Delegimitasi Politik PLTN

Empat dari tujuh Fraksi di DPRD I Jateng secara bersama-sama menolak pemenuhan energi listrik dengan tenaga nuklir. Penolakan itu didasari atas kekhawatiran masyarakat akan bahaya yang ditimbulkan dari kegagalan reactor nuklir.

Akankah Pemerintah bersikukuh meneruskan PLTN Muria? Pertanyaan ini menjadi penting untuk dikemukakan setelah mayoritas Fraksi di DPRD I Jawa Tengah secara tegas mengemukakan sikapnya menolak pembangunan PLTN Muria. Penolakan empat fraksi di DPRD Jawa Tengah itu mengindikasikan bahwa secara politik, atau mayoritas masyarakat politik tidak setuju dengan proyek PLTN Muria. Penolakan empat fraksi itu merupakan artikulasi aspirasi warga yang dihimpun selama kegiatan reses.


Seperti diketahui bersama, selama ini pemerintah bersikukuh akan meneruskan pembangunan PLTN Muria dan tampak tidak hirau dengan suara-suara yang keberatan dengan pembangunan PLTN. Suara banyak tokoh, asosiasi dan berbagai sikap organisasi sosial keagamaan sudah lama bersuara lantang menolak dengan berbagai cara. Tak urung, mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid secara tegas mendukung penolakan pembangunan PLTN Muria. Sejauh yang berkembang selama ini, penolakan itu dilandasi oleh argumen yang nyaris sama, bahwa PLTN bukanlah pilihan rasional untuk wilayah Indonesia yang terdiri atas deretan gunung api, lempeng tektonik samudera, patahan, sesar, dan fenomena geologis lainnya.

Akankah pemerintah menafikan sikap politik empat fraksi yang nota bene mayoritas di DPRD I Jawa Tengah, akankah pemerintah terus menafikan aspirasi masyarakat yang menolak? Akankah pihak pemerintah melalui BATAN tetap bersikukuh meneruskan proyek PLTN Muria ini? Adakah ini pertanda bahwa model top down masih dipegang meski secara politik telah ditolak oleh masyarakat?

******
PLTN Muria, merupakan proyek atas investasi Mitsubitshi Heavy Industries (MHI). Pada tahun 1989, melalui anak perusahaannya NewJec telah melakukan studi kelayakan sampai pertengahan 1996. Proyek studi itu kemudian diteruskan oleh Korean Hydro Nuclear Power Co. LTD (KNHP). KNHP yang merupakan anak perusahaan KEPCO Korea, mendapatkan kontrak untuk melakukan feasibility study (studi kelayakan) dan pembangunan PLTN Muria di Jepara.

Awalnya, pembangunan PLTN Muria akan dimulai 2011 dan dengan kapasitas 6000 MG. Tekanan masyarakat yang bertubi-tubi, baik dari local, regional, nasional maupun internasional membuat proyek ini dipetieskan. Akan tetapi tampaknya pemerintah tidak hirau dan menafikan aspirasi yang berkembang di masyarakat. Secara pelan-pelan, niat untuk membangun PLTN Muria kembali dilanjutkan. Argumentasi yang dikemukakan adalah untuk mengatasi krisis energi listrik untuk masyarakat Jawa dan Bali.
Tampaknya pemerintah, berupaya mempengaruhi masyarakat agar PLTN Muria berjalan. Selama ini untuk menggoalkan keinginannya pemerintah hanya meminta masyarakat setuju. Sementara banyak yang tidak clear dari masalah ini.

Dengan kapasitas 6.000 Mega Watt, PLTN Muria akan disuplay dengan enam reactor. Satu reaktor diperkirakan akan memakan biaya 1,5 dan 2 milliar dolar AS. Jelas angka itu merupakan hutang yang harus dibayar kelak kemudian hari. Kemudian, yang juga tidak dijelaskan ke masyarakat adalah biaya dekomisioning yang konon memakan biaya sepertiga dari pembangunan PLTN itu sendiri. Masalah ini penting untuk dijelaskan ke public, sebab usia ekomonis PLTN itu berkisar 25-30 tahun. Jika sudah tidak dipakai lagi, maka harus dilakukan proses dekomisioning, mempreteli satu bersatu bangunan dan mesin-mesinnya, untuk kemudian dikuburkan agar tidak berbahaya karena bekas radiasinya.
*********

Jelas, PLTN merupakan proyek yang selain beresiko tinggi juga menyerap dana yang tidak sedikit. Bukan hanya itu, dana itu juga merupakan hutang luar negeri yang harus dilunasi.

Dari kecenderungan yang terjadi, keinginan pemerintah yang ingin memaksakan proyek PLTN Muria ini menunjukkan bahwa pemerintah masih bersikap top down, menafikan sama sekali aspirasi masyarakat yang keberatan, dan sangat teknokratis dalam mengawal project PLTN Muria ini. Satu kebijakan politik pembangunan yang hanya merujuk kepada kepentingan pragmatis dengan legitimasi ilmiah, tanpa pernah hirau terhadap aspirasi dan hati nurani masyarakat.

Oleh karena itu, menjadi niscaya dan sudah menjadi keharusan pemerintah untuk tidak memaksakan kehendaknya untuk membangun PLTN Muria. Secara politik, daya tolak politik terhadap proyek ini sangat besar. Oleh karena itu, jika diteruskan, maka pemerintah telah memaksakan kehendaknya sendiri sementara secara moral dan politik telah hilang.
Nuklir, tentu saja bukan satu-satunya alternative untuk mengatasi masalah pasokan listrik. Mengapa tidak dipikirkan alternative lain selain PLTN untuk mengatasi kekurangan pasokan listrik? Satu alternative yang lebih ramah dan relative tidak mendapatkan konfrontasi dari rakyatnya sendiri.

Kini kembali kepada pemerintah, kembali kepada Menristek dan Kepala BATAN, apakah akan tetap ngotot membela diri untuk menggoalkan proyek PLTN Muria sementara komunitas politik dengan tegas sudah menolaknya.

Ellyasa KH Darwis
Mingguan Opindo, edisi 65 27 Agustus-3 September 2007

1 komentar:

Anonymous said...

Saya setuju dengan pendapat anda. Secara politik memang pembangunan PLTN Muria harus batal. Masalahnya kemudian, apakah sikap politik empat fraksi itu memiliki makna atau arti bagi pemerintah pusat. Kedua, apakah empat fraksi itu pada tingkat DPR pusat juga akan bersikap sama?

Network