Showing posts with label Koalisi. Show all posts
Showing posts with label Koalisi. Show all posts

Menyeru Agar Konsisten

Presiden Susilo Banbang Yudhoyono, dalam Sidang Kabinet diperluas di Gedung Sekretariat Negara, mengingatkan agar semua pembantunya meski di tengah-tengah kegiatan politik menjelang Pemilu 2009, untuk konsisten melaksanakan tugas dan sepenuhnya menjalankan program pemerintah yang sudah ditetapkan tahun 2008-2009. Para menteri dan pejabat pemerintah bekerja lebih giat lagi, terfokus, intensif mengemban tugas, juga responsif terhadap dinamika perkembangan yang muncul dalam masyarakat. Semua program kerja kabinet, agar betul-betul bisa disukseskan.

Seperti sudah diprediksi banyak pengamat, menjelang Pemilu 2009 para menteri yang berasal dari Partai Politik, akan sibuk dengan urusan partai politiknya. Ada beberapa alasan yang dikemukakan para pengamat. Pertama, landasan KIB tidak kuat. Format koalisi dibangun semata-mata hanya kepentingan pragmatis, sesaat dan tidak diberangi dengan persamaan platform dan visi yang sama. Tidak ada kontrak politik yang dibuat secara tertulis, oleh katena itu sangat lentur. Perjalanan selama ini menunjukkan partai-partai pengusung KIB sikap politiknya mengikuti arah angin. Kadang mendukung, kadang menolak.

Kedua, sampai saat ini, tidak ada etika pemerintahan yang menegaskan bahwa ketua partai politik yang duduk di kabinet harus mundur. Oleh karena itu, kecenderungan yang terjadi selama ini, menjelang Pemilu pada saat suhu politik meninggi, semua elemen partai politik tampil ke depan dan mencitrakan diri sebagai pembela kepentingan rakyat pemilih. Tujuannya jelas, agar bisa meraup dukungan suara dalam Pemilu.

Ketiga, dalam aturan kampanye pejabat untuk berkampanye, tidak dibuat peraturan yang tegas. Ini yang kelak akan mendorong anggota Kabinet dalam dilemma, loyal kepada kabinet atau loyak terhadap partai politiknya. Kendaraan yang nota bene-nya telah mengantarkan kepada posisi sekarang. Adanya ketentuan cuti longgar bagi pejabat negara, memberi peluang besar kepada para anggota kabinet yang berasal dari partai untuk sibuk menggalang dukungan untuk partai dan melupakan posisi, peran, tugas dan tanggung jawabnya sebagai anggota kabinet.
***

Sebagai bagian dari partai politik, memang menjadi kewajiban untuk membesar partai politiknya dalam Pemilu 2009. Melakukan aktualisasi diri untuk menggalang dukungan, jelas merupakan hak politik siapapun. Hak yang melekat dan tidak bisa dilarang. Pengalaman selama ini, tunjuk saja pada era presien Habibie, beberapa menteri memilih mundur dari jabatannya semata-mata untuk kepentingan partai politiknya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Susilo Bambang Yudhoyono, yang mundur dari kabinet presiden Megawati Sukarnoputri. Langkah memilih mudur, jelas tidak akan mengganggu kinerja kabinet. Itupun harus dilakukan jauh-jauh hari. Apa yang terjadi pada era pemerintahan Megawati Soekarnoputri, beberapa menteri mengundurkan diri tiga bulan menjelang PILPRES 2004. Ketika itu, Kabinet Gotong Royong praktis tidak berjalan efektif di akhir pemerintahan Mega. Pertanyaannya, apakah sekarang ini akan ada anggota kabinet yang mundur menjelang Pemilu 2009? Sampai saat ini memang belum ada gelagat yang bisa dijadikan tengara.

Pada KIB pun sudah bisa dibayangkan. Akan terjadi konflik kepentingan di internal pemerintahan bakal mengemuka dan sulit dibendung. Peta dukungan politik pun mencair. Bukan tak mungkin, beberapa menteri dari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) pun akan mundur, entah karena akan maju dalam pencalonan sebagai calon presiden tahun berikutnya, seperti yang dilakukan Yudhoyono-Kalla di era Megawati Soekarnoputri, atau karena ingin mendukung calon lain.

Dalam konteks perbaikan kinerja kabinet, sesungguhnya sisa waktu kerja yang ada ini, tak mudah bagi pemerintah untuk memperbaiki situasi dan kondisi sekarang.

Mempertahankan keadaan yang ada, bisa jadi bakal merupakan sebuah prestasi yang harus dihargai di akhir tahun 2008 nanti. Itulah sebabnya berbagai catatan akhir tahun berbagai elemen masyarakat mengatakan pesimistis terhadap kinerja pemerintah tahun 2008 ini. Pendek kata, sepanjang tahun 2008 sampai tahun 2009, memang bukan momentum yang baik baik pemerintahan SBY-JK untuk meningkatkan kinerja kabinetnya. Momentum emas untuk mengkonsolidasi dan meningkatkan kinerja kabinet, telah berakhir.

Banyak kalangan yang memprediksi. Perjalanan kabinet ke depan, akan mengalami perubahan-perubahan peta dukungan. Di kabinet ada beberapa ketua umum partai politik dan beberapa lagi kader partai. Pasti mereka akan berjuang untuk partainya untuk Pemilu 2009. Konsolidasi di kabinet itu bakal tak solid lagi. Semua partai tentu ingin jadi pemenang di Pemilu 2009 dan menempatkan kadernya sebagai penguasa.

Situasi paling krucial, dan mungkin pada posisi titik yang paling stagnan barangkali akan terjadi saat pemilihan presiden. Peta kekuatan dukungan terhadap calon presiden, pasti akan mempengaruhi dukungan dan kinerja terhadap KIB. Perbedaan dukungan terhadap calon presiden 2009-2014, pasti akan mempengaruhi soliditas internal pemerintah.

Jelas masing-masing partai politik yang kini duduk dalam kabinet memiliki skenerio politik terkait dengan hubungannya dengan sikap politik menjelang PILPRES 2009. Beberapa partai politik yang kadernya duduk dalam KIB, PAN dan PKB, pagi-pagi sudah mengatakan kinerja KIB tidak memuaskan. Hanya karena untuk kedewasaan berpolitik dan berdemokrasilah duet Yudhoyono-Kalla harus dipertahankan sampai 2009.
---

Momentum emas KIB mungkin telah berakhir. Agak sulit merealisasi keinginan presiden SBY sebagaimana dikemukakan dalam Rapat Paripurna Kabinet yang diperluas. Semua partai, termasuk partai politik yang diakomodasi dalam KIB, tentu kini sudah memiliki skenerio dan agenda-agenda politik sendiri.

Pada akhir masa jabatan KIB, posisi menteri tentu sudah tidak memiliki arti dan posisi strategis lagi. Lebih-lebih bagi partai politik yang memiliki basis suara yang besar, pasti akan lebih konstentrasi untuk kepentingan Pemilu berikutnya dibandingkan dengan era sekarang. Pelajaran penting, lagi-lagi bisa ditarik pada pemerintahan Presiden Megawati. Para menteri yang memiliki basis suara yang besar, tidak dicopot pun para Menteri yang memiliki partai besar pasti akan keluar. Tidak dicopot justru menguntungkan, karena bisa memanfaatkan posisi untuk menantang presidennya. Suatu yang tidak lazim terjadi dalam sistem kabinet presidentil.

Sementara bagi SBY sendiri, inilah era pertaruhan masa depan politiknya. Jika pada akhir-akhir jabatannya berhasil meningkatkan kinerja pemerintahannya, tentu akan menjadi credit point sendiri sebagai modal untuk melenggang ke PILPRES berikutnya. Yang jelas, masa keemasan telah berakhir. Kabinet tentu tidak akan efektif berjalan karena menteri-menteri yang berasal dari partai politik akan berjuang untuk kepentinngan dan membesarkan dukungan partai politiknya.

Jadi memang sama-sama ’berjuang’ untuk kepentingan masa depan politiknya masing-masing. SBY berjuang meningkatkan kinerja kabinet untuk kepentingan PILPRES, sementara menteri-menteri yang berasal dari Parpol berjuang untuk masa depan partainya.


Multipartai, Koalisi dan Sistem Presidentil

Sistem politik multipartai itu tidak cocok untuk diterapkan dalam sistem presidensial seperti yang dianut di negeri ini. Ini tentu saja bukan pendapat baru, jauh-jauh sebelumnya Scott Mainwaring dalam, “Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination”, Comparative Political Studies, yang telah memperingatkan melalui tesisnya bahwa sistem presi­densial yang diterapkan dalam kontrsuksi multi partai, akan melahirkan ketidakstabilan peme­rintahan dan menghasilkan presiden minoritas dan pemerintah yang terbelah.

Tesis itu, tepat dan benar adanya. Pengalaman paling hangat dan aktual-nyata dan sedang berjalan sekarang ini. Partai-partai yang mendapat kursi di DPR terfragmentasi oleh kepentingannya masing-masing, sementara kabinet tidak cukup memiliki gigi dan selalu ragu untuk membuat kebijakan-kebijakan politik dan ekonomi yang tegas.

..."Pengalaman selama ini menunjukkan multipartai justru memperlambat pembangunan ekonomi nasional. Aktivitas birokrasi yang seharusnya bergerak cepat, tertahan karena adanya kepentingan-kepentingan politik partai yang berbeda-beda.. ...."


Minggu lalu, KPU mengumumkan hasil verifikasi faktual dan menyatakan ada 18 partai politik baru yang berhak mengikuti Pemilu 2009. Sebagai pendatang baru, akan bersaing dengan 16 partai peserta Pemilu 2004 yang secara otomatis lolos verikasi. Dengan demikian Pemilu 2009 nanti akan diikuti oleh 34 partai politik. Banyaknya partai politik yang ikut dalam kontestan Pemilu 2009 nanti, memang bukan suatu yang ideal. Pengalaman selama ini menunjukkan, sejak tahun 1955 banyaknya partai politik memang berimplikasi terhadap ketidak stabilan politik. Pengajalan selama era reformasi dengan jelas menunjukkan bahwa banyak partai politik berbanding lurus dengan ketidakstabilan politik. Multipartai tidak akan menghasilkan pemerintahan yang kuat.

Pengalaman selama ini menunjukkan multipartai justru memperlambat pembangunan ekonomi nasional. Aktivitas birokrasi yang seharusnya bergerak cepat, tertahan karena adanya kepentingan-kepentingan politik partai yang berbeda-beda. Seringkali kebijakan yang seharusnya diambil cepat dan segera, harus berlarut-larut menunggu titik temu atau kompromi politik. Wajar kemudian apabila banyak kalangan yang kemudian mengatakan bahwa multipartai itu menghambat pembangunan ekonomi. Salah satu masalah yang dihadapi dan tampaknya tidak menjadi kesadaran kalangan politisi adalah adanya kesenjangan antara politik dengan kebutuhan ekonomi. Selama ini apa yang diputuskan secara politik dengan kebutuhan ekonomi semua tidak jalan dan tidak berjalan sendiri-sendiri. Hasil Pemilu 2004 misalnya, meski terbangun koalisi, akan tetapi warnanya abu-abu yang jelas hal itu sangan pemerintah. Anggota koalisi sekalipun, bisa memblok kebijakan manakala tidak menguntungkan kepentingannya.

Pengalaman selama ini menunjukkan, dan tentu ini bukan hanya terjadi di negeri ini, adanya hubungan yang relatif konsisten antara sistem kepartaian dalam kaitannya dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan sistem presidensial. Multipartai, terutama yang bersifat terfragmentasi, menyebabkan implikasi deadlock dan immobilism bagi sistem presidensial murni. bahwa presiden akan mengalami kesulitan untuk memperoleh dukungan yang stabil dari legislatif sehingga upaya mewujudkan kebijakan akan mengalami kesulitan. Pada saat yang sama koalisi yang mengantarkan presiden untuk memenangkan pemilu tidak dapat dipertahankan untuk menjadi koalisi pemerintahan. Tidak ada mekanisme yang dapat mengikatnya. Selama ini salah satu mekanisme yang digunakan adalah kesepatakan dengan ketua partai. Akan tetapi, sejauh yang terjadi dan berjalan selama ini, pendekatan seperti itu jarang bisa dipertahankan. Partai politik bisa berubah sikap dan dukungan tergantung konstelasi dan konteks politik yang berkembang.

*****

Sesungguhnya format dan komposisi politik seperti apa yang akan terjadi pada pemerintahan mendatang, sudah bisa kita bayangkan. Meskipun ada mekanisme electoral threshold, maka tidak akan menghasilkan adanya partai politik yang dominan dan mayoritas dalam Pemilu.

Banyak kalangan berpendapat, banyaknya partai politik secara alamiah akan tersaring dengan sendirinya melalui batas ambang perolehan suara di pemilu (electoral threshold) dan penerapan ambang batas perolehan kursi di parlemen (parliamentary threshold) melalui pembagian daerah pemilihan (Dapil) juga akan mendorong terciptanya sistem multipartai sederhana. Taruhlah mekanisme ini berhasil dan bisa secara alamiah pula menyaring partai politik yang duduk di legislative. Harus diakui memang, dengan mekanisme seperti itu akan banyak partai politik peserta Pemilu 2009 yang tidak akan berhasil alias rontok terkena electoral thhreshold dan parliamentary threshold. Pertanyaannya kemudian, apakah jika dikaitkan dengan sistem presidensial tidak akan mengulang apa yang terjadi selama ini? Apakah ketentuan itu akan secara evolutif menjadi katalisator menuju sistem multipartai sederhana yang akan menopang beroperasinya sistem pemerintahan presidensial yang lebih kuat? Kalaupun hal itu terjadi, apakah dengan sendirinya akan menjamin terciptanya peme­rintahan yang kuat?

Dari segi penyederhanaan partai politik, mekanisme itu harus diakui akan dengan sendirinya menyederhanakan jumlah partai politik yang duduk di legislatif. Partai-partai baru dan partai lama, harus bersaing dan bekerja keras untuk bisa lolos dalam electoral threshold dan parliamentary threshold. Jelas Pemilu 2009 akan kompetitif dan ’seru’ untuk bersaing agar bisa lolos dan melenggang di legislatif.

*****

Apakah dengan demikian juga terjawab dengan untuk mengukuhkan sistem presidential yang kuat? Di sinilah dilema dan yang tidak akan terjawab. Salah satu usulan yang muncul untuk me­ngatasi problem ini adalah dengan dua hal. Yaitu mempermanenkan koalisi dan meninngkatkan angka opsi threshol 25%-30% untuk bisa mengusung capres dan cawapres. Sekilah formulasi ini, juga dengan melihat kenyataan politik selama ini, tidak ada partai politik satupun yang berhasil meraih dukungan 25% suara, akan memaksa partai-partai untuk koalisi.

..."Melihat wacana yang berkembang selama ini, tampaknya kecenderungan seperti ini tidak akan terekalan. Lebih-lebih jika electoral threshold untuk bisa mengusung calon di perkecil lagi. Usulan angka 30% saja tidak menjamin akan terciptanya pemerintahan yang kuat. .."


Akan tetapi jelas, persoalan itu juga tidak dengan sendirinya akan memecahkan masalah yang cukup problematis selama ini. Bagaimana membuat sistem presidential yang kuat dan kokoh. Dalam konstitusi, presiden dipilih secara populer. Menilik hasil Pilpres periode lalu, yang terjadi adalah ketidak kestabilan pemerintahan. Presiden yanng dalam sistem presidensial, memiliki wewenang penuh atas jalannya pemerintahan termasuk menentukan jabatan menteri-menteri. Ternyata tidak berjalan. Selalu saja harus melakukan kompromi dengan parpol-parpol untuk mendapatkan dukungan dan persetujuan, untuk meredam serangan oposisi di parlemen.

Melihat wacana yang berkembang selama ini, tampaknya kecenderungan seperti ini tidak akan terekalan. Lebih-lebih jika electoral threshold untuk bisa mengusung calon di perkecil lagi. Usulan angka 30% saja tidak menjamin akan terciptanya pemerintahan yang kuat. Terlebih lagi, koalisi partai itu hanya berdasarkan oportunisme kepentingan politik sesaat tanpa dilandasi oleh kesamaan ide atau platform.

Jadi salah satu persoalan yang mendasar yang harus dipecahkan untuk membuat sistem presidensial yang kuat adalah, harus dibenahi sistem kepartaian dan sistem Pemilu Legislativenya. Ketiga UU itu, harusnya sinergis agar interaksi politik antara eksekutif dan legislatif mengarah pada efektivitas pemerintahan. Sayang mungkin kita belum (akan) menemuinya pada Pemilu legislatif dan Pilpres periode mendatang

Hilangnya Etika Koalisi

TAK ada etika koalisi dalam kehidupan politik negeri ini. Suara pengusung Koalisi Kabinet Indonesia Bersatu. Kebijakan SBY-JK disetujui yang disetujui di rapat kabinet akan tetapi tidak didukung oleh fraksi-fraksi di parlemen yang nota benenya menjadi bagian dari koalisi Kabinet Indonesia Bersatu. Suara partai di kabinet dan di parlemen berbeda.

Lolosnya hak anggket BBM di DPR RI menunjukkan, partai-partai politik yang diakomodasi dan mendapat jatah kursi pada Kabinet Indonesia Bersatu, tidak dengan sendirinya loyak di parlemen. Konsesi politik dalam cabinet tidak dengan sendirinya mendukung dan menjadi bentang politik di legislative. Kasus ini, tentu bukan hal baru, sebelumnya banyak kebijakan-kebijakan SBY-JK yang dikritisi anggota dewan dari partai politik yang masuk dalam koalisi Kabinet Indonesia Bersatu. Meski diberi posisi penting di kabinet, tidak dengan sendirinya menjadi benteng pengawal kebijakan SBY-JK.

..."Wacana dan praktek politik antara yang dipikirkan elit dan masyarakat tidak nyambung adanya. Elit hanya mementingkan kepentingan sesaat dan seringkali mengatasnamakan rakyat. ...."


Mengapa anggota koalisi tidak dengan sendirinya mendukung setiap kebijakan SBY-JK, mengapa partai-partai politik pengusung koalisi cenderung memainkan kesempatan saat SBY-JK dalam prosisi crucial. Apa akar masalah yang melatar belakanginya dan bagaimana implikasinya dalam jangka panjang jika kecenderungan seperti ini terus berlangsung? Banyak pertanyaan yang bisa terus dilanjutkan tentunya. Akan tetapi dari sekian banyak pertanyaan bisa disederhanan dalam sebuah jawaban.

Jika kita runut kebelakang, apa yang terjadi sekarang sudah banyak diramalkan banyak kalangan. Pertama-tama, pasangan SBY-JK diusung oleh partai politik yang memang minoritas di DPR. PD, PBB dan PKPPI. Tiga partai ini, menjadi menjadi pengusung saat pencalonan SBY-JK dalam bursa Capres dan Cawapres pada Pemihan Presiden 2005 yang lalu. Partai-partai lain, mengusung dan memiliki Capres dan Cawapres sendiri. Baru pada putaran kedua, partai-partai itu secara diam-diam mengusung SBY-JK.

Upaya-upaya politik untuk mengamkan posisi pun kemudian dilakukan. Caranya dengan bernegosiasi dengan partai politik yang dengan dan konsesi kursi di kabinet. Posisinya semakin aman dengan terpilihnya JK sebagai Ketua Umum Partai Golkar. PG yang sebelumnya beseberangan berhasil ditarik ke dalam Orbit koalisi. Secara politik, memang menjadi mayoritas di DPR. Tinggalah PDIP yang sendirian menjadi oposisi terhadap SBY-JK.


****

HADIRNYA PG dalam koalisi, mengancam kepentingan politik partai-partai yang masuk ke dalam koalisi. Salah satu korbannya adalah PBB, yang kehilangan dua posisinya di Kejaksaan Agung dan Menteri Sekretaris Negara. Masalahnya tidak berhenti di sini. Dalam tubuh koalisi, diam-diam terjadi persaingan yang cukup keras untuk mengamankan posisi dan akses. Secara terselubung, masing-masing anggota koalisi, khususnya yang bukan dari partai pengusung selalu memainkan momentum. Jika kepentingan dan posisi politiknya terganggu, maka setiap ada momentum politik diguanakan untuk ’unjuk gigi’ kepada SBY-JK. Momentum yang paling tampak adalah setiap ada pergantian kabinet. Partai-partai dengan lantang mengancam akan menarik dukungannya jika wakilnya di kabinet digeser atau dikurangi porsinya.


Jadi dalam kabinet sendiri, terjadi interplay antar masing-masing anggota koalisi. Masing-masing saling memainkan kartu trup untuk mengamankan posisi dan kepentingan politiknya. Sejauh yang terjadi selama ini, memang SBY-JK tidak secara tegas dan tampak membiarkannya. Bagaimanapun posisi di kabinet masih menjadi magnet bagi partai politik. Mendapat posisi di kabinet, merupakan akses untuk kepentingan keberhasilan dan kelancaran partai politik pada masa yang akan datang. Politik di negeri ini, masih diartikan sebagai sutau yang banal, siapa mendapat apa.

Argumen yang selalu dikemukakan adalah, meskipun diakomodasi dalam kabinet, tidak berarti akan mengamani dan menjadi stempel setiap kebijakan SBY-JK. Jadi memang mendua sikapnya. Pada satu sisi menjadi bagian dari pemerintah, akan tetapi apabila menghadapi kebijakan-kebijakan SBY-JK yang crucial, tidak populer di hadapan publik. Dengan tegas partai-partai itu memposisikan diri bukan sebagai bagian dari SBY-JK. Mudah ditebak arahnya memang, partai-partai politik dengan lantang mengatakan posisinya tidak menjadi bagian dari koalisi. Dengan cara demikian, maka partai yang bersangkutan, mau cuci tangan dan tidak mau dipersepsi sebagai partai yang mendukung kebijakan pemerintah yang tidak ramah di mata pemilihnya. Harapannya jelas, agar konstituennya tidak lari atau bahkan bisa mendapatkan tambahan dukungan dalam Pemilu yang akan datang.


Partai politik yang masuk dalam koalisi, agaknya tahu persis. SBY-JK tidak akan mengambil kebijakan yang keras. SBY-JK tampaknya menjaga harmoni politik di kabinetnya. Sebab jika mengambil kebijakan yang keras, misalnya mencopot jatah kursi di kabinet dari partai yang masuk koalisi akan tetapi tidak mendukungnya di DPR, akan mempengaruhi citra politiknya. Pada sisi lain, jika hal itu dilakukan, salah-salah akan menjadi bola liar yang terus menggelinding. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi kita kekuatan oposisi di DPR mendapat tambahan suara. Pasti akan semakin menyusahkan SBY-JK setiap akan membuat kebijakan yang membutuhlah dukungan DPR. Situasi dan konsisi politik akan alot dan seru. Pada sisi lain, SBY-JK masing-masing memiliki kepentingan baik Pemilu Legislative 2009 maupun PILPRES 2010 yang akan datang. Tampaknya SBY-JK tidak akan mengambil resiko politik yang berpengaruh dan mengganggu kepentingannya ke depan. Oleh karena itu, (mungkin) tidak akan ada tindakan tegas terhadap anggota koalisi yang ikut mendukung lolosnya hak angket kenaikan BBM.

Jika demikian halnya, maka dalam waktu dekat partai-partai itu akan semakin memainkan manuver untuk kepentingan pragmatisnya menghadapi Pemilu 2008. Bagi partai pengusung, kepentingan politik yang akan datang tentu akan lebih diutamakan dibandingkan dengan kepentingan politik jangka pendek mengusung SBY-JK. Bagi partai pengusung, tampaknya ingin selalu bersih di mata konstituennya. Ketika ada kebijakan yang tidak populer di mata publik, dilokalisir sebagai kebijakan SBY-JK. Sebaliknya, jika kabinet SBY JK berhasil, maka akan ramai-ramai mengkaim kontribusinya kepada konstituennya.

******
JADI, apa yang terjadi sekarang ini memang konsekuensi logis dari bangunan koalisi politik yang tidak dilandasi oleh platform politik yang sama. Koalisi ini terbangun secara pragmatis, dan sebagian besar datang dan bergabung pada saat proses politik pemilihan presiden sudah selesai. Model koalisi seperti ini, memang sangat sesaat dan memberi peluang untuk anggota koalisi melakukan manuver-manuver politik untuk kepentingan pragmatis. Baik untuk mengukuhkan nilai tawar dengan SBY-JK maupun untuk kepentingan internal partai politik yang bersangkutan di mata publik.

Koalisi tanpa kesamaan platform, memang rentan pecah. Cara pandangnya semata-mata sejauh dipenuhi kepentingannya dan merugikan posisi partainya di mata publik, maka akan terus bergandengan. Sebaliknya, jika salah satu kepentingannya tidak terpenuhi, maka akan dengan mudah bermain mata. Wakilnya di kabinet menyetujui kebijakan di sidang kabinet, akan tetapi lain lagi suaranya di legislative.

Indikasi seperti ini memang membuat resah dan memberi kontribusi terhadap berkembangnya apatisme dan political distrust di masyarakat. Politik semakin tegas dan jelas, dimaknai sebagai keliahan dan kelincahan untuk mendapatkan kepentingan jangka pendek. Inilah salah satu masalah dalam kehidupan politik kita sekarang. Berpolitik hanya menjadi ajang akrobat untuk mengamankan kepentingan pragmatis, sementara masalah yang terkait dengan masalah moral dan kepastian politik menjadi tersingkirkan dan tidak menjadi pertimbangan. Atau barangkali patsun politik yang terkait dengan masalah moral tidak penting lagi sekarang ini. Politik hanya dimaknai sebagai suatu yang banal ”siapa mendapatkan posisi apa dalam situasi apa”. Kalaulah disebut-sebut soal kepentingan rakyat, maka hanya menjadi isu atau bumbu agar mendapatkan simpati dari masyarakat. Wacana dan praktek politik antara yang dipikirkan elit dan masyarakat tidak nyambung adanya. Elit hanya mementingkan kepentingan sesaat dan seringkali mengatasnamakan rakyat.

Kekecewaan Beringin

Hubungan Partai Golkar dengan SBY selalu diwarnai ketegangan dan tarikan-tarikan kepentingan politik. Partai Golkar, yang menguasai kursi terbanyak di DPR kerap meminta kompensasi atas dukungan politiknya dalam mem back-up kebijakan-kebijakan Presiden SBY di DPR. Akan tetapi pada sisi lain, Partai Golkar acapkali tidak puas dan merasa kepentingan politiknya sering dirugikan oleh SBY. Ancaman akan menarik dukungan terhadap kabinet SBY pun, sudah menjadi langgam dan digunakan dalam setiap negosiasi politik. Sejauh yang terjadi selama ini, tekanan dan ancaman itu memang relatif berhasil untuk menegosiasikan kepentingan politiknya.

Tekanan politik Partai Golkar terhadap SBY kembali meninggi. Pemantiknya Keputusan Menteri Dalam Negeri Mardiyanto yang menetapkan Thaib Armaiyn-Abdul Gani Kasuba sebagai pemenang pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara. Keputusan Mendagri dinilai Partai Golkar melenceng dari aturan main. Kembali kartu truf dimainkan partai Golkar, dengan mewacanakan penarikan dukungannya terhadap SBY jika Mendagri bersikukuh tidak mau merevisi keputusannya. Wacana itu ditindak lanjuti pada tataran praksis politik dengan memboikot rapat kerja Komisi II DPR dengan Mendagri.

Hubungan SBY dengan Partai Golkar, memang tak selalu seiring jalan. Partai Golkar kerap memainkan pressure politik untuk menekan kebijakan-kebijakan politik SBY. Masih hangat dalam ingatan, saat pembahasan RUU Pemilu. Dalam beberapa pasal penting, Fraksi Partai Golkar (FPG) secara tegas menempatkan posisi yang berseberangan dengan keinginan pemerintah. Contoh lain yang bisa ditunjuk adalah, dalam pemilihan calon gubernur Bank Indonesia (BI) beberapa waktu lalu, FPG juga berada dalam kelompok kekuatan yang menolak calon usulan presiden.

Demikian juga pada saat pembentukan Unit Kerja Presi­den untuk Pengelolaan Program dan Reformasi (UKP3R) SBY. Golkar meradang sebab JK sebagai wakil presiden tidak diajak bicara. Konon rumor yang beredar kala itu, pembentukan UKP3R sebagai jawaban yang menyakitkan atas desakan Golkar agar SBY me-reshuffle kabinet seraya menambah jatah pos Golkar di kabinet.

****.

Apakah ini merupakan tengara akan berakhirnya perjodohan politik SBY-JK atau Partai Demokrat dengan Partai Golkar? Apakah ketegangan ini merupakan indikasi kelak SBY-JK akan tidak seiring jalan dalam politik, menjelang Pemilu 2009? Dengan demikian, Partai Golkar tidak terikat etika politik tertentu yang disepakati bersama dengan SBY?

Sebagian kalangan, mengatakan bahwa apa yang dilakukan Partai Golkar hanya sebatas manuver dan tekanan terhadap SBY belaka. Ancaman penarikan dukungan, tentu sudah merupakan lagu lama dan selalu digunakan untuk menegosiasikan kepentingan politiknya. Akan tetapi, sebagian kalangan mengatakan bahwa ketegangan yang terjadi belakangan adalah suatu yang sudah diduga sebelumnya. Koalisi Partai Golkar dengan SBY akan renggang dan akan mencapai puncaknya dan diprediksi menjadi titik awal dari ketegangan situasi politik dalam negeri, berkaitan dengan Pemilu dan Pilpres 2009.

Dengan demikian, Keputusan Mendagri Mardiyanto yang memenangkan Thaib Armayn-Gani Kasuba dalam Pilgub Maluku Utara hanyalah pemantik dan atau pemicu keretakan hubungan partai itu dengan pemerintah. Sejumlah elite partai beringin bahkan mengancam akan menarik dukungannya dari Kabinet Indonesia Bersatu. Keputusan Mendagri makin meretakkan hubungan Golkar dengan pemerintah, yang sebe­lumnya memang sudah renggang. Kerenggangan itu tercermin dalam beberapa pembahasan kebijakan pemerintah di parlemen, yang tak selalu mendapat dukungan penuh Golkar.

Sebaliknya, acapkali peme­rintah membuat kebijakan yang tidak populer, maka partai Golkar menjadi bumper. Partai Golkar selama ini menjalankan fungsi dan peran tak ubahnya pemadam kebakaran kebijakan pemerintah.Berkali-kali Partai Golkar mematahkan upaya-upaya politik di parlemen yang mempertanyakan kebijakan pemerintah di DPR. Akan tetapi, tampaknya, Golkar merasa tidak mendapatkan keuntungan politik yang sebanding dengan dukung­an yang diberikan. Banyak kebijakan politik yang strategis, khususnya yang menyangkut Pilkada, dianggap tidak menguntungkan Golkar. Sebut saja misalnya, masalah penyelesaian Gubernur Lampung yang meskipun secara hukum jagonya Partai Golkar yang menang, akan tetapi tidak bisa dieksekusi. Dalam Rapim Golkar setahun lalu, seluruh DPD Golkar mendesak agar SBY menyelesaikan kasus Lampung. Akan tetapi masalah itu tidak kunjung diselesaikan sampai berlarut-larut.

****

Hubungan Golkar dengan SBY, memang selalu diwarnai hubungan tarik ulur. SBY sering ditekan oleh Partai Golkar pada satu sisi. Pada sisi lain, SBY juga tidak selalu memenuhi tuntutan dan tekanan Partai Golkar. Derajat kepuasan Partai Golkar dalam Koalisi Kabinet Bersatu, memang tampaknya tidak terpenuhi. Banyak kepentingan-kepen­tingan strategis terkait dengan kader Golkar, tidak dipenuhi atau dipuaskan oleh SBY.

Pertanyaannya kemudian, apakah dengan demikian ketidakpuasan Partai Golkar terhadap SBY sudah mencapai ubun-ubun? Terlalu pagi untuk menjawabnya. Mungkin ada baiknya kita cermati perkembangan politik yang akan datang.

Kita memang harus jeli membacanya. Selama ini ancaman mencabut dukungan terhadap Kabinet SBY, sudah sering dilakukan. Ancaman itu menjadi bagian untuk menaikan daya tawar politiknya. Bagaimanapun juga masalah Maluku Utara belum dikeluarkan Keppres-nya. Pada titik ini, ancaman Partai Golkar menjadi mudah ditebak arahnya.. Fraksi Partai Golkar di DPR tidak lagi diharuskan mendukung pemerintahan SBY-JK. Membebaskan wakil-wakilnya untuk mendukung angket atau interpelasi. Jika wakil-wakil Partai Golkar dibiarkan bebas menyampaikan sikap politiknya, memang akan mempengaruhi peta persilatan politik di negeri ini. Konstelasi politik di DPR akan berubah dan sudah barang pasti, akan membuat suhu politik meningkat.

Partai Golkar tahu persis. Selama ini mereka memang berhasil dan efektif mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik SBY melalui wacana penarikan dukungan. Ketergantungan SBY terhadap Golkar di legislatif demikian tinggi, dan selama ini cukup konsisten mengawal kebijakan-kebijakan publik yang tidak populis di legislatif. Sebagai benteng, Partai Golkar tentu terkena imbas politik. Akan tetapi yang harus dicatat juga adalah, Partai Golkar bukanlah partai pengusung, tidak menjalonkan SBY-JK pada pilpres lalu. Apabila sekarang mendukung dan menjadi bumper setiap kebijakan, hanyalah persoalan etis politik belaka.

Galibnya memang tidak etis jika SBY membuat kebijakan yang tanpa mempertimbangkan kepentingan Partai Golkar. Idealnya memang ada komunikasi kedua belah pihak sebelum dikeluarkan keputusan, termasuk di dalamnya adalah masalah Pilkada Maluku Utara. Mengapa? Sebab tidak etis juga apabila, terutama Golkar, selalu menggunakan wacana ancaman mencabut dukungan dalam setiap momen yang pada saat kepentingan politiknya tidak terpenuhi. Semakin sering dan kencang Partai Golkar mewacanakan penarikan dukungan, semakin tidak populer juga di mata pemilih.

Akan tetapi semua ini masalah politik. Masalah kepentingan. Pilkada Maluku Utara adalah perbenturan politik Partai Golkar dan Partai Demokrat. Kita harus menunggu keputusan SBY, apakah akan memihak Partai Golkar atau memihak kepenting­an Partai Demokrat. Barangkali ini dilema SBY di penghujung duetnya dengan JK.

Politik Dua Kaki

KALANGAN DPR berubah sikap terhadap SBY-JK terhadap rencana menaikan harga BBM. Semula pada tingkat Panitia Anggaran, semua fraksi memberi ruang bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan menaikan harga BBM guna menyelamatkan APBN. Tidak selang berapa lama, terjadi perubahan sikap yang sangat drastis. Mayoritas fraksi di DPR keberatan dengan rencana pemerintah. Tak terkecuali, perubahan sikap itu terjadi pada partai politik yang nota bene-nya diakomodasi dan menjadi bagian dari koalisi SBY JK.

Perubahan sikap politik itu tampak jelas dalam sidang paripurna minggu yang lalu. Masing-masing anggota fraksi yang ada DPR dengan lincah dan vokal menyatakan sikapnya tidak setuju terhadap rencana menaikan harga BBM. Alasanya beragam, akan tetapi muarnya sangat jelas, yaitu tidak setuju terhadap rencana pemerintah. Hanya fraksi Partai Demokrat saja, yang sendirian berada dalam posisi membela pemerintah dengan alasan yang sangat klasik, yaitu menyelematkan APBN untuk kepentingan pembangunan yang lebih luas.

Perubahan sikap politik, memainkan momentum dan in the name of membela kepentingan rakyat, itu kira-kira langgam politik yang sedang dimainkan sekarang. Tujuannya jelas, guna menyambungkan aspirasi yang sedang kuat dan deras berkembang di luar parlemen. Demontrasi mahasiswa dan beberapa kalangan yang meluas, jelas mengindikasikan kebijakan menaikan BBM sebagai suatu yang tidak populer dan tidak sesuai dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat. Momenumtum menyamakan frekuensi yang dengan aspirasi yang berkembang di luar parlemen, tentu menjadi suatu yang penting bagi partai politik. Untuk mendapatkan simpati, upaya untuk sosialisasi dan pencitraan diri sebagai partai yang kritis dan membela kepentingan masyarakat. Semua untuk kepentingan Pemilu Legislative tahun 2009 yang akan datang. Tampaknya partai politik yang diakomodasi oleh SBY JK tengah memainkan bandul politik sesuai dengan angin segar politik yang berkembang.

****
DI TENGAH-TENGAH gejolak harga minyak dunia yang sampai menembus ke level USD 120 per barel, SBY-JK memang dalam posisi sulit yang untuk menyelematkan anggaran pendapatn dan belanja negara (APBBN). Pilihan yang sangat realistis dan mudah memang dengan kebijakan yang dilakukan dengan menaikkan harga BBM sekitar 30%.

Memang masih ada alternatif lain untuk tidak menaikan harga BBM di dalam negeri pada saat sulit seperti sekarang ini. Peningkatan lifting minyak bumi merupakan alternatif terbaik secara rasional ekonomi.Peningkatan lifting sebesar 10 ribu barel per hari di atas target sebesar 927 ribu barel per hari akan menambah pendapatan negara sebesar Rp5 triliun rupiah. Hanya saja alternatif itu secara teknis tidak mudah. Pertama, minimnya investasi dan pengeboran eksplorasi sumursumur minyak baru dewasa ini. Kedua, kejenuhan sumursumur minyak yang ada di Indonesia yang kebanyakan sudah tua yang produkti vitasnya rendah. Ketiga,tingkat efisiensi pengeboran yang cenderung menurun dari tahun ke tahun.

Selain menaikan harga BBM. Skenerio lain yang akan dijalankan pemerintah adalah skenerio penghematan BBM. Formulasi yang dipakai dengan menggunakan kartu pintar (smart card). Ada empat skenario penghematan yang disiapkan. Pertama,smart carddiberikan kepada semua kendaraan. Kedua, smart card diberikan untuk semua kendaraan, kecuali yang tahun pembuatannya 2005 ke atas. Ketiga, smart card diberikan sebatas pada kendaraan umum dan roda dua. Keempat,smart card diberikan khusus bagi kendaraan umum. Pada opsi ketiga dan keempat, semua kendaraan lain di luar kendaraan umum atau roda dua (pada opsi ketiga) tidak bisa membeli BBM bersubsidi.

Rencana itu tidak mulus. Di luar parlemen, demontrasi marak di mana-mana di hampir semua kota-kota yang memiliki kampus. Inilah pertanda bahwa kebijakan menaikan harga BBM sampai 30% itu sebagai kebijakan yang akan menuai protes dan boleh jadi akan terus berlanjut kelak. Pertanyannya, mengapa partai-partai yang diakomodasi di kabinet juga tidak kompak dan memainkan diri sebagai bandul? Etikanya memang, Parpol yang diakomodasi di parlemen menjadi pendukung pemerintah. Boleh saja berbeda sikap dengan pemerintah selama keputusan itu belum diambil atau masih dalam proses pembahasan. Akan tetapi, saat keputusan itu telah ditetapkan, mereka harus patuh dan mendukung keputusan yang diambil pemerintah.

Sikap parpol pendukung pemerintah pada kasus rencana kenaikan harga BBM ini bukan terjadi untuk pertama kalinya. Pada kenaikan harga BBM tahun 2005 dan sejumlah kasus interpelasi DPR kepada pemerintah telah ditunjukkan pengkhianatan itu. Kondisi ini terjadi, salah satunya, karena tidak ada kontrak politik yang pasti dan saling mengikat antara presiden dan partai pendukung pemerintah. Akibatnya, partai pendukung bersikap seenaknya demi kepentingan mereka sendiri dan presiden juga tidak dapat berbuat apa-apa.

***
SEPERTI biasanya, pada saat pemeintah hendak membuat kebijakan politik yang tidak populer, partai-partai politik yang mendapat jatah kursi di kabinet memang selalu memainkan katru bebas. Melihat arah angin. Jika kebijakan yang diambil pemerintah tidak populer dan merugikan banyak kalangan, maka dengan cepat dan segera berada dalam posisi berseberangan sama sekali.

Sikap seperti ini terjadi, menurut beberapa analisis, terjadi karena beberapa hal. Pertama, koalisi yang terbangun selama ini dilakukan tanpa kontrak politik yang jelas. Koalisi yang dibangun untuk mengusung SBY-JK, masing-masing partai tidak memiliki platform yang sama. Pada sisi lain juga, tidak dibuat suatu kontrak politik yang jelas untuk mengawal setiap kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
Kedua, sebagai pemimpin koalisi, SBY dinilai oleh banyak kalangan sebagai tidak tegas. Beberapa wakil partai yang duduk di kabinet, akan tetapi sudah tidak direkomendasi oleh partainya, tetapi tetap dipertahankan. Oleh karena itu menjadi wajar kemudian apabila partai politik yang bersangkutan, merasa tidak menjadi bagian dari koalisi SBY-JK. Oleh karena itu partai yang bersangkutan masih leluasa dan bebas bersikap politik lain.

Ketiga, SBY sebagai pemimpin koalisi juga tidak tegas. Tidak ada tindakan politik yang tegas terhadap partai-partai yang masuk ke dalam koalisi yang memainkan bandul politik. Inilah yang menyebabkan partai-partai yang masuk koalisi SBY, selalu memainkan di atas angin politik. Seolah-olah menjadi bagian koalisi SBY-JK ad hoc semata. Setiap akan membuat kebijakan politik yang crucial SBY-JK, selalu harus melamukan lobby dan negosiasi politik dengan masing-masing partai pengusung. Fenomena seperti ini tentu saja menjadi suatu yang ironi politik, energi politik SBY-JK akan terkuras untuk terus menerus melakukan negosiasi setiap akan membuat kebijakan yang krusial, khususnya yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Barangkali kecenderungan seperti itu mencerminkan anomali politik. Partai-partai ikut bergabung dalam koalisi mendukung SBY-JK akan tetapi pada satu sisi, tidak merasa memiliki dan menjadi bagian pemerintah yang berkuasa. Tidak seiya sekata, seiring sejalan dalam mengawal kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Seolah-olah koalisi yang diusung, tak ubahnya koalisi taktis semata. Mengambil jatah atau diakomodasi dalam komposisi kabinet, tetapi cuci tangan bahkan ikut ramai-ramai menghujat pemerintah pada saat membuat kebijakan publik yang tidak populis.

Fenomena ”politik dua kaki” ini memang suatu yang aneh. Etika koalisi politik tidak dijunjung dan disepakati bersama. Korbannya tentu saja adalah jalannya pemerintahan. Pemerintahan dibuat tidak stabil dan kebijakan tidak berjalan dengan lancar. Tensi politik meningkat dan tentu saja melelahkan bagi semua kalangan.

Pertanyaannya apakah kecenderungan ”politik dua kaki” ini merupakan fenomena sesaat pada kabinet SBY-JK semata? Boleh jadi demikian adanya. Menilik konteks politiknya, kecenderungan ”politik dua kaki” ini lebih dikarenakan faktor SBY-JK sendiri. Seperti diketahui bersama, SBY-JK dari segi kepemimpinan politik, sering ragu atau tidak tegas dalam mengambil kebijakan politik yang crusial. Sikap ini yang tampaknya sering dimanfaatkan oleh parpol yang diakomodasi untuk melihat reaksi di bawah. Kedua, tidak ada kejelasan koalisi. Koalisi lebih dibangun secara ad hoc, tanpa dilandasi oleh flatform atau ideologi politik yang sama. Koalisi seperti ini jelas tidak akan efektif untuk bersama-sama mengawal kebijakan politik yang dibuat oleh SBY-JK..

Pada akhirnya, ”Politik Dua Kaki” merupakan implikasi dari sebuah proses politik yang ad hoc. Oleh karena itu setiap hendak membuat kebijakan politik yang penting dan menentukan, lebih-lebih yang menyangkut nasib orang banyak, SBY JK harus melakukan negosiasi ulang dengan partai-partai pendukunng. Politik Dua Kaki tampaknya memang bukan anak haram dari koalisi dan sikap politik SBY sendiri.

Di Simpang Jalan

Tiba-tiba saja orang nomor satu negeri ini bersuara ke public agar para pembantunya, utamanya yang berasal dari partai politik, untuk menjada proporsi kerja. Kerja mengurusi pemerintahan dan kerja mengurusi partai politik. Siapa yang disodok dari pernyataan itu? Tidak jelas benar siapa sebenarnya yang menjadi sasaran bidik dari pernyataan terbuka itu.

Statemen itu tentu saja mengagetkan banyak pihak. Apa perlunya masalah konsolidasi dan kinerja kabinetnya dibawa-bawa ke ruang publik. Jelas dalam system presidential yang kita anut sekarang, presiden memiliki hak prerogative untuk mengganti atau mempertahankan posisi dalam kabinet. Statusnya anggota kabinet, menteri, adalah pembantu presiden. Ia bertanggung jawab dan menjadi alat atau mesin pengawal kebijakan-kebijakan politik presiden.

Pertanyaanya apa makna tersembunyi dibalik statemen terbuka itu? Mengapa presiden SBY tidak menegur dan menyampaikan keinginannya secara vis a vis dengan pembantunya itu? Adakah ini pertanda bahwa pemegang hak perogrative tertinggi di negeri ini sudah kehilangan kendali atas pembantu pembantunya sehingga ia membawa masalah ‘rumah tangga’ ini ke ruang publik? Adakah ini bagian dari strategi politik untuk menimpakan kinerja kabinetnya yang oleh banyak pihak disebut sebagai tidak optimal, tidak memenuhi harapan atau secara keseluruhan kurang mampu memenuhi harapan-harapan masyarakat yang cukup besar menjelang PILPRES yang lalu?

****

Tentu banyak pertanyaan, banyak teka-teki dan mengundang segudang interpretasi pula. Paling tidak ada tiga hal yang segera tergambar dibalik statemen itu. Pertama, dibalik statemen itu menunjukkan bahwa kepentingan partai politik sangat dominan dalam gerak langkah pembantu SBY yang berasal dari partai politik. Pada moment-moment menjelang Pemilu, sudah bisa dipastikan bahwa para pembantunya yang berasal dari unsure partai politik akan lebih mementingkan konsolidasi dan mengoptimalisasi partai politiknya dibandingkan dengan tanggung jawabnya di kabinet. Jabatan dan tanggungjawab sebagai menteri menjadi urusan nomor dua. Dan yang lebih penting adalah urusan rumah tangga politiknya. Jika hal ini terjadi, maka dengan sendirinya, akan berpengaruh terhadap kinerja kabibet sementara pada sisi lain, jelas SBY ingin maju lagi dalam kontestasi politik di PILPRESS 2009.

Di sini memang menjadi tampak tarikan-tarikan kepentingan ke dua belas pihak. Presiden ingin mempertahankan kinerja untuk kepentingan kesuksesan dirinya sebagai modal politik selanjutnya, sementara para menteri yang berasal dari partai politik, juga memiliki pekerjaan rumah sendiri. Mengurusi kendaraan politik yang selama ini telah menjadi modal dan kendaraan untuk menduduki jabatan dalam kabinet.

Kedua, langkah presiden memperingatkan para pembantunya ke publik itu bisa dipandang juga sebagai bagian dari PR. Tampaknya, langkah itu merupakan salah satu cara agar masyarakat memberi permakluman apabila kinerja kabinet tidak optimal, salah satu jurus yang akan dipakai untuk menangkisnya adalah masalah masalah pembantu-pembantunya yang lebih mementingkan partai politiknya. Jika jurus ini yang akan dipakai kelak, tentu tidak akan efektif sebab bagaimanapun juga system yang berlaku di negeri ini adalah system presidential.

Mudah ditebak arah dari formulasi ini. Presiden tampaknya ingin meminta permakluman dari rakyat, dengan harapan rakyat akan memberi sangsi terhadap para pembantunya yang berasal dari partai politik itu. Pertanyaannya, jika itu yang dituju, apakah dengan sendirinya masyarakat akan memaklumi dan kemudian memberi sangsi? Jawabnya bisa ya dan bisa tidak.

Ketiga, statemen ke publik itu juga bisa dimaknai sebagai peringatan pertama kepada para pembantunya yang dari unsure partai politik. Itu sebabnya presiden SBY menyampaikannya tidak langsung kepada pihak yang dimaksud, akan tetapi langsung kepada publik. Ini tentu saja salah satu gaya politik yang lain dari presiden SBY. Dibalik pesan itu sangat jelas, ia secara lembut sedang mengkomunikasikan kepada publik bahwa system di negeri ini adalah system presidential. Oleh karenannya, statemen agar para pembanunya menjaga konsentrasi, intensitas dan prioritas kerja merupakan isyarakat. Pertanda atau sinyal agar para pembantunya proporsional menbagi perhatian. Jika tidak, maka dipersilahkan memilih. Pesannya jelas tampaknya, jangan membagi konsentrasi secara tidak adil, tetap di kabinet dengan satu catatan atau mundur agar lebih optimal melakukan konsolidasi partai politiknya.

Apakah dengan demikian akan ada peringatan berikutnya? Jawabnya belum tentu. Kalkulasi politik menunjukkan apabila ada langkah tegas yang dilakukan oleh presiden SBY terhadap para pembantunnya, khususnya yang berasal dari Partai Politik, maka akan mengundang instabilitas politik bagi kabinetnya. Tekanan-tekanan dari partai politik pasti akan meningkat, dan sudah barang pasti akan mempengaruhi dan mengurasi modal politik yang sedang dibangun untuk melenggang dalam kontestasi politik berikutnya, pada PILPRES 2009.

*****

Jadi paling mudah membaca dan menafsir dari statemen itu adalah melalui sudut moral dan etika politik. Presiden SBY tampaknya sedang memainkan strategi politik yang paling aman dan (mungkin) paling nyaman. Menyeru agar etika politik yang harus dipegang oleh para pembantunya. Sebagai fungsionaris partai, tidaklah mungkin bagi pembantu presiden untuk tidak ikut memikirkan dan mengurus partainya masing-masing. Akan tetapi, urusan negara tetap harus di nomor satukan.
Dengan demikian, jika kinerja kelak disorot, soal etika politik akan bisa menjadi penjelasan sebagaimana yang pernah dipakai oleh mantan Presiden Megawati. Kegalalan masa pemerintahnya karena adanya loyalitas yang timpang, sebagaian para pembantunya lebih berat mengurusi kepentingan partai politiknya dibandingkan dengan menjalankan fungsi dan perannya sebagai menteri. Issue sentralnya sama, soal etika politik. Adanya loyalitas ganda tetapi timpang. Issue ini, toh tetap saja tidak bisa menyelematkan dan bisa dikatakan tidak ngangkat dan ‘nendang’.

Menjelang Pemilu, tampaknya Presiden SBY sebagai pemegang hak perogrative sedang di simpang jalan. Persimpangan pertama mengarah kepada terciptanya stablitas politik di parlemen, akan tetapi para pembangunya yang berasal dari partai politik, akan njomplang loyalitasnya. Lebih banyak mengurusi partai politiknya. Persimpangan berikutnya adalah, intensive melakukan komunikasi politik dengan masyarakat, dengan memainkan issue moral, issue etika politik terhadap pembantu-pembantunya yang dari Partai Politik. Harapannya masyarakat akan merespon, kemudian memberi tekanan politik kepada yang bersangkutan. Finalnya, anggota kabinet dari unsure Partai Politik akan tetap dalam orbit politik presiden atau memilih secara kesatria mundur sebagai bentuk tanggungjawabnya.

Jadi kini memang secara politik presiden SBY tengah berada di simpang jalan. Tentu saja secara pribadi saya berharap masih ada jalan lain, ada simpang jalan yang lebih tegas dan meneguhkan posisinya sebagai pemegang hak perogrative. Konsolidasikan anggota kabinet yang dari partai politik, dan tegaskan dan kukuhkan kontrak politik baru sesuai prinsip-prinsip etika politik. Hanya saja memang tidak mudah dan gampang.

Koalisi Permanen

Partai GOLKAR melontarkan perlunya dibentuk koalisisi permanent untuk menjamin berlangsunngnya pemerintahan yang efektif. Gagasan ini tengah digodok oleh partai berlambang beringin rimbun. Jika koalisi permanent tercipta, adakah jaminan bahwa ke depan akan terjadi pemerintahan yang efektif?

Gagasan ini suatu yang maju. Menjawab persoalan yang terjadi selama ini di mana pasangan SBY-JK seringkali harus bernegosiasi dengan partai-partai politik pada saat hendak mengambil keputusan strategis dan politis. Pemerintahan SBY-JK tidak efektive dan selalu diwarnai dengan proses tawar menawar politik saat mengambil keputusan politik penting, khususnya terkait dengan posisi-posisi penting di cabinet dan jabatan-jabatan strategis lainnya.

Seperti diketahui bersama, Presiden SBY-JK selama ini selalu lamban dan sangat hati-hati dalam mengambil keputusan strategis. SBY-JK harus bernegosiasi lebih dahulu dengan beberapa partai politik. Parahnya lagi, acapkali sikap partai politik yang selama ini mendapat posisi dan menjadi pendukung SBY-JK bersikap mendua. Apabila kebijakan-kebijakan yang akan diambil itu tidak popular di mata rakyat, maka dengan mudah partai-partai politik itu seolah-olah pada posisi berseberangan dengan pemerintah. Sebaliknya lagi, pada saat menentukan posisi penting seperti posisi menteri dan jabatan strategis lainnya, partai politik sangat berkepentingan. Partai-partai politik menekan dan mengancam akan menarik dukungannya terhadap pasangan SBY-JK.

Inilah potret nyata, kondisi real yang terjadi dalam belantara politik negeri ini. Pemerintah terlalu banyak kompromi dan bernegosiasi dengan partai-partai politik yang tidak bisa dipegang komitmennya di parlemen. Pada saat tertentu menempatkan diri sebagai bagian dari pemerintah, akan tetapi pada saat yang berbeda, ketika kebijakan-kebijakan politik yang tegas yang harus diambil dan menyangkut hajat hidup orang banyak, dengan mudah dan leluasa menempatkan diri seolah-olah bukan menjadi bagian dari pemerintah. Padahal kadernya duduk atau diakomodasi dalam jabatan politik di kabinet.

*****
Presiden SBY-JK, sejauh yang terjadi selama ini, menjadi ‘dibajak’ dan terjebak dalam permainan dan kepentingan politik partai politik yang sifatnya pragmatis dan jangka pendek. Tentu gagasan ini bukan suatu yang baru. Menjelang PILPRES putaran ke dua, gagasan Koalisi Kebangsaan sudah ditetapkan oleh orang nomor satu di Partai Golkar kala itu, Dr. Akbar Tanjung. Koalisisi ini akan bahu membahu untuk memback up pemerintah jika pasangan Mega Hasyim terpilih dan sebaliknya akan mengambil posisi oposisi jika pasangan yang diusung kalah.

Sayang kesepatan itu berakhir dengan sendirinya sejalan dengan kalahnya pasangan Mega Hasyim kalah pada putaran ke dua PILPRES. Koalisi Kebangsaan, yang semula akan mengambil oposisi dari parlemen pusat sampai ke DPRD II pun tinggal kesepatan kosong.
Bagaimana menyikapi gagasan Koalisi Permanen yang hendak dilakukan Partai Golkar? Sebagai sebuah gagasan tentu sangat menarik dan penting untuk direalisasikan untuk kepentingan stabilitas dan efektivitas pemerintahan terpilih mendatang. Hanya saja, koalisi yang dibangun harus berdasarkan pada platform, visi dan gagasan politik yang sama. Tentu harus memalui proses pergumulan dan kajian yang matang dan serius.

Koalisi permanen adalah koalisi yang tidak bias dipecah oleh tawaran-tawaran jangka pendek. Menjadi pelajaran penting kemudian, nasib Koalisi Kebangsaan, yang nasibnya hilang begitu pasangan SBY-JK menang. Partai GOLKAR sendiri, yang menjadi motor penggagas koalisi ini, kemudian meninggalkan kesepatan politik itu bersamaan dengan gagalnya Dr Akbar Tanjung mempertahankan kepemimpimpinannya dalam Munas Bali.

****
Bisa jadi gagasan Koalisi Permanen yang mulai diusung Partai Golkar ini berbeda dengan gagasan lahirnya Koalisi Kebangsaan. Jika sebelumnya lebih kental aroma dan nuansa pragmatis setelah pasangan yang diusung kalah dalam putaran pertama PILPRES. Boleh jadi gagasan membangun koalisi permanent juga tidak lepas dari kepentingan politis yang sangat strategis juga.

Pertama, dalam fatsun politik, koalisi permanent selalu akan dipimpin oleh partai terbesar atau partai yang mendapat dukungan suara terbanyak. PEMILU Legislative 2004 membuktikan, Partai Golkar merupakan partai pemenang Pemilu. Dengan demikian jelas dan bisa dipastikan Partai Golkar akan menjadi jangkar politik dari koalisi permanent yang sedang digagasnya. Dengan demikian, partai-partai yang akan diajak ke dalam koalisi, sebenarnya lebih merupakan upaya untuk menarik orbit ke dalam orbit politik Partai Golkar.

Dengan demikian, dalam koalisi yang sedang digagas itu, belum ada bayangan apakah partai-partai politik lain mudah akan ditarik dan diajak masuk ke dalam koalisi permanent yang sedang digagas itu.

Kedua, koalisi lazimnya berbasis kepada ideology dan visi politik yang sama. Jika misalnya Partai Golkar menggunakan basis ideology dan visi politik yang sama, pertanyaannya kemudian, apakah PDIP yang memiliki kedekakatan dari segi ideology kebangsaan dengan sendirinya akan bergabung dengan Partai Golkar. Secara politis agak sulit membayangkan hal itu terjadi.

Kekuatiran saya, jika tidak dilandasi oleh kesamaan basis ideology yang sama, tidak mustahil koalisi permanent yang sedang digagas itu seperti koalisi kerakyatan yang dibangun oleh SBY-JK. Hanya bisa berjalan pada saat berkuasa dan dipenuhi kepentingan politik jangka pendeknya semata.

Menduetkan (Kembali ) SBY JK

Elit Partai Golkar kini mulai gencar mewacanakan untuk menduetkan kembali SBY-JK dalam bursa PILRES mendatang. SBY tetap pada posisi calon presiden sementara JK juga tetap pada posisinya, sebagai calon wakil presiden. Wanaca politik ini bisa dibilang sebagai final, setelah sebelumnya berkembang berbagai formulasi dan skenerio yang sikap politik Partai Golkar.


...Jika benar skenerio ini, maka tampaknya Partai Golkar akan mengusung SBY-JK pada tahap pencalonan. Ini tentu saja berbeda dengan posisi sebelumnya. Seperti diketahui bersama, pada posisi sekarang ini, Partai Golkar dalam dilemma.
.
...


Jika benar skenerio ini, maka tampaknya Partai Golkar akan mengusung SBY-JK pada tahap pencalonan. Ini tentu saja berbeda dengan posisi sebelumnya. Seperti diketahui bersama, pada posisi sekarang ini, Partai Golkar dalam dilemma. Pada satu sisi, sebagai partai pemenang Pemilu, ia tidak ikut mengusung pasangan SBY-JK pada Pilpres yang lalu. Sementara defakto, dengan keberhasilan JK merebut kepempinan di Partai Golkar, mau tidak mau Partai Golkar disebut sebagai bagian dari partai penguasa.

*****
Pada posisi sekarang, memang tidak mudah. Partai Golkar sering gamang bersikap dalam menyikapi kebijakan-kebijakan politik pemerintah. Terlebih lagi terhadap kebijakan-kebijakan politik yang tidak populis. Di kalangan Partai Golkar, khususnya, pada faksi-faksi yang krirtis sering muncul letupan-letupan bahwa Partai itu menjadi bumber politik pemerintah. Sementara pada soal posisi dan peran strategis, Partai Golkar merasa tidak mendapat konversi yang wajar dengan peran-perannya menghadapi tekanan-tekanan dan maneuver-manuver politik dari lawan-lawan SBY di DPR.

Kritik yang lebih tajam lagi, sikap politik yang diambil dan mendukung kabinet SBY-JK partai Golkar disebut-sebut olah sementara kalangan sebagai tidak memiliki main set politik yang jelas. Kritik itu sangat lantang dikemukakan oleh kubu Akbar Tanjung, yang tersingkir dari gelanggang Munas Bali beberapa tahun yang lalu.

Pada tataran internal juga, muncul ‘gejolak’ yang cukup deras. Tidak mudah memang partai Golkar mengambil sikap sekarang, pada satu sisi, ia sebagai partai pemenang akan tetapi tidak berhasil mendudukkan kandidatnya menjadi orang nomor satu. Sementara posisi JK, yang meskipun kini menjadi ketua umum Partai Golkar, menduduki posisi wakil presiden tetapi diusung olah partai lain.

Itu persoalan yang muncul akhir-akhir ini. Persoalan berikutnya yang akan muncul dengan wacana menduetkan kembali SBY-JK adalah, jika Partai Golkar kembali menjadi pemenang dalam Pemilu Legislative apakah upaya duet kembali SBY-JK itu tidak menyalahi fatsun politik. Atau taruhlah Partai Golkar tidak menjadi pemenang, akan tetapi ia tetap suaranya berada di atas Partai Demokrat, apakah wacana duet kembali SBY-JK tidak menyalahi fatsun politik yang berlaku? Bahwa partai pemenang harus menjadikan kadernya sebagai orang nomor satu.

Sudah pasti hal ini bukan suatu yang mudah. Masing-masing sikap dan pilihan politik yang diambil akan membawa implikasi-implikasi yang tentu saja tidak mudah. Di mana-mana the ruling party memang memimpin koalisi. Menjadikan kadernya sebagai orang nomor satu dalam bursa kepemimpunan politik kenegaraan.

Akan tetapi, mungkin upaya menduetkan kembali SBY-JK memang satu pilihan politik yang realistis bagi Partai Golkar sekarang. Dari berbagai hasil survey yang dilakukan lembaga polling, memang sampai saat ini, SBY masih menduduki pada rangking tertinggi. Popularitasnya masih di atas rata-rata dan belum ada tokoh lain yang berhasil menyaingi.

Pada sisi lain, mau tidak mau, suka atau tidak suka. JK itu bukan orang Jawa. Sementara issue etnis masih relative laku untuk meraih dukungan suara. Oleh karena itu, memang posisi JK jika maju sendiri agak riskan jika issue etnis dikembangkan oleh lawan-lawan politiknya. Fatsun politik lama tampaknya masih berlaku kini, bahwa presiden itu harus orang Jawa. Mayoritas penduduk negeri ini adalah suku Jawa dan oleh karena harus menjadi variable yang harus dihitung masak-masak.


****
Tentu elit partai Golkar realistis. Dengan jeli membaca sosio histories masyarakat atau pemilih dalam kontestasi politik. Oleh karena itu, wacana menduetkan kembali SBY-JK merupakan satu langkah yang strategis. Tentu saja, langkah strategis itu belum tentu popular di kalangan komunitas politik negeri ini. Pasti akan timbul riak-riak yang bernada menggugat. Tudingannya sangat serius, yaitu sebagai partai yang haus kekuasaan.

Salah satu riak-riak yang lantang terdengar adalah statemen dari mantan Ketua Umumnya, Akbar Tanjung, yang meminta agar wacana menduetkan kembali SBY-JK dihentikan. Seraya menghimbau agar elit Golkar untuk memikirkan masalah Pemilu Legislative dan jangan terlalu berorientasi pada kekuasaan. Sebab ukuran keberhasilan memimpin partai politik adalah seberapa besar partai politik itu mendapat dukungan rakyat dalam Pemilu legislative.

Tentu saja hitungan-hitungannya memang demikian. Akan tetapi jika melihat realitas politiknya, mungkin bisa lain. Bisa jadi wacana menduetkan kembali SBY-JK itu sebagai pilihan politik yang rasional agar partai Golkar tetap bisa memainkan peran dan posisi.

Tampanya pula, partai Golkar ingin tegas menjadi partai pengusung SBY-JK dalam bursa PILPRES mendatang. Menjadi motor penggerak dan sekaligus mengambil kredit point di hadapan Partai-partai lain yang akan mengusung SBY-JK. Adakah Partai GOLKAR ingin disebut sebagai partai pertama yang mengusung SBY-JK dan dengan demikian konversi politiknya ke depan juga akan jelas. Kita lihat saja nanti…

Ellyasa KH Darwis

Membincang “Kabinet Bayangan”

Munculnya kabinet bayangan (shadow cabinet) dari parlemen perlu diapresiasi dan diberi catatan kritis. Perlu diapresiasi karena gasasan itu pernah hinggar bingar dalam wacana politik menjelang pelaksanaan PILPRES 2004 lalu setelah itu tak jelas rimbanya. Partai-partai yang semangat hendak menyusun kabinet bayangan, ramai-ramai masuk ke Kabinet Indonesia Bersatu. Hanya PDIP semata yang menjadi oposisi, dan itupun tak segera membuat kabinet bayangan layaknya sebagai partai oposisi.

Catatan kritis juga perlu dilakukan mengingat kabinet bayangan yang dibuat oleh kaukus politisi muda ini tidak lazim. Sebagian besar dari partai mereka duduk dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). Niatan pembentukan kabinet bayangan untuk mengkritisi kebijakan dan kinerja KIB layaknya barisan oposisi. Yakni, menjalan fungsi kritik, kontrol, koreksi dan sekaligus sebagai kekuatan penyeimbang bagi pemerintah yang tengah berkuasa.

Sampai kini, belum terlalu jelas bagaimana posisi dan peran yang dimainkan oleh kabinet bayangan bentukan kaukus politis muda itu akan berjalan. Paling tidak ada beberapa alasan; Pertama, sebagian besar anggota kabinet bayangan partai politiknya kini menjadi pendukung pemerintah. Kedua, jika hanya untuk mengkritisi, mengontrol kebijakan dan kinerja pemerintah, bukannya fungsi itu sudah melekat dalam dirinya sebagai anggota dewan. Ketiga, kabinet bayangan dalam tradisinya tidak mewakili pribadi tetapi lebih mewakili partai politik yang sedang menjadi oposisi dengan pemerintah. Oleh karena itu, kritik yang dilakukan lebih mencerminkan pertarungan visi ideologis politik dari partainya. Visi ideologis itu kelak yang akan dijalankan jika mereka menjadi penguasa.

----
Sejauh yang saya tahu, kabinet bayangan dikenal dalam system politik yang berkiblat kepada Westminster (sistem parlementer di Inggris dan negara-negara persemakmurannya). Banyak definisi tentang kabinet bayangan, salah satunya menyebut bahwa Kabinet bayangan adalah sekelompok pemimpin oposisi yang mungkin menjadi anggota kabinet jika partainya kembali berkuasa dan selalu bertanggung jawab terhadap penyusunan kebijakan partai serta pemimpin kelompoknya di dalam perdebatan parlemen. Dengan demikian, ia merupakan kabinet alternatif yang dipersiapkan oleh kelompok oposisi jika terjadi pergantian kekuasaan di parlemen.

Hal itu terjadi karena kabinet bayangan itu lahir dari tradisi politik di Negara yang menganut system parlementer. Keanggotannya tidak individual, tetapi individu yang tergabung mewakili atau merepresentasi partai politik yang memang bersikap oposisi terhadap pemerintahan yang sedang berkuasa. Oleh karena kebijakan dan kinerjanya selalu diawasi, dan selalu dibuat tandingan oleh kabinet bayangan, maka sudah barang pasti pihak yang berkuasa akan hati-hati, penuh perhitungan dalam setiap membuat kebijakan politik.

Dengan demikian, antara kabinet status quo dan kabinet bayangan, secara politik akan selalu mempertaruhkan kompetensi dan integritas moral politiknya. Kompetensi dan integritas moral politik penguasa akan menjadi sorotan dan sasaran kritik dari oposisi, yang tergabung dalam kabinet bayangan. Demikian halnya jika kritik yang dikemukakan oleh anggota kabinet bayangan tidak mengena, maka akan menjadi sasaran serangan balik oleh pihak yang berkuasa.

Dengan setting seperti itu, sesungguhnya yang hendak diperjuangkan dari masing-masing pihak adalah investasi politik untuk periode berikutnya. Masyarakat sebagai komunitas politik, secara terbuka bebas menilai, mengkritisi, menyimpulkan kompetensi dan integritas moral ke dua belah pihak. Taruhannya adalah dukungan politik pada pemilu mendatang.

Bagi rakyat tentu ada manfaat sebagai bahan referensi untuk memilih pada periode mendatang. Paling tidak ada dua hal yang bisa dilihat, pertama, soal kebijakan politik yang akan diambil. Jadi masyarakat memiliki gambaran soal konsekuensi politik dari pilihannya, khususnya terkait dengan setiap kebijakan politik yang akan diambil kelak. Kedua, masyarakat memiliki informasi soal komposisi dan kompetensi masing-masing orang yang akan duduk di parlemen.

---
Negeri ini jelas menganut system presidential. Tidak menganut system parlementer, dengan sendirinya pula tidak mengenal istilah kabinet bayangan. Pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas menggariskan (1) presiden dibantu oleh menteri-menteri negara, (2) menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden, (3) setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan, dan (4) pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang. Soal kabinet selalu menjadi hak prerogative presiden.

Meski begitu, bukan berarti peluangnya tidak ada. Wacana ke arah itu sudah dimulai pada musim PILPRES 2004 lalu. Sebagian team sukses dan kandidat presiden sudah bersedia mengemukakan siapa saja anggota kabinetnya. Wacana itu tidak berlanjut menjadi aksi politik memang. Jadi jika mau, setiap pasangan calon presiden bisa mengumumkan komposisi kabinetnya, dan setelah itu memainkan fungsi dan perannya sebagai kabinet alternative. Tugas utamanya adalah mengkritisi setiap kebijakan dan kinerja kabinet yang berkuasa. Dengan demikian ia akan menjalan fungsi oposisi, yang memainkan dan melakukan kerja-kerja politiknya untuk kepentingan pemilihan presiden yang akan datang.

Jadi meskipun kita menganut system presidential, tetapi selalu ada peluang untuk membuat kabinet bayangan. Tentu syarat mutlaknya adalah dari partai oposisi, partai yang tidak mengirim utusannya dalam komposisi kabinet. Sebab sikap oposisi itu harus menjadi keputusan institusi atau partai politik. Jadi tidak mewakili individu-individu DPR sebagaimana tampak dalam ‘kabinet bayangan’ yang lagi mewarnai isu politik negeri ini pada minggu ini.

Ellyasa KH Darwis
Opini Indonesia, edisi 70 1-7 September 2007

Realiansi Politik

Opomi Indonesia, Tahun II/Edisi 057/2 Juli=8 Juli 2007

Perkembangan politik pada bebarapa minggu ini ditandai dengan kecenderungan yang cukup menarik untuk dicermati. Dimulai dengan pertemuan PDIP dan Partai Golkar, yang mulai menggagas aliansi kebangsaan. Selanjutnya issue berkembang terus dengan wacana penggabungan partai-partai politik yang ada sekarang. Adakah ini pertanda akan diakhirinya era multi partai yang selama ini berjalan?


Penulis esai ini, tidak sependapat dengan sementara kalangan yang melihat bahwa gejala di atas merupakan penanda terjadinya penggabungan-penggabungan partai politik. Apalagi argument yang dikemukakan menyebut-nyebut, era multipartai tidak menguntungkan dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara.


Apa yang tengah terjadi belakangan ini, lebih tepat sebagai fenomena atau penjajagan pada level elit politik untuk membangun peta aliansi strategis untuk menentukan format politik lima tahun mendadatang. Jadi jauh-jauh hari partai politik akan membentuk suatu koalisi permanent untuk bertarung dan menentukan kebijakan-kebijakan politik ke depan. Jika koalisi semacam ini yang terjadi, maka akan bisa menjawab masalah yang belakangan ini terjadi dimana partai-partai politik cenderung pragmatis dalam membangun aliansi yang sifatnya sesaat dan syarat kepentingan. Partai-partai cenderung beraliansi sesaat dan setelah itu bubar. Aliansi semacam ini memang rentan dan mudah goyah sebagaimana tampak dalam dukungan terhadap SBY-JK selama ini.


****
Idealnya memang koalisi berbasis pada platform atau ideology politik yang sama. Jika kita menilik platform PDI Perjuangan dan Partai Golkar, memang harus diakui memiliki kedekatan dan persamaan. Yakni sama-sama memiliki platform kebangsaan. Pada titik ini, tampaknya yang relative memudahkan kedua partai besar itu untuk saling bertemu dan kemungkinan membangun aliansi politik jangka panjang. Hal yang sama pada Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang meskipun bernuansa religius, tetapi sangat kental dengan warna kebangsaannya. Tiga partai ini quo platform, memiliki kesamaan dan kedekatan untuk membangun koalisi permanent.


Pada pihak lain, partai-partai yang bebasis ideology agama seperti PKS, PPP, PAN, PBB, PBR sangat mungkin jika menilik pada basis ideology dan platformnya, membentuk koalisisi berbasis agama. Qua ideology dan Platform, terdapat kesamaan dalam memandang dan memperjuangkan ideology politiknya yang sangat kental dengan idiom-idiom religius.


Jika arahnya demikian, maka kehidupan politik ke depan akan terjadi sebagaimana yang terjadi di Malaysia. Partai-partai beraliansi secara permanent di parlemen. Partai yang memiliki ideology dan platform kebangsaan beraliansi dalam Barisan Nasional dengan UMNO sebagai leadernya, sementara partai-partai yang berbasis Islam, menjadikan Partai Islam se Malaysia (PAS) sebagai wadah aliansinya.


Jika aliansi seperti itu yang akan terjadi, maka masalah instabilitas politik yang terjadi selama ini, akan dengan mudah bisa di atasi dan dengan demikian, agenda-agenda kebangsaan yang lebih substansial di parlemen bisa dikawal secara lebih inten dan konprehensive.


Patsun politik yang berlaku dalam koalisi seperti itu adalah, partai yang memiliki suara terbanyak dalam kelompok aliansinya, yang akan memimpin dalam koalisi. Artinya, siapa yang memimpin dalam koalisi ditentukan oleh siapa partai yang memiliki dukungan suara terbanyak dalam Pemilu. Dalam patsun politik seperti itu, maka akan sangat bisa dibaca arah dan perkembangan politik yang akan datang. Demikian juga dalam menentukan kebijakan-kebijakan politik kenegaraan, partai-partai tidak disibukkan dengan lobby-lobby sebab sebelumnya sudah dibicarakan pada tingkat koalisi. Suara koalisi mewakili anggotanya.


****
Model koalisi seperti itu, tentu saja sangat menguntungkan bagi partai-partai yang memiliki basis massa yang jelas. Partai Golkar dengan pendukung setianya yang bisa dikatagorikan sebagai pendukung Orde Baru, PDIP dengan basis massa Sukarnoisnya, PKB dengan massa Nahdliyinnya, PKS dengan Islam kotanya, PAN dengan Muhammadiyahnya, PPP dengan basis pemilih tradisionalnya.


Dengan pemetaan basis seperti itu, maka tampaknya jelas, bahwa dalam kontelasi politik ke depan pada koalisi kebangsaan yang akan menjadi leader atau jangkar politik antara PDIP dan Partai Golkar. Sementara partai-partai yang berbasis agama Islam, yang potensial memimpin aliansi adalah PKS atau PPP.


Sementara partai-partai yang tidak tergabung dengan koalisi besar, akan memainkan peran sebagai bandul politik. Bandul politik ini akan sangat menentukan jika komposisi dua aliansi besar itu seimbang. Suaranya jadi sangat menentukan untuk menentukan arah politik ke depan. Contoh kongretnya partai-partai yang mendukung cabinet SBY-JK sekarang ini. Hampir semuanya memainkan bandul politik, sebagaimana dalam penyusunan kabinet tempo hari. Sebaliknya, jika salah satu koalisi dominan, suaranya melebih 50% kursi. Biasanya yang dilakukan adalah membangun simpati kepada pemilih untuk kepentingan Pemilu berikutnya, lantang menyuarakan kritik terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat, harapannya tentu jelas akan mendapatkan citra sebagai modal untuk kampanye putaran berikutnya.


Pertanyaannya kemudian, betulkan kecenderungan yang terjadi belakangan ini mengarahkan kepada terjadinya realiansi politik berdasarkan ideologi atau platform politik? Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya.
Ellyasa KH Darwis

Dilemma Reshuffle

Opini Indonesia Th II/edisi 049/7 Mei-13 Mei 2007

Banyak manuver atau tekanan politik yang dilakukan menjelang resufle kabinet. Minggu-minggu belakangan ini, banyak tekanan politik yang dilakukan oleh partai-partai politik untuk mempengaruhi presiden SBY agar mengakomodasi kepentingan partai dalam komposisi kabinet.

Jadi, yang ramai dan sibuk adalah partai-partai. Ada ketua partai yang pagi-pagi sudah mengatakan kepada publik partai akan mendapat jatah tambahan dalam reshuffle kabibet nanti. Ada partai yang ngotot meminta pos-pos kementerian tertentu yang strategis, ada partai yang ngotot ingin mempertahankan posisi orangnya di cabinet meskipun kinerjanya dianggap tidak optimal.

Pada moment-momen menjelang reshuffle cabinet belakangan ini tampak interplay antar berbagai kekuatan politik untuk menekan SBY pada satu sisi, pada sisi lain juga, antar kekuatan politik sendiri sesungguhnya sedang bertarung antar mereka sendiri. Pada titik tertentu, juga ada pos kementrian yang sedang diincar ramai-ramai sebagaimana pada kasus kementrian BUMN.

Siapa yang berhasil menusukkan pengaruhnya ke dalam kebijakan presiden SBY nanti, semua akan terjawab dalam komposisi reshuffle cabinet nanti. Dalam tekanan yang bertubi-tubi itu, seperti biasa, SBY tampak gamang melihat tekanan yang demikian keras dan saling menusuk. Ancamannya jelas, jika kepentingan politik mereka tidak terakomodasi, maka ancaman penarikan dukungan di legislative akan dilakukan.

Ini agaknya yang ditakutkan oleh SBY. Kita pun mafhum, SBY dengan Partai Demokrat tidak kuat untuk sendirian mengusung agenda-agendanya di DPR. Lebih-lebih dengan sikap oposisi PDIP dan pada saat yang sama, menghadapi sikap politik Golkar di DPR yang selalu memberikan dukungan dengan catatan asal dikasih konpensasi politik.


****
Belum lama ini sejumlah pimpinan fraksi mengadakan pertemuan, yang konon untuk konsolidasi dan bertukar pikiran untuk mendukung pemerintah atas rencana "reshuffle" kabinet dalam waktu dekat.

Tampak di sini, kekuatan politik sedang ikut berbicara tentang komposisi cabinet. Adakah indikasi bahwa reshuffle nanti tidak semata-mata mengganti menteri yang kinerjanya buruk tetapi juga dalam rangka akomodasi politik. Sebelumnya juga, beberapa partai politik, seperti Golkar dan PD secara khusus melakukan rapat untuk membicarakan masalah reshuffle. Tampaknya, partai-partai memang sedang mengincar posisi dalam cabinet versi reshuffle nanti.

Pada saat yang sama, beberapa menteri yang kini menduduki pos penting sedang menghadapi tekanan public terkait dengan dirinya. Ada yang terkait dengan masalah etika jabatan dan ada yang soal kinerja. Suhu politik memang mulai meninggi sekarang dan arahnya sangat jelas kearah pergantian posisi seseorang dikabinet yang sekarang.

Pertanyaannya, adakah SBY akan terpengaruh dengan apa yang terjadi belakangan ini? Apakah SBY konsisten untuk mengganti menteri dalam rangka meningkatkan kinerja di tengah-tengah popularitas dirinya yang mulai menurun menjelang Pemilu 2009?

****
Secara normative, reshuffle Kabinet itu memang hak prerogative presiden. Presiden dengan bebas memilih anggota kabinetnya yang menurutnya mampu dan memiliki integritas moral dalam menjalankan amanatnya sebagai pembantu presiden.

Tetapi semua orang tahu, posisi politik itu sangat rentan jika tidak mempertimbangkan kekuatan-kekuatan politik yang ada. Kita tentu masih ingat apa yang dilakukan mantan Presiden Abdurahman Wahid, yang menggusur dan tidak menghiraukan aspirasi kekuatan politik yang meminta jatah kursi tetapi diabaikan begitu saja. Hasilnya, tidak lama kemudian muncuk gerakan untuk menjatuhkan dirinya dari tampuk kepemerintahannya.

Oleh karena itu, tidak masuk akal juga usulan beberapa kalangan yang mendesak agar dalam cabinet nanti diisi oleh kalangan professional yang memiliki kompeten dan integritas. Alasannya jelas, agar kabinet bebas dari kepentingan-kepentingan partai politik sekaligus tercipta clean and good governance. Selama ini kita tahu, banyak kasus korupsi yang terjadi di beberapa pos kementrian yang diindikasikan ada kaitannya dengan kepentingan partai politik.

Sekali lagi, usulan cabinet dari professional itu hanya mungkin bias dilakukan, jika dukungan politik SBY di legislative mayoritas. Barangkali melihat komposisi sebaran suara partai politik sekarang dan nanti, agaknya usulan itu sangat belum bisa direalisasikan.

Dapatkah SBY menyusun komposisi cabinet dalam reshuffle nanti orang-orang yang memiliki kompetensi, integritas moral dan dukungan politik yang cukup kuat, ini yang sedang ditunggu-tunggu. Pada saat yang sama, juga sedang ditunggu dikap politik parpol yang tidak terakomodasi dalam cabinet yang tentu akan menjadi bandul penentu untuk memperkuat oposisi PDIP di legislative. Wait and see.

Ellyasa KH Darwis

Terserah Presiden



Opini, edisi 40, 5 -10 Maret 2007



Seperti biasa, pejabat politik di negeri ini saat dinilai harus bertanggung jawab secara moral dan politik, selalu sulit untuk dilakukan. Demikian halnya yang terjadi pada Menteri Perhubungan Hatta Radjasa. Menteri yang selama menjabat sebagai orang nomor satu di Departemen Perhubungan itu, oleh banyak kalangan di desak untuk mundur sebagai pertanggungjawaban moral dan politik atas serangkaian kecelakaan yang terjadi selama ini. Kita tahu, selama ia menjabat sebagai menteri, berbagai kecelakaan terjadi, baik di darat laut maupun di udara.



Menteri Perhubungan Hatta Rajasa adalah pejabat negara yang paling bertanggung jawab terhadap kecelakaan transportasi belakangan ini. Jika mau dirunut, memang banyak kecelakaan. Sebut saja dari yang paling anyar terbakarnya Kapal Levina, jatuhnya pesawat Adam Air rute Surabaya-Manado. Nasib 102 penumpang dan awak pesawat itu hingga kini masih tak tentu rimbanya. Lima kapal karam hanya dalam sepuluh hari. Kapal Senopati Nusantara, yang membawa 628 penumpang, karam di perairan Pulau Mandalika. Lalu kapal Sinar Baru karam di Benoa, Bali. Di Batam, kapal Santosa 89 diempas gelombang. Di Selat Bangka, kapal Tristar I terempas. Dan di Karimunjawa, kapal Bunga Anggrek karam. Belum lagi serangkaian kecelakaan kereta api yang terjadi selama dia menjabat.



Ini semua menunjukkan bahwa manajemen transportasi kita ternyata begitu buruk. Sistem pengawasan yang lemah, menjadi penyebab utama. Melihat serangkaian kecelakaan dengan jumlah nyawa yang melayang tidak sedikit itu, wajar banyak kalangan yang mendesak agar ia mundur. Mundur, bukan berarti lari dari tanggung jawab, tetapi lebih kepada memberi kesempatan kepada orang lain untuk memperbaiki keadaan





*****

Jadi, wajar jika ia belakangan jadi sasaran atas terjadinya berbagai kecelakaan transportasi di Indonesia. Suara lantang dikemukakan oleh Aliansi Mahasiswa Peduli Transportasi (Alma Peta) menuntut pertanggungjawabannya atas musibah yang kerap terjadi akhir-akhir ini. Mereka menilai Hatta Rajasa lemah dalam menjalankan tugasnya. “Kami meminta Hatta Rajasa bertanggungjawab dan mundur dari jabatannya. Dia telah melakukan kesalahan besar, sehingga tragedi kecelakaan menimpa bangsa kita, termasuk jatuhnya Adam Air dan tenggelamnya Kapal Senopati Nusantara,” kata Koordinator Alma Peta, Saiful Arif di Jakarta, belum lama ini.



Alma Peta merupakan organisasi gabungan mahasiswa Universitas Indonesia (UI), Universitas YAI, Universitas Gunadarma, UIN Ciputat serta Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Mereka merasa prihatin dengan semakin meningkatnya angka kecelakaan di Indonesia akibat tidak becusnya Hatta Rajasa dalam menjalankan tugasnya. “Setiap tahun dalam periode kepemimpinan Hatta Rajasa, ribuan nyawa hilang sia-sia akibat dari berbagai tragedi yang terjadi pada transportasi publik, mulai dari kereta api, kapal laut, hingga pesawat terbang. Yang terakhir dua kecelakaan terburuk yaitu, tenggelamnya KM Senopati dengan lebih 300 korban, dan hilangnya pesawat terbang Adam Air yang sampai sekarang tak tentu rimbanya,” katanya.



Daftar kecelakaan tranasportasi dunia, mengalami tren penurunan dengan semakin baiknya pelayanan dan manejemen transportasi. Ironisnya, di bawah kepemimpinan Hatta, frekwensi kecelakaan pesawat terbang dan kapal laut di Indonesia justru mengalami kenaikan yang cukup fantastis. Belum lagi kecelakaan yang terjadi pada transportasi darat seperti kereta api, yang mengakibatkan puluhan ribu nyawa terenggut sia-sia.



Fakta itu oleh banyak kalangan disebut sebagai bukti rendahnya kinerja pemerintahan di bidang perhubungan. Fakta itu tidak bisa dibiarkan begitu saja dengan berlindung atas nama 'kecelakaan' yang kemudian tidak ada pertanggungjawaban publiknya,



**

“Terserah Presidenlah”, itu statemen resmi menjawab desakan untuk mengundurkan diri sebagai bentuk tanggung jawab atas berbagai kecelakaan di bidang transportasi akhir-akhir ini.



Mundur dari jabatan, memang belum merupakan tradisi politik di negeri ini. Tentu ini berbeda dengan di negara lain, Jepang misalnya, untuk sekedar menyebut contoh, pejabat politik sering mundur jika dirinya dianggap gagal dalam menjalan tugas.

Presiden mungkin tidak akan memberhentikannya. Sebab akan menanggangu peta koalisi yang dibangun selama ini. Barangkali kini harapannya tinggal kepada DPP PAN. Di sini pengurus partai berlambang matahari itu dituntut untuk arif dan bijaksana. Untuk menarik kadernya dari kabinet, sebab menyalahkan pejabat di bawah bukan jamannya lagi. Dalam budaya "good governance", yang bersih dan berwibawa orang yang bertanggung jawab adalah orang-orang yang berada di atas bukan orang-orang yang berada di bawahnya yang dikorbankan.

Ellyasa KH Darwis

Menunggu Sikap Golkar


Oleh Ellyasa KH Darwis (Opindo, edisi 27, 20-27 Nop/2006)

Partai Golkar akan melakukan evaluasi atas sikap politiknya yang mendukung pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Rapat Pimpinan nasional ke II yang diselenggarakan 13 s/d 16 Nopember 2006. Di sini, evaluasi atas sikap politik Partai Golkar yang dalam rapim I tahun 2005 lalu mendukung pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jadi Take and give nya apa yang bisa diberikan oleh SBY kepada Golkar ini.

Selama ini, Partai GOLKAR selalu tampak ambigue, pada satu sisi sikapnya mendukung pemerintah, namun pada sisi lain dalam berkali-kali di berbagai kesempatan Golkar akan tetap bersikap kritis, obyektif dan konstruktif serta proporsional artinya mendukung mesti tidak secara membabi buta. Tentu banyak kalangan yang menilai, sikap politik seperti ini hanya basa-basi atau retorika politik semata. Suatu yang tak lazim memang, pada satu sisi, ikut mendukung pemerintah tetapi pada sisi lain, dengan tegas menyatakan akan kritis terhadap pemerintahan SBY-JK.

Tampaknya Golkar akan menempat posisinya sebagai oposisi loyal dan kritis terhadap setiap kebijakan politik yang dibuat oleh pemerintahan SBY-JK. Banyak yang menduga, sikap seperti cuma sebatas menaikkan posisi runding partai Golkar terhadap, secara khusus, SBY itu sendiri. Argumen yang dikemukakan memang bisa sangat memikat dan membuai, membangun check and balances yang menjadi salah satu tugas partai politik.

Pada sisi lain, juga bisa merupakan formulasi politik cuci tangan Golkar menghadapi Pemilu 2009 nanti. Keberhasilan yang diraih oleh pemerintahan SBY, maka Golkar dengan nyaring dan lantang akan ikut mengatakan, semua itu tak lepas berkat dukungan Partai Golkar. Sebaliknya, setiap kebijakan SBY-JK yang tidak populis, dan langsung berdampak terhadap hajat hidup orang banyak, Partai Golkar akan cuci tangan tak mau dikait-kait dengan kebijakan itu.

****

Beberapa prestasi yang selama ini diangkap sebagai kisah sukses SBY. Soal perdamaian di Aceh misalnya, Golkar selalu menyebut-nyebut keberhasilan itu salah satunya, karena prakarsai oleh Wapres Jusuf Kalla yang juga merupakan ketua Umum DPP partai Golkar. Demikian juga, dalam masalah penanggulangan bencana, salah satunya berjalan dengan Ketua Bakornasnya Jusuf Kalla. Demikian halnya soal pelunasan hutang kepada IMF pun tak luput dikait-kaitkan sebagai berkat Partai Golkar.

Meski tentu publik sangat sulit mengaitkan, apa hubungan sesutau yang dianggap sebagai keberhasilan SBY itu berkat dukungan Partai Golkar. Apalagi mengaitkan, semua berkat kerja keras dan dukungan dari para kader Partai Golkar baik di daerah maupun khususnya ketua Umumnya yang juga Wapres M Jusuf Kalla.

Betul tidaknya klaim-klaim keberhasilan itu, biarlah komunitas politik yang menilai. Tetapi belalangan pelan-pelan juga segera terungkap, salah satu sebab mengapa Partai Golkar lantang adalah karena beberapa kebijakan SBY yang menghambat kepentingan politik Partai Golkar. Diantaranya, kasus Lampung yang menimpa kader Partai Golkar Alzier yang hingga saat ini belum ada kepastian. Kemudian kasus di Irjabar dan Papua dimana ada anggota DPRD dari partai Golkar yang hingga saat ini masih belum dilantik. Kasus-kasus ini, untuk menyebut diantaranya, sangat tidak menguntungkan kepentingan jangka panjang partai Golkar.

Jauh-jauh hari sebelumnya, juga santer terdengar desakan Partai Golkar untuk meminta jatah lebih dalam kabinet. Meski dengan diplomatis masalah kabinet selalu dijawab dengan itu hak pereogrative presiden, tetapi bukan rahasia lagi jika mendesak SBY agar lebih banyak lagi memasukkan kader-kader partai Golkar dalam kabinetnya melalui reshufle.

****
Bisa jadi benar, pandangan banyak kalangan bahwa apa yang akan dilakukan Partai Golkar mencabut dukungan kepada pemerintah dinilai hanya sebagai manuver politik yang sensasional. Isu tersebut sengaja digunakan Golkar selaku pendukung setia pemerintah untuk mencari simpati publik saat nilai rapor kerja pemerintah merosot tajam. Ancaman itu tidak logis.

Memang harus diakui, Partai Golkar selama ini dikririk kader-kadernya yang kecewa kader di daerah terhadap kinerja pemerintah. Di sini memang dilema internal yang dimiliki partai itu.

Bisa jadi, ancaman evaluasi, bersikap kritis dan proporsional semata-mata hanya tekanan buat presiden SBY belaka. Sebaliknya, jika keinginannya itu telah terpenuhi, maka akan adem ayem lagi. Lebih-lebih jika melihat sikap kritis dan proporsional yang sebelumnya dikemukakan saat JK terpilih jadi ketua umum Partai Golkar, sampai saat ini tidak terbukti.

Sebaliknya, banyak kasus-kasus yang menyangkut hidup orang banyak, dari kenaikan BBM sampai terakhir impor beras, sikap Golkar tak ubahnya stempel belaka. Tak ada suara kritis, tak ada upaya yang menggambarkan posisinya yang menghendaki check and balance, apalagi vokal dan tajam.

Ada baiknya, tegas saja kalau Golkar itu masih setia menjadi partner pemerintah dan untuk itu harus ada konpensasi politik yang lebih dan proporsional. Itu agaknya dibalik retorika politik yang dakik-dakik yang selama ini berkembang. Ada baiknya dikutip pernyataan elit Partai Golkar di sini. “Sebagai partai yang membeking penuh, Golkar membutuhkan peran yang lebih memadai. Golkar tidak ingin menjadi pemadam kebakaran saja, tapi juga betul-betul ingin menjadi partai."

Jadi semua sudah jelas. Retorika politik yang berkembang selama ini, pada dasarnya, dan tidak lain adalah upaya meningkatkan posisi runding partainya agar paling tidak dua hal. Pertama, kebijakan SBY yang selama ini menggantung terkait kader Golkar segera diselesaikan. Kedua, apa lagi kalau bukan tekanan agar SBY tidak memandang sebelah mata terhadap posisi dan peran Partai Golkar dengan konpensasi politik yang proporsional pula.

Kritis Tak Untuk Menjatuhkan


Oleh Ellyasa KH Darwis (Opindo, edisi 24, 9-15 oktober.2006)

ADALAH Wakil Ketua Umum Partai Golkar Agung Laksono, belum lama ini secara lantang menyatakan bahwa partainya akan tetap kritis, namun demikian sikap tersebut tidak dimaksudkan untuk menjatuhkan pemerintah. Sikap Golkar terhadap pemerintah tidak berubah dengan tetap memberikan dukungan, namun sokongan tersebut tetap akan diberikan dalam bentuk lebih kritis. Partai Golkar mendukung pemerintah tetapi tidak menutup mata atas kebijakan-kebijakan yang dijalankan pemerintah. Oleh karena itu Golkar akan tetap kritis menyikapi kebijakan pemerintah tersebut.

Dibalik sikap kritis itu, tandasnya, tidak ada agenda tersembunyi dari sikap kritis yang ditunjukkan Golkar. Sikap kritis itu juga tidak dimaksudkan untuk menjatuhkan pemerintahan. Dengan sikap kritis, obyektif, dan profesional. Kritik-kritik yang disampaikan diharapkan untuk meningkatkan kinerja pemerintah.

Dia mencontohkan sikap kritis itu antara lain disampaikan ketika menanggapi laporan keuangan pemerintah yang ditetapkan BPK dalam posisi "disclaimer". Dia menambahkan, laporan keuangan tersebut ironis karena menteri keuangannya baru saja memperoleh predikat terbaik di Asia

Jauh-jauh hari sebelumnya, Partai Golkar, pernah menyatakan, akan meninjau ulang posisinya sebagai partai pendukung pemerintah setelah menilai kinerja pemerintahan dan kabinetnya ternyata selama ini kurang memuaskan. Alasannya, tak lain kinerja pemerintahan dan kabinet akhir-akhir ini, ada wacana kemungkinan Golkar mengevaluasi dukungan politik kepada pemerintah.
****

Meskipun demikian. seberapa pun besar kekecewaan Golkar kepada pemerintahan, sikap partai berlambang beringin itu tidak akan seperti PDIP yang mengambil posisi sebagai oposisi pemerintah. Bisa dipahami, bagaimanapun kini Jusuf Kalla sebagai Ketua Umum PG juga menjabat wakil presiden yang ikut mengendalikan jalannya pemerintahan. Harus diakui, sejauh yang terjadi selama ini, Golkar telah banyak berperan sebagai bumper pemerintahan atas sejumlah kebijakannya yang tidak populis, seperti kenaikkan harga BBM atau impor beras. Di sini Partai Golkat pun merasa Golkar hanya difungsikan ibarat barisan pemadam kebakaran.

Adalah hal yang aneh tentunya, jika Partai Golkar kritis terhadap pemerintahan SBY. Bagaimanapun, dengan sendirinya Partai Golkar sudag menjadi partai pemerintah. Dan harusnya ini menjadi kesadaran semua kalangan di tubuh partai Golkar. Pikiran seperti itu, merupakan nalar yang anomali politik. Bagaimana tidak, Partai Golkar dengan Ketua Umumnya menjadi Wapres, jika Partainya beroposisi terhadap pemerintah, tentu dia dapat diartikan akan beroposisi terhadap dirinya sendiri karena jabatannya dalam pemerintahan. Demikian juga jika tetap berada dalam pemerintahan, akan repot dalam menetapkan sikap politiknya sebagai pimpinan puncak Partai Golkar. Kerepotan ini tampak dalam pernyataan Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla. Sedari awal, sejak awal hubungan Golkar dengan pemerintah adalah hubungan kritis, obyektif, dan proporsional. Oleh karena itu Golkar sulit untuk beroposisi dengan pemerintah karena Golkar mendukung apa pun yang bersifat pembangunan.


Di sini, tampak apa yang dikatakan banyak kalangan bahwa bagaimanapun juga Golkar tidak memiliki pengalaman sebagai partai oposisi. Maindset yang berkembang adalah maindset penguasa. Pandangan ini tampak dominan dalam pandangan dan sikap politik Yusuf Kalla itu sendiri.

Tampaknya, Partai Golkar memang sedang bertaruh pada masa depannya. Untuk menyongsong Pemilu mendatang, paling tidak banyak pekerjaan berat yang harus dilakukan sekarang ini. Pertama-tama, identifikasi partai Golkar sebagai partai pemerintah, tentu saja akan sangat terkait dan terkena imbas oleh kebijakan-kebijakan yang tidak populis pada pemerintahan sekarang. Golkar pada saat ini, tampak sebagai alat kekuasaan, pengawal regim politik yang berkuasa sekarang ini.

Kedua, sebagai konsekuensi dari posisi di atas, maka sesungguhnya sangat tidak bisa bersikap seperti yang dikemukakan belakangan ini, yaitu "mendukung tetapi kritis" atau "mitra yang kritis" bagaimanapun merupakan kalimat yang rancu. Sikap seperti ini sangat tidak jelas dan terkesan mau mengambil posisi di dua kali yang berbeda. Sikap itu jelas tidak bisa dijadikan wahana untuk melakukan checks and balances.
***

Dengan konteks seperti itu, agaknya ada dua hal yang akan dilakukan oleh partai Golkar. Pertama-tama, ia akan mencoba cuci tangan atas dukungan yang diberikan selama ini kepada pemerintahan SBY. Dengan cara demikian, maka yang sedang dilakukan adalah upaya menaikkan citra diri partai Golkar bahwa partai ini tidak menjadi bagian dalam pemerintahan. Tentu saja, jalan pikiran seperti sangat susah dimengerti oleh orang awam sekalipun. Bahkan yang lebih dominan dan berkembang luas di publik adalah Partai Golkar sedang melakukan pressuare politik untuk mendapatkan posisi-posisi yang strategis. Tentu ini terkait dengan issue reshufle yang akan dilakukan dalam waktu dekat ini.

Kedua, bisa jadi merupakan ancang-ancang bagi partai Golkar untuk melakukan manuver politik menjelang Pemilu 2009. Pendeknya, Partai Golkar sedang melakukan upaya memoles diri setelah sekian lama citranya menurun sebagai partai pemerintah. Seperti diketahui, kian hari kian terakumulasi berbagai kritik kepada pemerintah, Golkar pun memperoleh banyak sorotan. Sementara dalam tataran kekuasaan, tidak terlalu banyak kue politik yang didapat padahal di legislatatif, setiap saat harus all out melakukan upaya untuk membendung gerakan-garakan politik yang mendelegitimasi pemerintah.

Pada sisi lain, Pemilu 2008 sudah dekat dan tentu saja bagi Golkar sangat berat. Lambat tapi pasti, bisa jadi, citra partai yang sebelumnya dengan sudah payang dibangun oleh Akbar Tanjung sehingga bisa tampil sebagai pemenang dalam Pemilu 2009, akan susah terulang lagi. Sederhana saja formulasinya, apa yang terjadi di atas dengan kasat mata akan berpengaruh ke massa pemilih. Masalahnya, di tengah situasi seperti itu, Partai Golkar tampak setengah-setengah menentukan sikap. Sebagaimana tampak dalam statemen’ sikap kritis tapi tidak untuk menjatuhkan pemerintah”. Gincu politik belaka? Biarlah massa pemilih yang menilainya.

Network