasti politik keluarganya dalam kancah politik nasional. Keluarga Megawati Sukarnoputri mempersiapkan putrinya Puan Maharani, Agung Laksono mengajukan Dave Laksono dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mengajukan Edi Baskoro.

Elit-elit politik di masing-masing partai politik, sedang mempersiapkan orang-orang yang memiliki hubungan darah untuk dipromote menjadi menjadi elit politik mengikuti jejak dirinya. Kecenderungan seperti ini, politik yang berbasis pada kekekarabatan meski sejak jaman orde baru dikritik, akan tetapi tidak kunjung hilang juga. Sebaliknya, menjelang Pemilu 2009 tambah subur dan menguat di banyak partai.


****
Jelas, kecenderungan seperti itu merupakan langkah berbahaya bagi perkembangan demokrasi kebangsaan. Secara psikologis di internal partai, nepotisme pencalonan akan menggeser kader potensial yang sudah lama berkiprah dan mengabdi pada partai. Mereka tergeser hanya karena tidak memiliki patron. Hanya karena hubungan darah, anak-anak tokoh/elit partai politik itu diajukan sebagai caleg. Sementara karya, kompetensi dan integritas moral politiknya belum teruji. Hanya karena orang tuanya adalah elite partai, maka mendapatkan prevelege untuk menjadi caleg.

Kecenderungan ini juga menunjukkan bahwa politik itu lebih merupakan warisan untuk mengukuhkan pengaruh dan trah dalam politik di partainya masing-masing dan secara umum dalam belantara politik nasional. Menjadi politisi, dengan demikian dipandang sebagai persoalan hubungan darah atau persoalan hubungan biologis. Jika demikian perkembangannya, maka partai politik hanyalah merupakan sebuah kendaraan elit partai untuk mempertahankan dinasti politik. Kekuasaan, pengaruh dan posisi politik dipertahankan dan dilanggengkan geneologi politik menjadi persoalan keluarga. Dengan cara demikian, maka kelak trah, kekuasaan dan kelanggengan dinasti politik keluarga akan terjaga dan terus menerus diakui di partainya masing-masing.

Menguat dan menonjolnya politik kekerabatan dalam penyusunan caleg seperti di paparkan di atas, menunjukkan bahwa meskipun partai politik tengah dirancang sebagai sistem politik yang modern, akan tetapi dalam struktur budaya yang berkembang di kalangan elit partai ternyata masih sangat tradisional. Masih kuat bercokok budaya dan sistem lama, budaya politik kekerabatan untuk mengukuhkan dinasti politik. Sejauh yang terjadi selama ini, kecenderungan politik seperti itu sebenarnya hanya hidup dan berkembang pada masyarakat yang masih menggenggam nilai-nilai budaya kesukuan. Pada masyarakat seperti itu, pada tataran pola hubungan politik, dibangun dan dikembangkan berdasarkan garis keturunan (unilineal discent associations). Sementara dalam formasi sosial dan aliansi politik yang dibangun, bertumpu pada pertalian perkawinan dan hubungan darah.

Dalam struktur politik seperti itu, memang merupakan struktur politik yang tertutup bagi kalangan yang bukan berasal dari klan-klan penyangga. Sebaliknya kelompok yang masuk ke dalam inner circle, harus saling bahu membahu untuk menjada dan memastikan tatanan strukrur dan budaya politik yang berkembang tepat kondusif dan aman bagi klannya. Mekanisme seperti itu, terus dikembangkan dan sekaligus dianggap sebagai mekanisme yang efektif untuk bisa memastikan akses politik dan akses ekonomi tidak jatuh ke pihak lain.

*****
Mencermati kecenderungan seperti itu, maka politik sedang diarahkan sebagai sebagai masalah geneologi. Para elit partai politik sedang memperjuangkan dan melakukan langkah untuk memelihara geneologi politik di kalangan anggota keluarganya sendiri. Langkah ini dilakukan untuk kepentingan menjaga trah kekuasaan dan keberlangsungan karir politik. Dengan cara demikian, maka dengan sendirinya akses-akses ekonomi yang selama ini dibangun bisa diwariskan kepada penerusnya dari keluarga.

Garis keluarga, hubungan keluarga memang menjadi hal sangat dipercaya. Anak biologis menjadi penting untuk mengamankan posisi dibandingkan dengan anak ideologis. Bukan tanpa alasan mengapa anak biologis, hubungan darah menjadi penting dan harus dipertahankan dan dipertahankan dalam membangun genelogi politik. Ada empat hal mengapa politik kekerabatan dipertahankan dan harus diteruskan oleh penganutnya. Yaitu karena masalah emosionalitas; kepercayaan, loyalitas, solidaritas, dan proteksi.

Keempat hal itu terkait satu sama lain dan hampir-hampir saling melengkapi. Kepercayaan terkait dengan masalah pemberian kewenangan dan juga pertimbangan keamanan. Selain kepercayaan, ditopang dengan loyalitas untuk memback up dan mendukung penuh pihak yang memberi kewenangan. Sedangkan solidaritas adalah sikap untuk menjaga kekompakan agar tidak mudah digoyah dan solid. Ujung dari hubungan itu adalah masalah proteksi, yaitu kesediaan memberi perlindungan guna menjaga posisi (politik) dan memberi rasa aman.


Iklan Politik Saja Tak Cukup

Menjelang 2009, beberapa tokoh politik kini sibuk mempromosikan diri lewat berbagai media massa untuk melakukan sosialisasi diri. Langkah ini dilakukan untuk mendongkak popularitasnya di hadapan publik. Sosialisasi diri bagi seorang tokoh politik memang suatu yang penting. Dengan upaya itu paling tidak masyarakat tahu nama. Pepatah kuno berlaku di sini--- ini tampaknya yang dipegang erat-erat oleh semua politisi--- ”tak kenal maka tak memilih”.

Melalui iklan media, memang cara pragmatis untuk mendongkrak popularitas seseorang. Semakin sering muncul atau disebut media, maka dengan sendirinya akan semakin dikenal masyarakat. Akan tetapi dalam konteks kesadaran politik masyarakat, pengamat politik Arbi Sanit, menyebut kegiatan itu sebagai bentuk kecurangan kepada masyarakat. Mengapa? Jika hanya melalui iklan masyarakat tidak dapat menilai kompetensi dan integritas seseorang. Masyarakat hanya dijejali kelebihan-kelebihannya semata. Dengan cara demikian, memang popularitasnya naik. Akan tetapi, persoalannya, untuk menjadi pemimpin tidak cukup bermodalkan popularitas. Dia harus memiliki pengalaman dan terbukti teruji.

Kritik Arbi Sanit tepat. Untuk menjadi seorang pemimpin memang tidak hanya cukup bermodalkan popularitas semata. Paling tidak ada tiga hal penting yang harus menjadi pertimbangan dan harus menjadi perhatian. Pertama, masalah konstituensi. Basis dukungan menjadi suatu yang penting, lebih-lebih dalam pemilihan lansung seperti yang terjadi sekarang ini. Untuk dapat menggait dukungan, memang diperlukan upaya sosialisasi dan pencitraan yang sedemikian rupa sehingga masyakat luas mengenal dan menjatuhkan pilihan. Pertanyaannya apakah dengan cara demikian sudah cukup? Dalam kaca pandang politisi, mungkin upaya mengiklankan diri melalui media merupakan cara yang paling mudah dan praktis dalam segala hal. Seketika masyarakat bisa mengenal dan dengan demikian meningkat popularitasnya.

****
Sisi lain, yang lebih penting adalah soal kompetensi dan kapabilitas. Basis popularitas dan dukungan tentu saja tidak cukup, tanpa dilandasi oleh bekal kompetensi dan kapabilitas yang memadai atau lebih dibanding yang lain. Pengalaman selama ini membuktikan, sejak Pemilu 2004 banyak anggota DPRDII yang memiliki basis dukungan yang kuat akan tetapi kedodoran pada masalah kapabilitas dan kompetensinya. Tidak heran kemudian apabila banyak anggota DPRD yang tidak mengerti peran dan fungsinya, alin-alih mengawal aspirasi politik konstituen, banyak yang justru tak ubahnya jaman Orde Baru. Duduk, Datang dan Diam.

Masalah penting lainnya adalah integraitas moral politik. Basis dukungan didukung dengan kompetensi saja ternyata tidak cukup. Tanpa dibarengi dengan integritas moral politik, maka akan menjebak ke dalam menara teknorati. Membuat kebijakan-kebijakan yang jauh dari realitas masyarakat, asik memikirkan gagasannya sendiri yang tidak membumi dan menafikan partisipasi dan aspirasi masyarakat. Dalam kadar serta intensitas tertentu, elit politik di negeri ini, meski telah banyak yang terjebak ke dalam pembuatan kebijakan politik yang sangat teknokratik. Mengabaikan partisipasi dan aspirasi rakyat pemilihnya yang menjadi konstituen.

Pertanyaannya apakah dengan melakukan pencitraan seperti yang dilakukan sekarang ini akan mampu menjawab problem dasar yang dialami kehidupan politik kita sekarang? Jawabnya pasti tidak. Bagaimanapun politik pencitraan, tidak merupakan representasi dari realitas sesungguhnya seorang politisi. Pencitraan melalui media massa tak lebih sebagai hanya menonjolkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki. Ibaratnya hanya menambilkan panggung depan dari seorang politisi dan tidak akan menambilkan pangggung belakang seorang politisi.

Kompetensi dan integrasitas moral politik, pada dasarnya merupakan panggung belakang. Satu panggung yang tidak dengan mudah dicitrakan sedemikian rupa dalam waktu dekat. Beberapa politisi kini tengah mencoba menonjolkan sisi panggung belakang melalui iklan, tentu saja menampilkan yang baik-baik, yang kadang juga tidak sesuai dengan realitas. Menonjolkan yang baik-baik, menonjolkan segala kelebihan agar bisa diketahui publik, memang strategi dasar yang dilakukan dalam pencitraaan. Menutup rapat-rapat, atau mengaburkan masalah-masalah yang menjadi titik lemah, juga menjadi bagian yang dilakukan dalam strategi pencitraan.

Pencitraan memang penting, akan tetapi memang juga bisa menjebak masyarakat pemilih. Seperti kita tahu, berkat strategi pencitraan yang jitu dan tepat, SBY-JK mampu mengalahkan ”mesin darat” partai politik dalam Pemilu yang lalu. SBY dalam menggalang dukungan lebih menekankan kepada pencitraan dirinya untuk melawan mesin partai. Hasilnya, sangat spektakuler. Persoalannya kemudian, pencitraan yang sedemikian rupa dan mampu memukau masyarakat pemilih. Dari berbagai survey yang dilakukan, kini popularitas SBY-JK mulai menurun. Penurunan ini mengindikasikan adanya kekewaan terhadap citra yang dibangun SBY-JK sebelumnya, akan tetapi pada prakteknya setelah memegang tidak seperti yang dicitrakan sebelumnya. Wajar kemudian apabila ekspektasi masyarakat menjadi turun dan pada saat yang sama, popularitas SBY-JK menurun juga.

Bagaimanapun pencitraan itu merupakan rekayasa dan realitas media. Siapapun bisa direkayasa sedemikian rupa dengan cara dan momentum yang tepat untuk mendapatkan simpati publik. Pekerjaan media membingkai sedemikian rupa untuk kemudian melipatkan gandakan pesan. Oleh karena itu, pencitraan pada dasarnya merupakan realitas ciptaan yang dibuat sedemikian rupa, yang mendekati dengan harapan dan aspirasi masyarakat pemilih. Dengan cara demikian, harapan-harapan masyarakat diinternalisasi melalui pencitraan-pencitraan yang dilakukan melalui media massa. Pada berikutnya, masyarakat akan mempertimbangkan dan menimbang-nimbang akan harapan-harapan yang dibangun atau ditawarkan oleh elit politik. Langkah berikutnya, kegiatan pencitraan diarahkan kepada mempengaruhi pilihan politik.


*****
Apabila pencitraan semata-mata sebagai upaya mendekatkan citra elit politik dengan harapan yang berkembang di masyarakat, maka jelas pencitraan merupakan bagian dari pembodohan masyarakat. Bagaimanapun pencitraan hanya menggambarkan wajah depan dari panggung seseorang, yang sudah dipoles dan dipulas sedemikian rupa agar tampak menawan dan sejalan dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat.

Melalui pencitraan, elit politik memang sedang melakukan framing terhadap persepsi politik masyarakat untuk kepentingan dirinya. Persepsi, kesadaran dan cita rasa politik masyarakat sedang diarahkan untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas yang bersangkutan dalam kontestasi politik yang akan datang.

Jika itu yang dimaksud, maka panggung politik di negeri ini tak ubahnya panggung sandiwara semata. Sebab pencitraan hanyalah sebagian kecil dari upaya-upaya politik, bagaimanapun juga harus ada basis yang harus digalang sebagai modal dasar untuk bisa maju dalam kontestasi politik menuju kursi kepridenan periode mendatang.

Pelajaran penting mungkin bisa dipetik dari apa yang dilakukan SBY-JK pada Pilpres yang lalu, dengan modal pencitraan yang kuat, mengena dan mampu membingkai harapan politik masyarakat. SBY-JK berhasil melenggang menuju tampuk kepemimpinan di negeri ini. Mayoritas pemilih memberi mandat untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini. Belakangan diketahui, mandat dari mayoritas rakyat saja tidak cukup untuk menjalankan politik pemerintahan. Banyak tarikan-tarikan lain, di sana sini harus kompromi demi kompromi, yang ujung-ujungnya sedikit banyak meruntuhkan citra yang selama ini dibangun melalui media. Kapabilitas dan integritas politiknya menjadi dipertanyakan ketika banyak membuat kebijakan yang membuat kalangan bawah semakin terjepit oleh masalah sosial ekonomi.

Oleh karena itu, maka menjadi penting dan harus menjadi catatan bagi para elit politik yang belakangan getol melakukan pencitraan melalui media massa. Sebelum ancang-ancang untuk maju ke dalam bursa PILPRES, yang harus dilakukan adalah memperkuat partai politiknya kinerjanya meningkat dan mendapat dukungan politik sekaligus menjadi pemenang dalam Pemilu Legislative. Bagaimanapun memenangkan partai politiknya dalam kancang Pemilu Legislative merupakan cerminan dari kinerja, kompetensi dan integritas moral politiknya. Memenangkan dalam Pemilu Legislative, sudah menjadi fatsun politik, pemimpin partainya harus maju untuk memperebutkan posisi nomor satu.

Jadi, kepada elit politik di negeri ini, sebelum membuat iklan politik di media massa, ada baiknya disarankan untuk kembali ke kandang partai politiknya. Optimalisasi kerja partai politiknya agar mendapat kepercayaan dan dukungan masyarakat, setelah terbukti, baru melakukan pencitraan diri melalui media massa seluas-luasnya.

Aristokrasi Demokrasi

Opini Indonesia, Thn II.Edisi 058/9-15 Juli 2007

Proses transisi demokrasi yang tengah berjalan di negeri ini, sejak reformasi politik 1998 lalu, oleh beberapa kalangan ditengarai tengah menjurus kepada apa yang disebut sebagai aristokrasi demokrasi. Tengaranya tampak beberapa elit politik acapkali mengaitkan dirinya dengan silsilah leluhurnya. Proses sristokrasi ini, dilakukan oleh para elit politik untuk mendapatkan dukungan pemilih atas dasar silsilah atau darah biru yang mengalir dalam dirinya.

Sinyalemen itu muncul dalam Bedah Buku Bangsawan dan Kuasa: Kembalinya Para Ningrat di Dua Kota, karya AAGN Ari Dwipayana SIP MSI Di Yogyakarta beberapa hari yang lalu. Secara pragmatis, memang harus diakui, dengan mengaitkan darah birunya elit politik akan mendapat legitimasi kultural sehingga masyarakat pemilih yang sebagian besar masih feodal, akan mendukungnya.

Fenoma ini tentu saja tidak hanya terjadi pada elit politik nasional. Setiap pemilihan bupati/walikota, gubernur, atau bahkan pemilihan kepala desa, asal usul darah biru selalu menjadi legitimasi untuk mempengaruhi pemilih. Jangankan di negeri ini, dalam kadar serta intensitas tertentu, di negara maju sekalipun seperti di AS soal darah biru masih menjadi perhatian meski tidak menjadi basis legitimasi seperti di negeri ini. Klan-klan politik memang sudah menjadi tradisi dan hampir-hampir menjadi kesadaran publik.

Jika kecenderungan ini terus berkembang, memang sangat membahayakan dalam upaya mewujudkan demokrasi yang liberatif di negeri ini. Feodalisme yang dipupuk terus dan hidup-hidupkan oleh elit politik, meneguhkan feodalisme politik di negeri ini. Langkah elit politik seperti itu juga bisa diartikan sebagai upaya untuk mempertegas dirinya secara trah sebagai individu yang unggul dan oleh karena itu menjadi wajar dan sah jika dirinya tampil sebagai pemimpin.

Dalam konteks politik Jawa misalnya, seseorang yang akan memimpin harus mendapatkan ndaru/pulung mendapat legitimasi dari langit. Seseorang yang mendapat pulung/ndaru merupakan mahluk istimewa yang tentu saja dengan sendirinya direstui oleh penguasa langit untuk tampil menjadi pemimpin negeri.
****

Pertanyaannya kemudian, mengapa para elit politik negeri ini cenderung memanfaatkan trah untuk mendapatkan legitimasi atau memperteguh posisi politiknya di hadapan rakyat? Terhadap pertanyaan ini, sekurang-kurangnya terdapat beberapa penjelasan yang satu sama lain saling terkait.

Pertama, menyangkut kosmologi politik masyarakat. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih berada di desa dan sangat kental dengan kesadaran kosmologis seperti itu. Darah biru, asal usul, harus diakui memang masing menjadi alasan dan pertimbangan dalam menentukan sah atau tidaknya seseorang untuk menjadi pemimpin. Pada PILPRES yang lalu, sangat jelas bahwa elit politik selalu mengaitkan hubungan darah yang dimilikinya. Taufik Kiemas perlu membuat silsilah yang menghubungkan dirinya dengan penguasa adat Minang. Tim kampanye Amien Rais dikaitkan dengan silsilah Prabu Brawijaya dari Majapahit, dan Megawati dengan penguasa Bali melalui neneknya. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Akbar Tandjung, dan Wiranto menerima anugerah gelar pangeran dari Keraton Surakarta.

Kedua, kecenderungan itu juga dipersubur dengan penafsiran kebijakan otonomi daerah yang dimanfaatkan untuk kembali membangkitkan tradisi dan jargon-jargon budaya keraton lokal yang feodalistis.

Ketiga, pada tataran politik demokrasi yang berjalan masih sangat prosedural yang tentu saja secara substansi masih jauh. Demokrasi yang prosedural seperti ini, di mana hanya elit-elit saja yang memiliki kesempatan untuk tampil di panggung politik, tentu dengan segala modal sosial yang dimilikinya menutup peluang orang yang tidak punya trah. Sebab ia bukan siapa-siapa dalam konteks politik.
******

Sejauh yang terjadi selama ini, memang apa yang terjadi pada budaya politik yang dikembangkan para elit memang masih jauh dari diskursus demokrasi yang liberatif. Kontestasi politik lebih ditentukan oleh darah biru, hubungan kedekatan, atau patronase politik yang dirintis. Kontestasi politik tidak ditentukan oleh adanya kualitas perdebatan, dan rasionalitas politik. Kondisi seperti ini memang tidak memberi ruang kepada masyarakat awam yang berbekal knowledge-based society dan yang lebih menentukan economic-based society. Kekuatan kapital sangat menentukan untuk dapat tampil dalam kancah politik di negeri ini.

Oleh karena itu menjadi sangat wajar jika demokrasi yang terjadi di negeri ini tanpa mencerminkan formulasi tiga hal. Yaitu konstituensi, integritas dan kompetensi. Demokrasi yang aritokrasi seringkali menafikan unsur kompetensi dan integritas politik. Salah satu wujud nyata dari aristokrasi politik adalah issue politik sangat ditentukan oleh elit, jadi elit membawa isu tertentu.

Akhirnya, aristokrasi demokrasi yang dikembang dan dimanfaatklan para elit politik, membuat potensi kesadaran politik rakyat tidak tergali. Demokrasi kemudian tak ubahnya sebuah pajangan yang diambil dari sistem politik modern, tetapi aktor, budaya dan nilai-nilai yang dikembang masih berpangkal kepada budaya lama.

Ellyasa KH Darwis

Dzikir dan Bencana

Opindo, edisi 41, 11-16 Maret 2007

Pada situs resmi presiden SBY, www.presiden sby.info diberirtakan: “Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan hampir semua Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, pimpinan TNI dan Polri, serta delegasi Badan Yudikatif Republik Islam Iran yang dipimpin ketuanya, Ayatollah Seyed Mahmoud Hashemi Sharudi, hari Jumat melakukan shalat Jumat berjamah bersama masyarakat luas di Masjid Istiqlal, Jakarta. Usai shalat Jumat, Presiden SBY bersama seluruh jamaah melakukan shalat Ghaib untuk para korban yang meninggal dunia, baik meninggal akibat musibah gempa, tanah longsor, kecelakaan pesawat, kapal laut, maupun meninggal akibat yang lain.

Presiden SBY tiba di Masjid Istiqlal, dengan mengenakan baju koko dan kopiah hitam, langsung menuju ruang shalat, dimana telah menanti Wapres Jusuf Kalla serta seluruh menteri. Yang bertindak sebagai khotib adalah Nasyaruddin Umar, yang juga Dirjen Bimmas Depag, sedangkan imamnya adalah KH Habib Baidowi, imam rowatib Masjid Istiqlal. Selain shalat Ghaib, juga dilakukan doa bersama yang dipimpin KH Mustofa Bisri, yang intinya memohon pada Allah SWT agar bangsa Indonesia diberi keselamatan dan terhindar dari segala bencana”.
****

Dalam terminology agama, bencana alam dipersepsi paling tidak tiga hal. Bisa dipahami sebagai cobaan, ujian atau hukuman. Ada tiga pandangan yang berkembang di kalangan umat dalam menyikapi bencana. Bencana dianggap sebagai uqubah (hukuman), ibtila (ujian) dan tadzkiroh (peringatan). Meskipun demikian, pandangan yang lebih dominan melihat bahwa bencana alam itu sering dianggap sebagai hukuman dan ujian. Oleh karena itu selalu disikapi dengan taubat dan pasrah. Satu sikap individual yang dibarengi dengan tindakan berserah diri kepada Allah dan mohon ampun, baik dilakukan secara individual maupun kolektif dalam bentuk kegiatan ihtighosah atau dzikir.

Harus diakui, bahwa bencana itu memang fenomena alam tetapi manusia juga memiliki andil. Perubahan cara pandang keagamaan dalam memandang bencana merupakan bagian penting untuk membangun kesadaran agar masyarakat sadar pencana. Dalam khazanah pesantren, perubahan ini harus berbasis kepada masalah teologis dan fiqh.

Tidak jelas apakah apakah kegiatan presiden SBY bersama pasangannya, JK yang menghadiri dzikir nasional di Masjid Istiqlal, itu dimaksudkan untuk itu. Jika tidak keliru, kegiatan Dzikir nasional yang itu, kali kedua diselenggarakan tahun ini di Itiqlal dimaksudkan untuk memuji dan mengingat Allah.

Untuk acara ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengundang seluruh menteri dan pejabat setingkat menteri, antara lain Jaksa Agung, untuk menunaikan sholat Jumat di Masjid Istiqlal Jakarta hari ini. Selain para menteri dan pejabat setingkatnya, Presiden juga mewajibkan seluruh pejabat eselon I dan II di semua kementerian dan lembaga ikut hadir dalam acara tersebut. Tidak tangung-tanggung, undangan itu tersebut disampaikan melalui sebuah surat resmi yang ditandatangani Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi.

****
Indonesia, memang negeri paling rentan ancaman bencana karena letaknya di antara tiga lempengan benua, yaitu Asia, Amerika, dan Australia, yang secara geologis rawan dengan gempa tektonis dan gelombang tsunami. Bahkan di negeri ini juga banyak terdapat gunung berapi yang masih aktif sehingga semakin rawan dengan bencana letusan gunung berapi.
Patahan lempengan itu, bisa menimbulkan gempa tektonis, yang bisa terjadi di dasar laut dengan getaran yang besar dan dengan pergeseran tertentu, yang bisa menimbulkan gelombang tsunami.

Tentu saja, letak geografis yang potensial terjadi ancaman bencana itu, suatu yang tidak bisa ditawar dan harus diterima apa adanya. Yang bisa dilakukan oleh pemerintah, secara struktural adalah bagaimana membuat kebijakan politik yang jelas guna mengurangi resiko ancaman bahaya. Banyak kasus dalam bencana alam di negeri ini, korban jatuh bukan karena fenomena alammnya, tetapi lebih karena kondisi yang rentan.

Dengan demikian, yang harus dilakukan pemerintah adalah, jika tidak menyusun rencana strategis ke depan bagaimana cara menurunkan resiko bencananya. Pada negara-negara maju, sudah lama membuat kebijakan politik untuk mempersiapkan masyarakat hidup misalnya, masyarakat di Cologne yang terkenal dengan living with flood. Di Jepang orang sudah mempersiapkan diri apa yang harus dilakukan jika sewaktu-waktu terjadi gempa bumi. Dengan perangkat tanggap darurat yang cepat sehingga tidak banyak jatuh korban.

Di negeri ini, banyak korban jatuh saat terjadi bencana, lebih banyak karena tidak adanya pertolongan yang cepat dan segera. Pada sisi lain, banyak korban jatuh karena bencana ikutannya.

Nah pada akhirnya tulisan ini harus diakhiri dengan apresiasi apa yang dilakukan negeri ini, bahwa sebagai masyarakat yang religius itu melakukan dzikir itu suatu keharusan। Yang jadi soal justru, jika hanya semata-mata berdzikir dan melupakan langkah-langkah strategis untuk mengurangi resiko bencana dan memperkuat kerentanan masyarakat. Sebab masalah kerentanan masyarakat terhadap ancaman bahaya, oleh karena posisi negeri ini yang terletak di antara lempengan itu memang selalu potensial terjadi ancaman bencana.
Ellyasa KH Darwis

TNI Jangan Set Back


Oleh Ellyasa KH Darwis (Opindo, edisi 22, 25 September-1 Oktober 2006)

ADALAH Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi pengarahan dan pembekalan kepada sekitar seribu perwira tinggi dan perwira menengah Tentara Nasional Indonesia di Markas Besar TNI Cilangkap, Jakarta, Rabu 20/9 kemarin. Terkait dengan politik, Presiden minta anggota TNI berhenti bermain politik praktis yang menjadi roh reformasi. Secara tegas ia meminta TNI untuk meneruskan, mensukseskan reformasi dan jangan mundur. Sebab demokrasi harus tetap mekar. Oleh karena itu, TNI harus berhenti bermain politik praktis, menghormati hukum dan hak asasi manusia.

Tentu, ini bukan hal yang baru, sebelumnya pokok-pokok pikiran itu pernah disampaikan pada hari ulang tahun TNI. Kala itu, SBY 5 memerintahkan agar TNI melanjutkan reformasi dan menghormati demokrasi. Perintah ini disampaikan karena Presiden melihat masih adanya godaan kepada pimpinan TNI untuk berpolitik. Dengan tegas Presiden menggarisbawahi agar TNI jangan; mundur, tergoda, set back dan terus ke depan dengan bekal pelajaran dari masa lalu.

Stamemen SBY itu sangat penting mengingat publik selama ini masih menunggu arah dari perjalanan reformasi TNI secara hati-hati. Salah satu kekuatiran yang kental adalah, belum rampungnya reformasi internal di tubuh militer akan membuat sifat-sifat kekuasaan militer yang otoritatif dan mendominasi ranah sipil kembali hadir dalam kehidupan sekarang ini.
****

HARUS diakui, langkah penghapusan dwifungsi ABRI seiring reformasi yang ditempuh TNI sejak tahun 1999 sejauh ini memang telah mengantar TNI menjadi sosok yang lebih ramah di mata publik. Tentu citra ini berkebalikan dengan era sebelumnya, dimana kedekatan TNI dengan rezim otoritarian Orde Baru yang represif dan condong berpihak kepada penguasa kian. Citra itu kini memudar setelah serangkaian pembenahan internal dilakukan.

Secara sistematis, langkah-langkah strategis telah dilakukan TNI untuk menjauh dari dunia politik praktis.. Pertama-tama, di tingkat institusional, kebijakan itu dimulai dengan langkah penghapusan perwakilan anggota TNI di DPR hasil Pemilu 2004. Lalu, penutupan secara bertahap komando-komando teritorial di berbagai wilayah serta pembenahan bisnis yang dijalankan atau terkait institusi militer melengkapi langkah reformasi kelembagaan.

Kemudian, secara bersamaan pada tingkat kewilayahan, perlahan-lahan peranan militer dalam kiprah sosial masyarakat berkurang jauh. Peranan komando rayon militer (koramil) dalam menjalankan pengawasan dan perizinan terhadap masyarakat tak lagi dilakukan. Menyurutnya berbagai peran militer dalam kehidupan sosial itu membangkitkan kepercayaan masyarakat terhadap niat baik TNI mengevaluasi diri.

Langkah sistematis itu, jelas secara pelan-pelan membuat citra TNI membaik di mata masyarakat. Meskipun sebelumnya, terdapat tudingan-tudingan keterlibatan anggota TNI dalam berbagai kerusuhan di Poso, Ambon, Papua, dan pelanggaran HAM berat di Timor Timur. Citra negatif itu pelan-pelan hilang sejalan dengan terjadinya perubahan kebijakan TNI yang tak lagi terlibat di kancah politik praktis, dan pada sisi lain, ditunjang juga dengan membaiknya situasi politik nasional.

Meskipun demikian, diam-diam masih berkembang kekhawatiran terhadap kembalinya peranan TNI yang akhir- akhir ini kian masif dalam ranah ”sipil”, yakni di luar urusan pertahanan negara. Kekhatiran itu tetap ada di alam bawah sadar masyarakat, dan dalam kadar serta intensitas tertentu, kekhawatiran itu bahkan relatif agak meluas, termasuk kepada orang yang semata berlatar belakang militer (bukan militer aktif).
***

MESKIPUN demikian, harus diakui bahwa arah pergerakan reformasi Tentara Nasional Indonesia saat ini sudah berjalan dan TNI sendiri melalui para petingginya juga dinilai lebih terbuka terhadap berbagai masukan, baik dari lembaga swadaya masyarakat maupun pengamat, terkait perbaikan di masa datang. Meskipun demikian, sebagian pengamat politik mengatakan bahwa dalam kondisi baik itu masih ada sejumlah problem. Masih ada sebagian kalangan militer dan sipil yang bersikap konservatif dan menganggap keterlibatan militer berpolitik praktis adalah hak yang sudah diperoleh dari lahir dari institusi militer.

Meminjam terminologi Samuel P Huntington, tampaknya SBY ingin menegaskan kembali apa yang disebut sebagai kontrol obyektif sipil atas militer (objective civilian control). Ini agaknya arah yang dituju oleh reformasi internal TNIsebagaimana yang diamanatkan dalam UU TNI. Situasi eksternal yang berkembang, memang tidak memungkinkan lagi TNI berpolitik praktis. Masalah krucial sekarang adalah penggunaan hak politik (hak pilih) para anggota TNI untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum. Hak itu didasari legitimasi bahwa semua komponen bangsa, baik sipil maupun militer, memilikinya tanpa diskriminasi.

Tentu saja bila hak tersebut digunakan, ada risiko khusus terjadinya konflik politik militer karena aspirasi politik berbeda. Risiko ini ditanggung Panglima TNI, artinya ia harus mampu menjaga netralitas dan stabilitas internal TNI. Kalangan TNI tidak boleh terpancing dengan tawaran-tawaran politik yang langsung atau tidak langsung muncul dari partai-partai politik yang tengah berlaga di kompetisi politik nasional dan lokal.

Yang juga perlu dibenahi, selain menata mentalitas (agar tidak militeristik), juga cara berpikir kalangan TNI. Sudah bukan zamannya TNI berpikir lebih super ketimbang (politisi) sipil, seperti kerap dilegitimasikan pejabat militer Orde Baru. Kalangan TNI perlu memahami dan tidak usah terpancing dinamika politik sipil dan pemerintahan.

Aparat Itu Pelayan Publik

Oleh Ellysa KH Darwis, Opindo edisi 21

ADALAH Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Taufik Effendi yang mengingatkan agar seluruh aparatur di negara ini untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada rakyat, sebab rakyat adalah tuan bagi para aparatur. MENPAN menegaskan, rakyat itu adalah tuan di negeri ini, oleh karena itu aparatur adalah pelayannya. Dengan demikian, maka aparatur negara harus memberikan pelayanan yang terbaik bagi seluruh rakyat di negeri negara. Untuk itu, maka perlu dilakukan upaya pendayagunaan aparatur negara agar dalam melakukan pelayan publik aparatur negara bekerja lebih efisien, efektif, dan produktif.

Spirit dari stetemen itu, tampaknya MENPAN tengah mengingatkan bahwa sekarang aparatur tidak seperti jaman dulu yang lebih menjadi perpanjangan tangan kepentingan pengusa. Tidak lupa, ia juga menegaskan ada dua hal yang sedang dijalankan untuk menata birokrasi atau aparatur negara, agar ada kesadaran bahwa jabatan adalah amanah, sehingga terjadi transpormasi komitmen dari aparatur sebagai penguasa menjadi pelayan dan mendahulukan peranan dari wewenang.

Harapan Menpan itu, jelas menuntut perubahan pola, bila selama sebelumnya aparatur negara itu tak ubahnya pangreh projo (minta dilayani) yang selama ini menjadi mind set aparatur negara, harus siap untuk dirubah menjadi pamong projo (siap melayani). Dengan demikian, statemen itu harus dipandang sebagai political will reformasi birokrasi pelayanan publik untuk mewujudkan suatu tata kepemerintahan yang baik (good governance).

Sebelumnya, saat menjabat Presiden, Megawati pernah mengungkapkan bahwa birokrasi di Indonesia adalah birokrasi keranjang sampah. Presiden juga menyatakan bahwa dirinya enggan menaikkan gaji PNS karena dinilai kurang produktif dengan indikasi pelayanan yang diberikannya dinilai lamban dan berbelit-belit.
Birokrasi PNS sebagai birokrasi keranjang sampah bukan hanya isu belaka karena hampir 60% PNS bekerja serabutan dan tanpa punya keinginan dan motivasi kuat untuk bekerja secara profesional..

Beberapa kritikan pedas terhadap kinerja PNS dan sistem birokrasinya hendaknya dapat memacu instansi terkait untuk sesegera mungkin mereformasi manajemen PNS. Masyarakat sedang menunggu apa gerakan Menpan selanjutnya untuk memperbaiki citra PNS dan birokrasi yang makin merosot.

Paling tidak, ada lima catatan yang menjadi masalah mengapa pelayanan publik selama ini rendah. Pertama, rendahnya kualitas produk layanan. Tak dapat dipungkiri lagi kualitas produk layananpublik mendasar kualitas tak layak untuk digunakan oleh masyarakat. Kedua, rendahnya kualitas penyelenggaraan layanan. Jika dikaji, hal ini diakibatkan paradigma yang tidak memposisikan masyarakat sebagai tujuan sekaligus subyek dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Masyarakat diperlakukan sebagai pihak yang tidak memiliki daya tawar. Ketiga, ketiadaaan akses bagi kelompok rentan, penyandang cacat dan komunitas adat terpencil. Keempat, ketiadaan mekanisme komplain dan penyelesaian sengketa. Masyarakat tidak diposisikan sebagai subyek dalam penyelenggaraan pelayanan publik maka keluhan masyarakat tidak dianggap penting. Kelima, ketiadaan ruang partisipasi publik dalam penyelenggaraan pelayanan.

***

BELUM lama ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan rencana kenaikan gaji PNS pada tahun 2007.
Kata presiden, sebagai bagian dari dukungan APBN terhadap program reformasi birokrasi, akan dialokasikan kenaikan 23,3% anggaran belanja pegawai dalam tahun 2007. Dalam perhitungan belanja pegawai antara lain ditampung: (i) peningkatan gaji pokok aparatur negara dan pensiun; (ii) pembayaran gaji dan pensiunan bulan ketiga belas; (iii) perbaikan tunjangan struktural dan beberapa tunjangan fungsional; (iv) peningkatan tunjangan profesi guru dan dosen; (v) anggaran gaji PNS pusat baru sekitar 50.000 orang yang sebagian besar berasal dari pegawai honorer; (vi) kenaikan uang makan dan lauk-pauk bagi anggota TNI dan Polri sekira 20%; serta (vii) peningkatan iuran pemerintah untuk membantu perbaikan pelayanan kesehatan kepada pegawai dan pensiunan.

Dengan rencana kenaikan gaji PNS tersebut, anggaran belanja pegawai dalam RAPBN 2007 mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Pada 2006, anggaran belanja pegawai sebesar Rp 85 triliun, tahun 2007 naik menjadi Rp 94, 9 triliun.

Kenaikan gaji pada pemerintahan sebelumnya pernah dilakukan oleh presiden Abdurrahman. Alasan utama untuk menaikkan gaji PNS, termasuk anggota TNI/Polri, yakni meningkatkan kesejahteraan mereka, karena selama ini dinilai penghasilan riil yang dibawa pulang ke rumah (take home pay) kurang memadai. Dengan kenaikan itu, penghasilan riil setiap bulan bagi seorang PNS minimal Rp 1 juta.

****

MENINGKATKAN pelayanan publik, memang hal paling mendasar dan harus menjadi kesadaran aparatur negara. Masyarakat sebagai pelanggan perlu dilayani secara maksimal mengingat semua dana untuk membayar gaji mereka berasal dari masyarakat atau publik. Sehingga wajar saja jika masyarakat menuntut pelayanan prima dari instansi para pejabat publik.

Untuk itu, maka kebiasaan yang selama ini terjadi harus dirubah 180 derajat। Masyarakat tidak lagi harus mengeluarkan segala daya dan upaya agar urusannya cepat selesai. Prinsip yang diam-diam setia menerapkan prinsip, jika masih bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah. Tentu saja harus segera diakhiri.


Untuk itu, ada beberapa usulan untuk merubah birokrasi keranjang sampah menjadi birokrasi yang efektif dan efisien. Di antaranya, pertama, kebijakan zero growth harus segera diganti dengan kebijakan reduction growth. Kedua, kekurangan jumlah PNS di suatu departemen dapat dipenuhi dari departemen lainnya. Ketiga, struktur gaji PNS dibenahi dengan menerapkan merit system. Keempat, penyusunan kriteria dan indikator kinerja untuk masing-masing instansi pemerintah harus segera dilaksanakan dikaitkan dengan Laporan Kinerja Akuntabilitas Instansi Pemerintah (LAKIP), dan terakhir, pejabat yang dipilih untuk jabatan tertentu harus dipertimbangkan kapasitas, kapabilitas, dan kredibilitasnya.

Network