Memahami Sikap Romo Magnis

“Penghargaan Achmad Bakrie 2007 yang disampaikan Freedom Institute tidak terkait dengan masalah lumpur panas di Sidoarjo.”

Demikian klarifikasi yang dikemukakan Freedom Institute menanggapai penolakan Romo Franz Magnis Suseno atas pemberian Perhargaan dalam bidang Pemikiran Sosial tahun 2007. Penolakan Romo Magnis itu, terkait dengan sikap dan tanggung jawab keluarga Bakrie terhadap korban Lumpur Panas Lapindo. Keluarga Bakrie, pemilik mayoritas saham di Lapindo dan sponsor Freedom Institute, dinilai tidak serius dalam menangani korban Lumpur Lapindo. Implikasinya, terjadi masalah kemanusiaan di pada korban.


Segera saja, penolakan Ramo Magnis itu mendapat dukungan dari berbagai kalangan. Sikap itu, disebut sebagai cerminan sikap moral paling obyektif. Sudah tentu, sikap Romo Magnis bisa dimaknai sebagai protes terhadap keluarga Bakrie dalam menyelesaikan Lumpur Panas Lapindo.


******
Dibalik penolakan Romo Magnis terhadap Perhargaan Bakrie itu, kembali membawa kita kepada diskursus lama soal posisi dan peran seorang intelegensia. Seperti diketahui, paling tidak ada dua pandangan yang berkembang dalam memandang peran dan posisi kaum intelektual.

Pertama, kubu yang memandang bahwa posisi dan peran kaum intelektual adalah tidak terkait dengan situasi social politik dan budaya. Jadi tugasnya adalah berpikir tanpa menghiraukan dengan situasi dan ruang politik. Ia berada pada suatu ruang dan waktu yang tidak terkait dengan situasi social politik yang melatar belakangi. Jadi ia tidak bersinggungan dengan ranah politik. Kerja dan posisi kaum intelektual adalah tidak terikat dengan latar social masyarakat. Ia berada di dunia sendiri, dunia ide, dunia Platonik. Dunia gagasan, melalui komtemplasi, penelitian, eksplorasi untuk kepentingan keilmuan yang ujungnya untuk kehidupan manusia pada masa yang akan datang.

Oleh karena bergulat dengan dunia ide, maka ia sibuk dengan gagasannya dan tidak memikirkan realitas social. Ia kelas tersendiri, kelas yang menempati posisi terhormat karena keahlian dan keseriusannya menggulati dunia ide. Sosok yang sering digambarkan adalah seorang resi, yang sibuk dan serius menggulati dunianya tanpa hirau dengan realitas sosial yang terjadi di sekelilingnya.

Kedua, pandangan yang menempatkan bahwa intelektual tidak bisa lepas dari konteks ruang dan waktu. Tugas utama kaum intelektual adalah melakukan proses concientasiasi untuk proses humanisasi. Oleh karena itu, artikulasinya tidak bisa dipisahkan untuk menyikapi segala tatanan social politik, ekonomi,budaya yang tidak memanusiakan manusia.

Bagi intelektual dalam posisi ini, dunia ide, dunia gagasan yang digulati diproyeksikan untuk melakukan proses transpormasi sosial masyarakatnya. Untuk itu, ia menempatkan diri sebagai produsen gagasan, tetapi sekaligus sebagai pelaku dalam melakukan proses transpormasi masyarakat. Oleh karena itu, ia sangat sensitive dan selalu menggunakan analisis sosial untuk melihat pola relasi sosial ekonomi dan politik. Dengan demikian, dunia keilmuan yang digulati digunakan untuk kepentingan melakukan transpormasi masyarakatnya kearah pola relasi yang lebih emansipatoris.


*****
Tidak bisa dipungkiri, sejak kasus Lumpur Panas Lapindo, keluarga Bakrie menjadi sorotan. Serangkaian tuduhan dikemukakan dari indikasi terjadinya pelanggaran terhadap UU Lingkungan, penangan korban yang jauh dari standar sphere, kecenderungan keluarga Bakri yang menyerahkan masalah Lumpur Lapindo kepada Negara, ketidak tegasan Negara dalam menangani masalah Lapindo, dan banyak lagi masalah-masalah yang terkait. Belum lagi langkah cuci tangan dengan akan menjual PT Lapindo kepada pihak lain.

Nuansa politis sangat kental dalam kasus Lumpur Panas Lapindo. Pertama, di tengah ketidak pastian nasib masyarakat, pada tataran elit, di parlemen, ada gelagat dari kekuatan politik doniman dan beberapa partai lainnya yang mengusulkan agar Lapindo jadi bencana. Mudah ditebak, gelagat ini berjalan, maka pihak Lapindo bisa cuci tangan dan Negara yang mengambil tanggung jawab. Kedua, terjadi pergeseran yang sangat cepat dalam pembicaraan masalah Lumpur Panas Lapindo. Proses hukum tidak lagi terdengar, sebaliknya yang mencuat adalah masalah bagaimana penanganan korban. Ketiga, munculnya upaya sistematis di lapangan yang mendorong peralihan tanggung jawab. Dari persoalan masyarakat dengan Lapindo, menjadi persoalan masyarakat dengan Negara. Serangkaian aksi massa korban Lapindo ke Istana Negara, beberapa waktu yang lalu, merupakan tengara bahwa di lapangan terjadi pergeseran, orang tidak lagi meminta tanggung jawab Lapindo tetapi kepada pemerintah.

Penolakan penolakan Romo Magnis itu suatu refleksi sikap moral intelektual. Sikap simbolik dan cermin nyata pemihakan Romo Magnis terhadap korban Lapindo. Masyarakat yang the voice of voiceless. Menggunakan momentum itu untuk menegaskan keperpihakanya. Sikap dan moralitasnya yang paling obyektif sebagai seorang intelektual yang terlibat dan memihak kepada nilai-nilai kemanusiaan. Memihak kelas masyarakat yang tidak berdaya sejak lumpur panas Lapindo menyembur dan hingga kini dalam ketidak pastian dan ketidakberdayaan.

Ellyasa KH Darwis
Mingguan Opindo, edisi 64, 21- 27 Agustus 2007


1 komentar:

Anonymous said...

Ia telah menunjukkan pemihakannya terhadap masalah kemanusiaan secara kongkrit. Sikap yang harus ditiru oleh kaum intelektual maupun agamawan, atau siapa saja yang memiliki perhatian terhadap human dignity. Kita harus belajar pada Romo, belajar untuk bersikap tegas...

Network