Showing posts with label Transparansi. Show all posts
Showing posts with label Transparansi. Show all posts

Target Privatisasi BUMN Menjelang Pemilu...

Sangat nyata bahwa Badan Usaha Milik Negara atau BUMN sebagai sapi perahan pemerintah masih kental. Pemerintah. Selalu mengandalkan setoran BUMN dalam menutup defisit APBN. Dividen dan privatisasi BUMN , dikerahkan untuk menyehatkan keuangan negara. Hasilnya menyedihkan. Pada saat harga komoditas di pasar dunia terus meningkat, pemerintah malah masih harus menyuntikkan dana ke BUMN.

...Semua pihak tentu mencatat statemen Menteri BUMN itu. Kalangan yang konsen terhadap KKN akan mengawasi proses privatisasi ini. Saatnya kita membuktikan good corporate governance sekarang. Akan tetapi memang kita tidak boleh lupa, sebab pengalaman sebelumnya memang privatisasi BUMN kental nuansa politiknya. Jadi wajar kalau sekarang terus diawasi dan dipantau. Agar privatisasi tak lagi untuk menambal defisit APBN apalagi untuk kepentingan Pemilu 2009.

...


Tampaknya, kini ada tekad dari pemerintah untuk tidak lagi menggunakan BUMN sebagai sumber untuk menutup deficit APBN. Tekad dan sekaligus iktikad itu, menyerua dari pernyataan Menteri Keuangan di Gegung DPR minggu lalu. Dengan lantang ia mengatakan mulai Januari 2008, setiap sen uang yang dihasilkan BUMN sebagian besar harus dimanfaatkan untuk mengembangkan usahanya. Sekurang-kurangnya untuk menguasai atau bermain di pasar domestic. Tidak tertutup kemungkinan pula, jika BUMN itu sanggup, akan dirorong menjadi perusahaan terhormat di kawasan regional.

****
Dari statemen itu, tampak arah program privatisasi BUMN pemerintah tahun ini. Lalu BUMN mana yang menjadi prioritas? Merujuk Keputusan sementara Komite Privatisasi menunjukkan ada 34 BUMN yang terpilih untuk masuk dalam daftar antrean privatisasi tahun ini.

Tampak ambisius memang. Di luar program privatisasi 2008 tersebut, ada empat program privatisasi 2007 yang dialihkan ke tahun 2008. Hal itu antara lain penawaran saham maskapai penerbangan Garuda Indonesia kepada investor strategis, lalu Merpati Nusantara, serta Industri Gelas. Alasan pelepasan sebagian saham pemerintah di 34 BUMN tersebut karena perusahaan-perusahaan itu memang membutuhkan pertolongan. Lihat saja, misalnya, pabrik Kertas Kraft Aceh.

Pengalaman sejak 2001 hingga 2007, pemerintah hanya sanggup memprivatisasi maksimal tiga BUMN dalam setahun. Pemerintah terlalu bersemangat. Lebih baik fokus saja ke privatisasi yang sudah direncanakan di 2007, tetapi belum terlaksana atau privatisasi yang dialihkan ke 2008.

Kecurigaan pun muncul. Lebih-lebih menjelang pelaksanaan Pemilu 2009. Banyak pihak mendesak untuk meminimalisir upaya menjadikan anggaran publik dan Badan Usaha Miliki Negara (BUMN) sebagai sapi perahan menuju pemilihan umum 2009.

Rencana penjualan aset BUMN bisa menjadi potensi sokongan dana ilegal untuk peserta Pemilu. Oleh karena itu, dengan lantang ICW mengajak semua pihak untuk mengawasi bersama proses privatiasasi itu jangan sampai malah merugikan keuangan Negara. Dalam catatan ICW, korupsi di tubuh BUMN jumlahnya terbilang sedikit, namun kerugian negara yang ditimbulkan sangat besar. Selama kurun waktu 1998 hingga 2007, tercatat tujuh dari 82 kasus korupsi terjadi di tubuh BUMN. Namun, hanya lewat tujuh kasus tersebut, jumlah kerugian negara hasil korupsi di BUMN mencapai Rp 377,6 miliar.

****
Ada baiknya dikutip statemen Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil tahun lalu yang memberi penegasan pihaknya akan terus mengusahakan good corporate governance pada BUMN untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan badan tersebut untuk kepentingan politik mendekati pemilihan umum (pemilu) 2009.

Dengan tegas ia mengatakan BUMN tidak boleh dijadikan tempat untuk mencari dana pemilu dan kepentingan politik lainnya. Untuk itu,akan terus melakukan usaha untuk memperbaiki kinerja BUMN melalui penerapan good corporate governance. Dengan good corporate governance dan good governance itu masalah dengan pemilu tidak relevan. Selama ini kita terlalu besar kecurigaan, kecurigaan dan intervensi politik bisa terjadi kalau aturan mainnya tidak baik, jadi kita bereskan aturan mainnya.
Untuk itu, pihaknya akan terus mengusahakan "good corporate governance" ke BUMN untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan badan tersebut untuk kepentingan politik mencari dana mendekati Pemilihan Pmum (Pemilu) 2009.

Benar, BUMN tidak boleh dijadikan tempat untuk mencari dana pemilu dan kepentingan politik lainnya, upaya untuk memperbaiki kinerja BUMN melalui penerapan "good corporate governance".

Semua pihak tentu mencatat statemen Menteri BUMN itu. Kalangan yang konsen terhadap KKN akan mengawasi proses privatisasi ini. Saatnya kita membuktikan good corporate governance sekarang. Akan tetapi memang kita tidak boleh lupa, sebab pengalaman sebelumnya memang privatisasi BUMN kental nuansa politiknya. Jadi wajar kalau sekarang terus diawasi dan dipantau. Agar privatisasi tak lagi untuk menambal defisit APBN apalagi untuk kepentingan Pemilu 2009.

'Dewi Keadilan' dan Korupsi

Opini Indonesia, Th. II, ed. 053, 4-10 Juni2007
Pepatah Latin kuno, “nec curia deficeret in justitia exhibenda” (pengadilan adalah istana di mana Dewi Keadilan bersemayam untuk menyemburkan aroma keadilan tiada henti). Tampaknya tinggal pepatah. Lembaga peradilan tak lagi tempat bersemayam Dewi Keadilan. Korupsi di lembaga peradilan biangnya

Adalah Todung Mulya Lubis, Ketua Dewan Pengurus Transparansi Internasional Indonesia (TII), yang mengatakan bahwa berbagai kasus suap yang terjadi di lembaga peradilan Indonesia 100 persen dimulai dari permintaan lembaga itu sendiri. Jadi, lembaga peradilan itu sendiri ‘proactive’ atau beriniasitif untuk meminta untuk ‘mengamankan ‘ jalan bagi orang yang sedang mengalami masalah hukum. Pertanyaannya kemudian mengapa hal itu terjadi? Salah satunya, adalah karena adanya campur tangan politik lembaga eksekutif maupun legislatif.
.


Sinyalemen itu, tentu saja sejalan dengan laporan yang dikeluarkan Global Corruption belum lama ini. Ada ada 32 negara, tentu termasuk di dalamnya Indonesia, yang sebagian besar hakimnya terlibat korupsi. Polanya dan kepentingannya sangat jelas, suap yang diberikan itu untuk tujuan yang sangat jelas, mempercepat atau memperlambat proses peradilan. Bukan hanya itu, suap itu juga dilakukan untuk menerima atau menolak permintaan banding serta mempengaruhi rekan sesama hakim. Tentu di sini, memang tidak semata-mata masalah intervensi politik, tetapi hal itu juga terjadi karena mentalitas para penegak hukum itu sendiri.

Jelas dalam konteks penegakkan hukum, di sini para penegak hokum memiliki otoritas dan juga kekuasaan untuk menentukan diteruskan atau tidaknya proses peradilan. Di sinilah, posisi pentingnya, yang seringkali disalah gunakan untuk kepentingan sesaat baik karena tekanan politik atau karena kepentingan pragmatis yang bersifat material.

Data hasil penelitian tahun 2006, yang dilansir Global Corruption, secara eksplisit menemukan kasus korupsi di sejumlah badan negara. Seperti dalam tubuh Polri yang mengalami tingkat korupsi sebesar 78 persen, badan perpajakan sebesar 76 persen, Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebesar 84 persen, pihak keimigrasian sebesar 90 persen dan bea cukai sebesar 95 persen.


*****
Belum Lama ini Transparansi International yang berbasis di Berlin, merilis temuannya dan dalam laporan itu menyebutkan bahka tingkat korupsi di lembaga peradilan Indonesia masuk kategori paling tinggi di dunia. Indonesia dalam tingkat korupsi di Lembaga Peradilan sejajar dengan yang terjadi di Albania, Yunani, Meksiko, Moldova, Maroko,Peru,Taiwan, dan Venezuela.

Di Negara-negara yang lembaga peradilannya tinggi tingkat korupsinya, sedikitnya tiga dari sepuluh warga negaranya dilaporkan menyuap untuk mendapat keadilan atau hasil yang ‘adil’ dalam pengadilan. Dari temuan ini menunjukkan bahwa sistem peradilan di Indonesia masih sangat korup dan bobrok. Banyak pencari keadilan di daerah punya pengalaman buruk mengenai perilaku hakim di daerah yang meminta suap.

Fakta itu menunjukkan bahwa upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintah selama ini belum membawa perubahan siginifikan. Kasus korupsi di banyak intansi pemerintah masih saja terjadi selama dua tahun terakhir ini, tak terkecuali lembaga peradilan yang diharapkan menjadi pilar penting dalam penegakan hukum perkara korupsi. Lembaga peradilan di Indonesia bahkan masih menempati posisi yang tertinggi sebagai institusi yang korup.

Untuk itu, menjadi penting bagi pemerintah dalam rangka menegakkan lembaga peradilan. Harus secepatnya diambil langkah-langkah strategis untuk memotong dan menjamin tidak terjadinya kasus suap menyuap dilingkungan lembaga peradilan di negeri ini. Secara pelan dan pasti, korupsi menggerotogi sendi-sendi sistem yudisial. Pada saat yang sama, konsep keadilan bagi semua tertutup karena rakyat kebanyakan tidak lagi memiliki akses dan bila berperkara bias dikalahkan dengan kekuatan uang.

*****
Sudah lama berkembang pepatah di kalangan masyarakat yang mengatakan ada uang maka beres perkara. Sudah lama juga berkembang pendapat umum bagi kalangan yang punya uang dan sedang punya perkara, tutup dulu sebelum masalah berkembang lebih jauh. Sudah lama juga berkembang pendapat jangan membuat perkara kalau tidak punya uang.

Ungkapan itu, tentu bukan suatu yang berkembang tanpa dasar. Tetapi juga sangat jelas dari ungkapan itu, bahwa sesungguhnya telah terjadi proses peminggiran yang luar biasa keadilan bagi yang tidak bersalah. Korupsi telah meminggirkan konsep keadilan untuk semua sebab lembaga itu , sebagaimana tampak dalam temuan survey, justru lebih banyak memihak yang memiliki uang. Parahnya lagi, kekuatan politik baik eksekutive maupun legislative sering melakukan intervensi. Jadi memang peradilan hanya menjadi unjuk kekuatan kalangan yang punya akses semata.

Tentu kita masih bermimpin pengadilan adalah istana di mana Dewi Keadilan bersemayam untuk menyemburkan aroma keadilan tiada henti. Untuk itu memang harus dilakukan secara serius upaya pencegahan agar korupsi dan intervensi politik tidak bias masuk ke lembaga peradilan di berbagai level.

Menjadi tugas pemerintah untuk memastikan agar law enforcement bisa ditegakkan dari titik yang paling awal, yaitu dari lembaga peradilan itu sendiri. Penegak hukum agar konsisten tidak melakukan penyalahgunaan jabatan. Penegak hukum dari oknum polisi, jaksa dan hakim, agar bisa bertindak sebagai bagian dari Dewi Keadilan. Dengan istananya yang megah, anggun dan mampu menjadi penyayom dan penegak keadilan bagi masyakat yang lemah dan tidak punya uang.

Ellyasa KH Darwis







DKP & Dana Asing Dalam Pilpres 2004

Opini Indonesia, Th. II, ed. 052, 28 Mei-3 Juni 2007

Pilpres 2004, menyisakan teka-teki yang terus menggelinding layaknya bola salju. Kian hari kian besar dan kian menjadi issue hangat dalam wacana dan praktek politik di negeri ini belakangan ini. Ditengarai tim sukses capres-cawapres dalam Pilpres 2004 lalu menerima aliran dana dari DKP dan dari pihak asing.

Tengara pertama, meluncur dari pengakuan mantan menteri kelautan dan Perikanan. Mantan menteri yang tengah menjadi pesakitan itu menegaskan bahwa kucuran dana nonbujeter DKP yang dialirkan ke sejumlah parpol dan tim sukses para calon presiden (dalam Pemilu 2004) itu selalu didahului proposal. Dana nonbujeter DKP mengalir mengalir ke tim sukses Capres dan Cawapres. Tim Sukses Amin-Siswono, menerima sebesar Rp 225 juta. Mega Centre sebagai bagian tim sukses Megawati memperoleh aliran dana Rp 300 juta. Tim sukses pasangan calon terpilih SBY-JK juga mendapatkan aliran dana Rp 225 juta. Tak hanya itu, ICW mencatat Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang selama ini getol mempromosikan diri sebagai partai yang bersih itu juga mendapatkan dana Rp 300 juta.


Tak lama kemudian berkembang rumor adanya sumbangan pihak asing dalam PILPRES 2004 lalu. Dana itu ditengarai mengalir ke beberapa tim Capres dan Cawapres peserta Pemilihan Presiden pada tahun 2004. M. Amin Rais sendiri mengakui kalau dirinya ditawari dana dari sebuah foundation asing saat menjadi Capres itu. Selama ini memang di warung kopi politik beredar secara bisik-bisik akan adanya bantuan pihak asing yang masuk rekening Capres dan Cawapres pada Pilpres 2004 lalu. Sejuah ini memang tidak jelas siapa yang dimaksud sebagai pihak yang menerima sumbangan asing dalam Pilpres 2004 lalu. Pengakuan Amin Rasis, mengkonfirmasi sinyalemen yang selama ini berkembang di masyarakat luas.

Sejauh ini, terhadap sinyalemen aliran dana pihak asing itu, semua capres dan cawapres kompak membuat bantahan. Semua Capres dan Cawapres melalui orang-orangnya secara kompak dan padu saling bersahutan mengatakan bahwa pihaknya masing-masing tidak menerima aliran dana bantuan dari pihak asing.

****
Dalam wacana dan praktek politik di negeri ini, oleh banyak kalangan baik para pengamat, indonesianist, maupun para aktivis politik sudah lama berkembang semacam adagium politik. Dalam mengkaji apa yang terjadi dalam kancah politik maka bukan kata-kata itu yang harus dipahami secara mentah-mentah. Kata “tidak” sering berarti “iya”. Jadi yang harus dibaca adalah pesan sebaliknya dari apa yang muncul di permukaan.

Bahasa politik memang kadang-kadang harus dipahami bukan secara leksikal, tetapi harus ditelusur dibalik makna itu sendiri. Komunikasi politik di negeri ini memang tidak bisa dibaca secara mata telanjang, tetapi realitas seringkali dibungkus sedemikian rupa sehingga menyembunyikan fakta yang terjadi. Jadi fakta dikemas sedemikian rupa sehingga apa yang sesungguhnya terjadi seolah-olah tidak terjadi. Kita ingat jaman dulu, pejabat Negara mengatakan tidak aka ada kenaikan BBM, tetapi tak selang berapa lama terjadi kenaikan BBM. Contoh lain adalah yang minggu-minggu ini terjadi, pemerintah dengan tegas mengatakan persediaan minyak goring cukup tetapi faktanya di pasar barang itu langka dan harganya melambung.

Kita jadi ingat pepatah lama, bahasa menunjukkan bangsa. Adakah wacana politik yang berkembang belakangan ini menunjukkan jati diri kita sebagai bangsa? Tentu tidak, sebab itu hanya terjadi di kalangan politisi saja. Hanya saja memang secara umum, sebagaimana dikatakan Wilhelm von Humboldt (1767-1835), bahasa suatu bangsa merupakan jiwa bangsa itu sendiri dan jiwa mereka adalah bahasa mereka. Bahasa merupakan bagian yang tak terpisahkan dari segala aspek kehidupan sosial manusia. Sebagai arena pertarungan politik, bahasa merupakan tempat bertemunya berbagai kepentingan kelompok manusia yang saling tarik menarik, saling mendominasi, hegemoni atau hegemoni tandingan, menguasai atau melawan oleh satu kelompok terhadap kelompok lain.

Nah, dalam konteks aliran dana DKP dan sinyalemen adanya aliran dana asing dalam Pilpres 2004, yang terjadi tentu saja adalah satu pertarungan antar berbagai faksi-faksi yang terjadi di elit atas. Tidak heran kemudian, apabila masing-masing saling membuat bantahan dan apologi sebagaimana dalam kasus dana DKP dan sinyalemen adanya aliran dana asing.

****

Lepas dari persoalan di atas, satu yang jelas-jelas telah menjadi agenda hukum adalah bagaimana menyelesaikan secara hukum sesuai ketentuan yang berlaku soal aliran dana DKP pada satu sisi, dan investigasi sinyalemen adanya aliran dana asing dalam Pilpres 2004 lalu. Jika benar aliran dana DKP itu, maka jelas merupakan pelanggaran aturan yang serius. Sebab, menurut pasal 28 UU 31 Tahun 2002, bantuan Rp 300 juta untuk parpol itu sudah melampaui batas aturan yang ditentukan dalam pendanaan partai politik.

Tetapi kayaknya semua bisa ditebak ujungnya. Belum-belum Ketua DPR RI, Agung Laksono sudah wanti-wanti agar kita tidak usah menyibukkan diri melacak adanya aliran dana asing dalam Pilpres 2004. Alasannya sebagai bangsa kita harus menatap ke depan dan jangan berorientasi kepada masa lalu dengan membongkar masalah yang jika benar sudah terjadi. Demikian halnya denngan soal aliran dana DKP. Jauh-jauh hari elit politik partai terkemuka mengatakan bahwa pengusutan kasus itu lebih kental aroma politiknya.

Jadi memang kita kadang bisa dibikin bingung. Bahasa politik seringkali harus dibungkus rapi dan multitafsir, tetapi kadang-kadang dikemukakan sangat vulgar tanpa basa-basi. Tetapi kadang-kadang dibungkus halus dan sangat sopan.

Tetapi yang jelas-jelas tidak dimengerti adalah sinyalemen yang harus melupakan apa yang telah terjadi pada masa lalu, dan diminta untuk menatap ke depan. Tampaknya kita sedang diminta untuk memiliki memory yang pendek, sehingga agar melupakan masa lalu dan menatap ke depan. Jelas sinyalemen seperti itu bukan wacana politik lagi, adakah ini pertanda bahwa masalah sinyalemen adanya aliran dana asing hanya akan dilupakan?

Ellyasa KH Darwis

Pengadaan Barang Jasa, Lahan Korupsi?

Oleh Ellyasa KH Darwis, Opindo, edisi 18, 28 agustus- 3 September 2006

ADALAH Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiqurahman Ruki, dalam Seminar Nasional bertajuk "Upaya Perbaikan Sistem Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah" yang diadakan KPK dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Jakarta, beberapa hari yang lalu mengatakan selama tahun 2005, 24 dari 33 kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan tindak pidana korupsi yang berhubungan dengan pengadaan barang/jasa pemerintah, sehingga sistem pengadaan barang harus dibenahi melalui cara yang lebih transparan.

Salah kecenderungan yang terjadi adalah selama ini penunjukan panitia pengadaan dan pimpinan proyek tidak dilakukan atas pertimbangan profesionalisme dan integritas, tetapi lebih mendasarkan pada kedekatan-kedekatan tertentu antara pimpinan proyek dengan panitia pengadaan. Dengan kata lain, pengadaan barang sarat dengan persekongkolan atau kolusi dan nepotisme. Akibatnya, terjadi pembengkakan biaya yang signifikan bagi negara.

Oleh karena itu, ketua KPK itu kemudian menegaskan bahwa perbaikan sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah mendesak untuk diperbaiki. Bentuk tindak korupsi yang ditemukan KPK dalam pengadaan barang/jasa pemerintah meliputi penggelembungan harga, perbuatan curang, penyuapan, penggelapan, pengadaan fiktif, pemberian komisi, penyalahgunaan wewenang, nepotisme, dan pemalsuan.

Kajian Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia tahun 2001 misalnya, menemukan indikasi kebocoran dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah Indonesia mencapai 10 hingga 50 persen, jumlah yang tergolong besar tentunya.

****


BELUM lama ini, Country Director Bank Dunia untuk Indonesia, Andrew Steer mengatakan Bank Dunia membatalkan penyaluran dana proyek dan meminta Indonesia mengembalikan pinjaman karena diduga terjadi korupsi di sejumlah proyek itu. Dalam suratnya kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tertanggal 27 Juni 2006, Bank Dunia meminta Indonesia mengembalikan dana pinjaman sebesar 4,7 juta dolar AS (Rp42,3 miliar).

Proyek yang dimaksud adalah Proyek Transportasi Wilayah Indonesia Timur (EIRTP) senilai 3,6 juta dolar AS dan hibah persiapan Proyek Infrastruktur Jalan Strategis (SRIP) senilai 1,1 juta dolar AS dari pemerintah Jepang. Terjadi korupsi pada proyek ini, yaitu kontrak dalam EIRTP dan satu kontrak dalam SRIP. Temuan yang dilansir Bank Dunia itu adalah adanya praktek penyuapan oleh perusahaan konsultan kepada pejabat Departemen Pekerjaan Umum dengan nila pemberian dana mencapai 356,7 ribu dolar AS (sekitar Rp3,2 miliar). “Kami telah menemukan bukti yang mendukung tuduhan atas penyuapan dan sejumlah pembayaran ilegal dari tiga kontrak proyek pemerintah di bawah kontraktor utama WSP International melalui Departemen Pekerjaan Umum,” demikian bunyi surat Bank Dunia kepada pemerintah. Bank Dunia pantas geram, dua dari ketiga kontrak itu didanai oleh kesepakatan pinjaman EIRTP. Sedangkan lainnya, didanai oleh kesepakatan hibah Policy & Human Resources Development (PHRD) dan fasilitas PPA.

Sikap Bank Dunia tegas memang membuat banyak pihak terkesima. Bagaimana tidak, ketiga proyek yang sudah dilaksanakan WSP, dengan total nilai kontrak puluhan miliar rupiah itu, dinyatakan tidak layak untuk menerima dana hibah maupun pinjaman.

Tak urung, pemerintah pun dibuat kalang kabut. Menkeu Sri Mulyani meminta segera dilakukan investigasi terhadap sejumlah proyek itu dengan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan Departemen Pekerjaan Umum untuk memproses hal itu, baik secara administratif maupun hukum. Untuk menyelidiki kebenaran temuan Bank Dunia itu.

Wapres M Jusuf Kalla, terang-terangan menolak jika pemerintah harus bertanggungjawab seraya menegaskan bahwa yang seharusnya bertanggung jawab atas dana bantuan Bank Dunia adalah perusahaan kontraktor dari Inggris. Sebab, perusahaan kontraktor Inggeris itu, yang memberikan kick back atau uang terimakasih kepada oknum aparat. Alasannya, proses tender yang dilakukan pemerintah, sudah benar-benar transpran dan sesuai dengan ketentuan. Dilakukan secara terbuka dan oleh karena itu, maka pemerintah tidak salah.

Sementara KPK meminta Bank Dunia menunggu hasil penyelidikan KPK. Alasannya, jangan sampai hanya ulah segelintir orang, keuangan negara dan rakyat yang harus menanggung akibatnya. Untuk itu, KPK membentuk tim penyelidik pada 11 Juli 2006, baru setelah itu Bank Dunia dipersilahkan untuk menjatuhkan sanksi.

****

ALMARHUM Soemitro Djojohadikusomo pernah mensinyalir bahwa kebocoran proyek-proyek yang didanai Bank Dunia di negeri ini, akibat korupsi, red tape bureaucracy, mencapai lebih 30 persen dan beberapa bantuan yang diberikan kerap salah arah.

Kalangan NGO di dalam negeri misalnya, sudah lama berteriak lantang soal terjadinya kebocoran anggaran yang didanai oleh Bank Dunia ini. Sampai-sampai, solusi yang diusulkan adalah penghapusan utang karena dana itu selama ini ditengarai dikorupsi. Dan selama ini, Bank Dunia terkesan acuh tak acuh bahkan tidak hirau sama sekali akan masalah ini. Bantuan terus saja dialirkan ke negeri ini sampai jumlahnya menggunung dan tentu rakyatlah yang harus menanggung beban tanggungannya.

Kembali ke soal indikasi korupsi tiga proyek di atas dengan sikap tegas dan keras Bank Dunia. Inilah pertama kali Bank Dunia memberikan sikap tegas dalam kasus kebocoran anggaran yang dibiayai di negeri ini.

Tidak main-main, ada dua ancaman yang dikemukakan dari masalah ini, pertama, Bank Dunia meminta pemerintah mengembalikan pinjaman EIRTP yang sudah dicairkan senilai 2.039.915 dolar AS, pinjaman PPA senilai 1.544.823 dolar AS, dan hibah PHRD senilai 1.124.594 dolar AS. Kedua, mengancam akan membatalkan sejumlah pinjaman yang belum dicairkan senilai 1.097.998 dolar AS dari pinjaman EIRTP dan 501.332 dolar AS dari fasilitas PPA.

Berkaca pada kasus ini, memang menjadi signifikan usulan ketua KPK agar pemerintah segera memperbaiki sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah agar lebih transparan, dengan demikian kasus-kasus korupsi ini tidak akan terulang lagi di masa yang akan datang.

Network