Showing posts with label DPR. Show all posts
Showing posts with label DPR. Show all posts

Hilangnya Etika Koalisi

TAK ada etika koalisi dalam kehidupan politik negeri ini. Suara pengusung Koalisi Kabinet Indonesia Bersatu. Kebijakan SBY-JK disetujui yang disetujui di rapat kabinet akan tetapi tidak didukung oleh fraksi-fraksi di parlemen yang nota benenya menjadi bagian dari koalisi Kabinet Indonesia Bersatu. Suara partai di kabinet dan di parlemen berbeda.

Lolosnya hak anggket BBM di DPR RI menunjukkan, partai-partai politik yang diakomodasi dan mendapat jatah kursi pada Kabinet Indonesia Bersatu, tidak dengan sendirinya loyak di parlemen. Konsesi politik dalam cabinet tidak dengan sendirinya mendukung dan menjadi bentang politik di legislative. Kasus ini, tentu bukan hal baru, sebelumnya banyak kebijakan-kebijakan SBY-JK yang dikritisi anggota dewan dari partai politik yang masuk dalam koalisi Kabinet Indonesia Bersatu. Meski diberi posisi penting di kabinet, tidak dengan sendirinya menjadi benteng pengawal kebijakan SBY-JK.

..."Wacana dan praktek politik antara yang dipikirkan elit dan masyarakat tidak nyambung adanya. Elit hanya mementingkan kepentingan sesaat dan seringkali mengatasnamakan rakyat. ...."


Mengapa anggota koalisi tidak dengan sendirinya mendukung setiap kebijakan SBY-JK, mengapa partai-partai politik pengusung koalisi cenderung memainkan kesempatan saat SBY-JK dalam prosisi crucial. Apa akar masalah yang melatar belakanginya dan bagaimana implikasinya dalam jangka panjang jika kecenderungan seperti ini terus berlangsung? Banyak pertanyaan yang bisa terus dilanjutkan tentunya. Akan tetapi dari sekian banyak pertanyaan bisa disederhanan dalam sebuah jawaban.

Jika kita runut kebelakang, apa yang terjadi sekarang sudah banyak diramalkan banyak kalangan. Pertama-tama, pasangan SBY-JK diusung oleh partai politik yang memang minoritas di DPR. PD, PBB dan PKPPI. Tiga partai ini, menjadi menjadi pengusung saat pencalonan SBY-JK dalam bursa Capres dan Cawapres pada Pemihan Presiden 2005 yang lalu. Partai-partai lain, mengusung dan memiliki Capres dan Cawapres sendiri. Baru pada putaran kedua, partai-partai itu secara diam-diam mengusung SBY-JK.

Upaya-upaya politik untuk mengamkan posisi pun kemudian dilakukan. Caranya dengan bernegosiasi dengan partai politik yang dengan dan konsesi kursi di kabinet. Posisinya semakin aman dengan terpilihnya JK sebagai Ketua Umum Partai Golkar. PG yang sebelumnya beseberangan berhasil ditarik ke dalam Orbit koalisi. Secara politik, memang menjadi mayoritas di DPR. Tinggalah PDIP yang sendirian menjadi oposisi terhadap SBY-JK.


****

HADIRNYA PG dalam koalisi, mengancam kepentingan politik partai-partai yang masuk ke dalam koalisi. Salah satu korbannya adalah PBB, yang kehilangan dua posisinya di Kejaksaan Agung dan Menteri Sekretaris Negara. Masalahnya tidak berhenti di sini. Dalam tubuh koalisi, diam-diam terjadi persaingan yang cukup keras untuk mengamankan posisi dan akses. Secara terselubung, masing-masing anggota koalisi, khususnya yang bukan dari partai pengusung selalu memainkan momentum. Jika kepentingan dan posisi politiknya terganggu, maka setiap ada momentum politik diguanakan untuk ’unjuk gigi’ kepada SBY-JK. Momentum yang paling tampak adalah setiap ada pergantian kabinet. Partai-partai dengan lantang mengancam akan menarik dukungannya jika wakilnya di kabinet digeser atau dikurangi porsinya.


Jadi dalam kabinet sendiri, terjadi interplay antar masing-masing anggota koalisi. Masing-masing saling memainkan kartu trup untuk mengamankan posisi dan kepentingan politiknya. Sejauh yang terjadi selama ini, memang SBY-JK tidak secara tegas dan tampak membiarkannya. Bagaimanapun posisi di kabinet masih menjadi magnet bagi partai politik. Mendapat posisi di kabinet, merupakan akses untuk kepentingan keberhasilan dan kelancaran partai politik pada masa yang akan datang. Politik di negeri ini, masih diartikan sebagai sutau yang banal, siapa mendapat apa.

Argumen yang selalu dikemukakan adalah, meskipun diakomodasi dalam kabinet, tidak berarti akan mengamani dan menjadi stempel setiap kebijakan SBY-JK. Jadi memang mendua sikapnya. Pada satu sisi menjadi bagian dari pemerintah, akan tetapi apabila menghadapi kebijakan-kebijakan SBY-JK yang crucial, tidak populer di hadapan publik. Dengan tegas partai-partai itu memposisikan diri bukan sebagai bagian dari SBY-JK. Mudah ditebak arahnya memang, partai-partai politik dengan lantang mengatakan posisinya tidak menjadi bagian dari koalisi. Dengan cara demikian, maka partai yang bersangkutan, mau cuci tangan dan tidak mau dipersepsi sebagai partai yang mendukung kebijakan pemerintah yang tidak ramah di mata pemilihnya. Harapannya jelas, agar konstituennya tidak lari atau bahkan bisa mendapatkan tambahan dukungan dalam Pemilu yang akan datang.


Partai politik yang masuk dalam koalisi, agaknya tahu persis. SBY-JK tidak akan mengambil kebijakan yang keras. SBY-JK tampaknya menjaga harmoni politik di kabinetnya. Sebab jika mengambil kebijakan yang keras, misalnya mencopot jatah kursi di kabinet dari partai yang masuk koalisi akan tetapi tidak mendukungnya di DPR, akan mempengaruhi citra politiknya. Pada sisi lain, jika hal itu dilakukan, salah-salah akan menjadi bola liar yang terus menggelinding. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi kita kekuatan oposisi di DPR mendapat tambahan suara. Pasti akan semakin menyusahkan SBY-JK setiap akan membuat kebijakan yang membutuhlah dukungan DPR. Situasi dan konsisi politik akan alot dan seru. Pada sisi lain, SBY-JK masing-masing memiliki kepentingan baik Pemilu Legislative 2009 maupun PILPRES 2010 yang akan datang. Tampaknya SBY-JK tidak akan mengambil resiko politik yang berpengaruh dan mengganggu kepentingannya ke depan. Oleh karena itu, (mungkin) tidak akan ada tindakan tegas terhadap anggota koalisi yang ikut mendukung lolosnya hak angket kenaikan BBM.

Jika demikian halnya, maka dalam waktu dekat partai-partai itu akan semakin memainkan manuver untuk kepentingan pragmatisnya menghadapi Pemilu 2008. Bagi partai pengusung, kepentingan politik yang akan datang tentu akan lebih diutamakan dibandingkan dengan kepentingan politik jangka pendek mengusung SBY-JK. Bagi partai pengusung, tampaknya ingin selalu bersih di mata konstituennya. Ketika ada kebijakan yang tidak populer di mata publik, dilokalisir sebagai kebijakan SBY-JK. Sebaliknya, jika kabinet SBY JK berhasil, maka akan ramai-ramai mengkaim kontribusinya kepada konstituennya.

******
JADI, apa yang terjadi sekarang ini memang konsekuensi logis dari bangunan koalisi politik yang tidak dilandasi oleh platform politik yang sama. Koalisi ini terbangun secara pragmatis, dan sebagian besar datang dan bergabung pada saat proses politik pemilihan presiden sudah selesai. Model koalisi seperti ini, memang sangat sesaat dan memberi peluang untuk anggota koalisi melakukan manuver-manuver politik untuk kepentingan pragmatis. Baik untuk mengukuhkan nilai tawar dengan SBY-JK maupun untuk kepentingan internal partai politik yang bersangkutan di mata publik.

Koalisi tanpa kesamaan platform, memang rentan pecah. Cara pandangnya semata-mata sejauh dipenuhi kepentingannya dan merugikan posisi partainya di mata publik, maka akan terus bergandengan. Sebaliknya, jika salah satu kepentingannya tidak terpenuhi, maka akan dengan mudah bermain mata. Wakilnya di kabinet menyetujui kebijakan di sidang kabinet, akan tetapi lain lagi suaranya di legislative.

Indikasi seperti ini memang membuat resah dan memberi kontribusi terhadap berkembangnya apatisme dan political distrust di masyarakat. Politik semakin tegas dan jelas, dimaknai sebagai keliahan dan kelincahan untuk mendapatkan kepentingan jangka pendek. Inilah salah satu masalah dalam kehidupan politik kita sekarang. Berpolitik hanya menjadi ajang akrobat untuk mengamankan kepentingan pragmatis, sementara masalah yang terkait dengan masalah moral dan kepastian politik menjadi tersingkirkan dan tidak menjadi pertimbangan. Atau barangkali patsun politik yang terkait dengan masalah moral tidak penting lagi sekarang ini. Politik hanya dimaknai sebagai suatu yang banal ”siapa mendapatkan posisi apa dalam situasi apa”. Kalaulah disebut-sebut soal kepentingan rakyat, maka hanya menjadi isu atau bumbu agar mendapatkan simpati dari masyarakat. Wacana dan praktek politik antara yang dipikirkan elit dan masyarakat tidak nyambung adanya. Elit hanya mementingkan kepentingan sesaat dan seringkali mengatasnamakan rakyat.

Politik Dua Kaki

KALANGAN DPR berubah sikap terhadap SBY-JK terhadap rencana menaikan harga BBM. Semula pada tingkat Panitia Anggaran, semua fraksi memberi ruang bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan menaikan harga BBM guna menyelamatkan APBN. Tidak selang berapa lama, terjadi perubahan sikap yang sangat drastis. Mayoritas fraksi di DPR keberatan dengan rencana pemerintah. Tak terkecuali, perubahan sikap itu terjadi pada partai politik yang nota bene-nya diakomodasi dan menjadi bagian dari koalisi SBY JK.

Perubahan sikap politik itu tampak jelas dalam sidang paripurna minggu yang lalu. Masing-masing anggota fraksi yang ada DPR dengan lincah dan vokal menyatakan sikapnya tidak setuju terhadap rencana menaikan harga BBM. Alasanya beragam, akan tetapi muarnya sangat jelas, yaitu tidak setuju terhadap rencana pemerintah. Hanya fraksi Partai Demokrat saja, yang sendirian berada dalam posisi membela pemerintah dengan alasan yang sangat klasik, yaitu menyelematkan APBN untuk kepentingan pembangunan yang lebih luas.

Perubahan sikap politik, memainkan momentum dan in the name of membela kepentingan rakyat, itu kira-kira langgam politik yang sedang dimainkan sekarang. Tujuannya jelas, guna menyambungkan aspirasi yang sedang kuat dan deras berkembang di luar parlemen. Demontrasi mahasiswa dan beberapa kalangan yang meluas, jelas mengindikasikan kebijakan menaikan BBM sebagai suatu yang tidak populer dan tidak sesuai dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat. Momenumtum menyamakan frekuensi yang dengan aspirasi yang berkembang di luar parlemen, tentu menjadi suatu yang penting bagi partai politik. Untuk mendapatkan simpati, upaya untuk sosialisasi dan pencitraan diri sebagai partai yang kritis dan membela kepentingan masyarakat. Semua untuk kepentingan Pemilu Legislative tahun 2009 yang akan datang. Tampaknya partai politik yang diakomodasi oleh SBY JK tengah memainkan bandul politik sesuai dengan angin segar politik yang berkembang.

****
DI TENGAH-TENGAH gejolak harga minyak dunia yang sampai menembus ke level USD 120 per barel, SBY-JK memang dalam posisi sulit yang untuk menyelematkan anggaran pendapatn dan belanja negara (APBBN). Pilihan yang sangat realistis dan mudah memang dengan kebijakan yang dilakukan dengan menaikkan harga BBM sekitar 30%.

Memang masih ada alternatif lain untuk tidak menaikan harga BBM di dalam negeri pada saat sulit seperti sekarang ini. Peningkatan lifting minyak bumi merupakan alternatif terbaik secara rasional ekonomi.Peningkatan lifting sebesar 10 ribu barel per hari di atas target sebesar 927 ribu barel per hari akan menambah pendapatan negara sebesar Rp5 triliun rupiah. Hanya saja alternatif itu secara teknis tidak mudah. Pertama, minimnya investasi dan pengeboran eksplorasi sumursumur minyak baru dewasa ini. Kedua, kejenuhan sumursumur minyak yang ada di Indonesia yang kebanyakan sudah tua yang produkti vitasnya rendah. Ketiga,tingkat efisiensi pengeboran yang cenderung menurun dari tahun ke tahun.

Selain menaikan harga BBM. Skenerio lain yang akan dijalankan pemerintah adalah skenerio penghematan BBM. Formulasi yang dipakai dengan menggunakan kartu pintar (smart card). Ada empat skenario penghematan yang disiapkan. Pertama,smart carddiberikan kepada semua kendaraan. Kedua, smart card diberikan untuk semua kendaraan, kecuali yang tahun pembuatannya 2005 ke atas. Ketiga, smart card diberikan sebatas pada kendaraan umum dan roda dua. Keempat,smart card diberikan khusus bagi kendaraan umum. Pada opsi ketiga dan keempat, semua kendaraan lain di luar kendaraan umum atau roda dua (pada opsi ketiga) tidak bisa membeli BBM bersubsidi.

Rencana itu tidak mulus. Di luar parlemen, demontrasi marak di mana-mana di hampir semua kota-kota yang memiliki kampus. Inilah pertanda bahwa kebijakan menaikan harga BBM sampai 30% itu sebagai kebijakan yang akan menuai protes dan boleh jadi akan terus berlanjut kelak. Pertanyannya, mengapa partai-partai yang diakomodasi di kabinet juga tidak kompak dan memainkan diri sebagai bandul? Etikanya memang, Parpol yang diakomodasi di parlemen menjadi pendukung pemerintah. Boleh saja berbeda sikap dengan pemerintah selama keputusan itu belum diambil atau masih dalam proses pembahasan. Akan tetapi, saat keputusan itu telah ditetapkan, mereka harus patuh dan mendukung keputusan yang diambil pemerintah.

Sikap parpol pendukung pemerintah pada kasus rencana kenaikan harga BBM ini bukan terjadi untuk pertama kalinya. Pada kenaikan harga BBM tahun 2005 dan sejumlah kasus interpelasi DPR kepada pemerintah telah ditunjukkan pengkhianatan itu. Kondisi ini terjadi, salah satunya, karena tidak ada kontrak politik yang pasti dan saling mengikat antara presiden dan partai pendukung pemerintah. Akibatnya, partai pendukung bersikap seenaknya demi kepentingan mereka sendiri dan presiden juga tidak dapat berbuat apa-apa.

***
SEPERTI biasanya, pada saat pemeintah hendak membuat kebijakan politik yang tidak populer, partai-partai politik yang mendapat jatah kursi di kabinet memang selalu memainkan katru bebas. Melihat arah angin. Jika kebijakan yang diambil pemerintah tidak populer dan merugikan banyak kalangan, maka dengan cepat dan segera berada dalam posisi berseberangan sama sekali.

Sikap seperti ini terjadi, menurut beberapa analisis, terjadi karena beberapa hal. Pertama, koalisi yang terbangun selama ini dilakukan tanpa kontrak politik yang jelas. Koalisi yang dibangun untuk mengusung SBY-JK, masing-masing partai tidak memiliki platform yang sama. Pada sisi lain juga, tidak dibuat suatu kontrak politik yang jelas untuk mengawal setiap kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
Kedua, sebagai pemimpin koalisi, SBY dinilai oleh banyak kalangan sebagai tidak tegas. Beberapa wakil partai yang duduk di kabinet, akan tetapi sudah tidak direkomendasi oleh partainya, tetapi tetap dipertahankan. Oleh karena itu menjadi wajar kemudian apabila partai politik yang bersangkutan, merasa tidak menjadi bagian dari koalisi SBY-JK. Oleh karena itu partai yang bersangkutan masih leluasa dan bebas bersikap politik lain.

Ketiga, SBY sebagai pemimpin koalisi juga tidak tegas. Tidak ada tindakan politik yang tegas terhadap partai-partai yang masuk ke dalam koalisi yang memainkan bandul politik. Inilah yang menyebabkan partai-partai yang masuk koalisi SBY, selalu memainkan di atas angin politik. Seolah-olah menjadi bagian koalisi SBY-JK ad hoc semata. Setiap akan membuat kebijakan politik yang crucial SBY-JK, selalu harus melamukan lobby dan negosiasi politik dengan masing-masing partai pengusung. Fenomena seperti ini tentu saja menjadi suatu yang ironi politik, energi politik SBY-JK akan terkuras untuk terus menerus melakukan negosiasi setiap akan membuat kebijakan yang krusial, khususnya yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Barangkali kecenderungan seperti itu mencerminkan anomali politik. Partai-partai ikut bergabung dalam koalisi mendukung SBY-JK akan tetapi pada satu sisi, tidak merasa memiliki dan menjadi bagian pemerintah yang berkuasa. Tidak seiya sekata, seiring sejalan dalam mengawal kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Seolah-olah koalisi yang diusung, tak ubahnya koalisi taktis semata. Mengambil jatah atau diakomodasi dalam komposisi kabinet, tetapi cuci tangan bahkan ikut ramai-ramai menghujat pemerintah pada saat membuat kebijakan publik yang tidak populis.

Fenomena ”politik dua kaki” ini memang suatu yang aneh. Etika koalisi politik tidak dijunjung dan disepakati bersama. Korbannya tentu saja adalah jalannya pemerintahan. Pemerintahan dibuat tidak stabil dan kebijakan tidak berjalan dengan lancar. Tensi politik meningkat dan tentu saja melelahkan bagi semua kalangan.

Pertanyaannya apakah kecenderungan ”politik dua kaki” ini merupakan fenomena sesaat pada kabinet SBY-JK semata? Boleh jadi demikian adanya. Menilik konteks politiknya, kecenderungan ”politik dua kaki” ini lebih dikarenakan faktor SBY-JK sendiri. Seperti diketahui bersama, SBY-JK dari segi kepemimpinan politik, sering ragu atau tidak tegas dalam mengambil kebijakan politik yang crusial. Sikap ini yang tampaknya sering dimanfaatkan oleh parpol yang diakomodasi untuk melihat reaksi di bawah. Kedua, tidak ada kejelasan koalisi. Koalisi lebih dibangun secara ad hoc, tanpa dilandasi oleh flatform atau ideologi politik yang sama. Koalisi seperti ini jelas tidak akan efektif untuk bersama-sama mengawal kebijakan politik yang dibuat oleh SBY-JK..

Pada akhirnya, ”Politik Dua Kaki” merupakan implikasi dari sebuah proses politik yang ad hoc. Oleh karena itu setiap hendak membuat kebijakan politik yang penting dan menentukan, lebih-lebih yang menyangkut nasib orang banyak, SBY JK harus melakukan negosiasi ulang dengan partai-partai pendukunng. Politik Dua Kaki tampaknya memang bukan anak haram dari koalisi dan sikap politik SBY sendiri.

Stop Setoran Ke DPR

Opini Indonesia, Thn II/edisi 059, 16-21 Juli 2007

Adalah Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nur Wahid yang meminta para menteri dan pemimpin lembaga yang menjadi mitra kerja Dewan Perwakilan Rakyat menghentikan pemberian uang dan aneka bentuk setoran kepada para wakil rakyat dalam proses pembuatan undang-undang. Setoran itu tidak perlu, sebab anggaran legislasi sudah disediakan


Tradisi ini memang sudah berlangsung sejak Orde Baru. Pangkal soalnya, adalah gengsi para menteri. Ada anggapan yang berkembang waktu itu, setiap menteri akan dianggap berprestasi jika kementerian yang dipimpunnya mampu menggoalkan UU. Ini pangkal dari adanya tradisi setoron kepada anggota DPR. Tentu bukan hanya itu, setoran itu juga dimaksudkan untuk melapangkan jalan agar kepentingan pihak terkait bisa diakomodasi oleh DPR. Wajar kemudian, kalau kita menyimak produk legislasi lebih banyak mengakomodasi kepentingan pemesan dibandingkan dengan kepentingan publik.

Tradisi setoran itu, kemudian memunculkan adanya ‘makelar-makelar’ yang mengkomunikasikan kepentingan pemesan dengan kepada para anggota DPR. Memang tidak ada alasan lagi anggota DPR menerima setoran. Pertama, anggaran penyusunan undang-undang pada tahun ini telah dinaikkan, dari Rp 668 juta pada tahun lalu menjadi Rp 1,1-2,4 miliar untuk tiap rancangan undang-undang. Kedua, untuk saat ini proses legislasi lebih banyak porsinya di DPR. Tidak ada lagi menteri yang mau mengambil point untuk menaikkan kementeriannya dengan menginisiasi RUU.

Masih hangat dalam ingatan kasus amplop anggota DPR pada Pembahasan RUU Pemerintahan Aceh. Masalah yang mencuat itu dengan berujung kepada pengembalian uang amplop DPR kepada kas negara. Masalah ini kemudian dianggap selesai oleh KPK, karena KPK menganggap kasus pemberian honorarium kepada anggota Pansus RUU PA itu merupakan gratifikasi.
------

Anggota DRP memang dilarang menerima imbalan atau hadiah sesuai dengan aturan perundangan yang berlaku. Baik saat melaksanakan fungsi legislasi, tetapi juga dalam pelaksanaan fungsi anggaran dan pengawasan. Saat menjalankan fungsi anggaran dan fungsi pengawasan inilah godaan terbesar muncul bagi anggota DPR.

Terdapat beberapa pola formulasi uang amplot itu. Pertama, untuk menaikkan Dana Alokas Umum (DAU)/Dana Alokasi Khusus (DAK) daerah. Pola ini dilakukan dimana pemerintah daerah bekerjasama dengan panitia anggaran. Harapannya adalah agar post anggaran dari pusat untuk daerah dinaikkan. Pola ini tampak pada issue yang sempat muncul dimana beberapa anggota DPR disinyalir menjadi calo anggaran. Nama-namanya sempat beredar di publik, tetapi kemudian tindak lanjutnya tidak terdengar.
Kedua, dana APBD untuk melapangkan kepentingan daerah. Pola ini tampak pada kasus yang pernah mencuat dimana seorang anggota DPR dalam rangka mendukung pembahasan sebuah undang-undang pemekaran. Pihak-pihak yang berkepentingan, pemerintah daerah, berkinginan agar pembuatan undang-undang di DPR dapat dikabulkan atau dipercepat.
Ketiga, gratifikasi. Amplop dari departemen terkait untuk melapangkan jalan dalam pembahasan UU. Contoh kasus ini tampak pada saat pembahasan RUU PA beberapa waktu yang lalu.
--------

Kita berharap dengan adanya tekad di atas, maka kasus-kasus uang ekstra yang diberikan kepada anggota DPR tidak akan terjadi lagi. Masalahnya peraturan saja. Aturan sudah jelas, bahwa anggota DPR dilarang menerima imbalan bagi anggota DPR RI diatur di dalam Kode Etik Anggota DPR yang menyatakan ”anggota dilarang menerima imbalan atau hadiah dari pihak lain, sesuai dengan peraturan perundang-undangan” (Pasal 11 Kode Etik DPR RI). Jika ada yang mengalir ke anggota DPR maka jelas bertentangan dengan Undang-undang Perubahan atas Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi (Pasal 12 B UU No. 20 tahun 2001).

Untuk itu, tampaknya kasus-kasus masa lalu yang sempat mencuat di permukaan sudah seharusnya ditindak lanjuti. Dalam banyak kasus, ada kecenderungan anggota DPR yang melakukan penyalahgunaan wewenang dan melanggar kode etik diselesaikan melalui kompromi-kompromi politik tingkat tinggi. Oleh karena itu, banyak kasus yang sudah mencuat dipermukaan kemudian berakhir tanpa kabar, tanpa tindak lanjut yang jelas.
Bagaimanapun langkah untuk menyetop setoran ke DPR harus dipandang sebagai langkah yang baik untuk menjamin tidak adanya gratifikasi kepada anggota DPR. Bagaimanapun gratifikasi itu juga adalah uang negara.

Ellyasa KH Darwis


Memperjuangkan "Kata Bencana"

Opindo, edisi 47 23-29 Maret 2007

Adalah Wakil Ketua DPR Zaenal Ma'arif yang mengatakan bahwa pemerintah tidak bisa mengelak kalau lumpur yang telah menenggelamkan ribuan rumah dan merusak infrastruktur bukan sebagai bencana nasional. Pemerintah jangan setengah-setengah seperti sekarang ini.

Statemen itu tentu bukan hal yang baru, elit politik Jakarta sudah lama secara merdu dan lantang menyuarakan masalah ini. Dengan demikian, maka masalah yang dihadapi oleh masyarakat tidak berlarut-larut seperti sekarang ini. Oleh karena itu, pemerintah harus segera menetapkan lumpur Lapindo sebagai bencana nasional maka persoalannya tidak akan berlarut-larut. Kalau bencana lumpur Lapindo sebagai bencana nasional, DPR bisa lebih longgar dalam hal anggaran penanganan melalui APBN sebagaimana dimaui oleh pemerintah.

Hanya saja, yang tidak bisa mengerti adalah stamennya kemudian yang mengatakan meskipun dengan ditetapkannya sebagai bencana nasional bukan berarti PT Lapindo Brantas terbebaskan dari kewajibannya. Lapindo tetap wajib dimintai pertangungan jawab baik secara perdata maupun pidana. Tidak ada kamus PT Lapindo bisa lepas tangan kalau masalah ini ditetapkan sebagai bencana nasional. Mereka tetap akan menyelesaikan permasalahan yang muncul akibat dari proses eksplorasi perusahaannya.
Pernyataan ini tentu aneh, bagaimana mungkin kalau masalah itu sudah dianggap bencana lantas Lapindo masih dimintai pertanggungjawaban. Bukanlah jika statusnya sudah dinyatakan sebagai bencana nasional, maka dengan sendirinya PT Lapindo Brantas akan lepas dari tanggungjawab dan semua diambil alih atau menjadi kewajiban Negara. Akan terbentang nasib korban lumpur Lapindo yang minggu kemarin berjuang menuntut ganti rugi kepada Lapindo, kemudian karena alas an bencana nasional, maka jelas tidak akan mendapatkan ganti rugi apa-apa. Dan juga tidak masuk akal, jika statusnya sudah dinyatakan sebagai bencana Nasional, maka PT Lapindo masih akan dimintai tanggungjawab secara pidana maupun perdata. Ini statemen yang sungguh-sungguh susah dimengerti dari seorang wakil ketua DPR RI.

Pernyataan itu memang seolah-olah memihak korban lumpur Lapindo, yang sekian lama hidup tidak menentu penuh ketidakpastian. Jikapun kemudian pemerintah menjadikan hal sebagai bencana, maka jelas, masyarakat akan tambah menderita karena kerugian harta benda yang selama ini perjuangkan tidak akan diganti oleh Negara.
*****

Bukan rahasia lagi jika PT Lapindo sudah lama menginginkan agar masalah Lumpur Lapindo itu didorong untuk menjadi bencana Nasional. Tentu kita masih ingat, banyak akal yang dilakukan oleh pemilik saham PT Lapindo Brantas untuk lari dari tanggungjawab. Awalnya, berawal dari rumor adanya spin off (dijual) PT Lapindo Brantas. Medco dan Santos yang mempunyai 32 persen penyertaan modal sudah hengkang dari Energi Mega Persada yang mempunyai pertambangan di blok Brantas. Kini, Lyte Limited yang seratus persen milik kelompok Bakrie menguasai saham tersebut.
Sudah lama juga beredar rumor bahwa persoalan lumpur Sidoarjo ini, memang tak dibuat agar Lapindo bisa menyelesaikan dengan cepat sehingga pemerintah pun merespon dengan mengeluarkan Keppres dan membuat Timnas Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo (PSLS).

Sementara Timnas Bekerja, secara politik terus terjadi gelilya untuk mendorong kejadian ini menjadi bencana nasional. Persoalan meluapnya kolam-kolam penampung lumpur, dan amblesnya tanggul-tanggul penahan lumpur terus saja terjadi. Rusaknya sarana dan prasarana tarnsportasi, dan beberapa media dengan gencar memberitakan tak tertanganinya persoalan lumpur Sidoarjo ini dengan benar. Tampaknya memang dirancang sedemikian rupa agar publik maklum agar masalah Lapindo memang harus dijadikan sebagai bencana nasional.
**

Upaya kea rah itu memang sudah berjalan di DPR. Tampaknya memang tidak berjalan mulus, ada dua faksi yang berseberangan. Pada satu sisi setuju kalo masalah Lapindo itu dijadikan bencana nasional, faksi yang lain menolak. Debatnya sama, Kalau pemerintah menetapkan lumpur Sidoarjo sebagai bencana nasional, di mana tanggung jawab Lapindo Brantas?. Kelompok yang setuju mengatakan bahwa meskipun ditetapkan sebagai bencana nasional, tidak berarti Lapindo lepas tanggung jawab begitu saja. Akhirnya, rapat hari Rabu (29/11/2006) itu berakhir dengan kata-kata ”bencana nasional” ditiadakan.

Meskipun demikian upaya mendorong ke arah itu tak henti. Banyak tokoh politik yang masih lantang menyuarakan agar Lapindo menjadi bencana nasional. Bagi Lapindo, sangat jelas, apabila ditetapkan sebagai ”bencana nasional”, maka anggung jawab akan diambil pemerintah.

Yang lebih mengejutkan lagi, sekarang pemerintah justu memberikan dana talangan. Ini tentu sangat tidak wajar, dan tidak masuk akal, bagaimana mungkin pemerintah menalangi swasta di tengah-tengah membengkaknya defisit anggaran berjalan.

Tampak di sini ada upaya main tarik ulur. Ada upaya-upaya agar masyarakat maklum bahwa masalah Lapindo memang harus dijadikan bencana nasional. Jika itu terjadi, maka korban lumpur persis seperti digambarkan pepatah lama. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Pada sisi yang lain, pihak Lapindo Brantas akan menarik napas lega. Di sini setiap ucapan akan sangat jelas dimana pemihakannya. Bukankah begitu Pak Zainal Maarif?

Ellyasa KH Darwis

Tanggung Gugat Publik BK DPR

Ellyasa KH Darwis, Opindo,Edisi 44, 2-8 April 2007


Adalah wakil Ketua Badan Kehormatan (BK) DPR-RI, T. Gayus Lumbuun, yang menjelaskan kepada publik bahwa dalam kurun waktu Januari 2005 hingga Agustus 2006 telah menerima 75 kasus aduan dari masyarakat. Laporan masyrakat itu menyangkut tugas dan tanggung jawab oknum anggota dewan yang dinilai tidak sesuai dengan harapan masyarakat banyak.

Dari sebanyak kasus aduan tersebut 24 kasus diantaranya tidak bisa diproses karena tindakan oknum anggota dewan yang diadukan itu tidak memenuhi syarat. Dikatakannya, dari sejumlah kasus tersebut sebagian telah diproses dan oknum anggota dewan yang bersangkutan dikenakan sanksi mulai dari teguran hingga pemberhentian sebagai anggota dewan.

Dari jumlah kasus pengaduan yang diproses itu, terdapat satu kasus setelah diproses BK, tersangkanya dikenakan sanksi pemberhentian sebagai anggota dewan. Menurutnya, banyak kasus pengaduan dari masyarakat yang masuk. Contohnya oknum anggota dewan membuat surat keterangan palsu yang menyatakan istrinya meninggal sehingga ia bisa kawin lagi, padahal istri tua tersebut belum meninggal. Contoh kasus lainnya, adalah campur tangan oknum anggota dewan mengenai pembangunan suatu proyek dan lainnya, semuanya itu kita proses sesuai dengan ketentuan, tugas dan wewenang BK. Disebutkan juga, diantara sekian kasus itu adalah laporan masyarakat tentang oknum anggota dewan meminta fee dari proyek yang sedang dibangun.

***
Oleh karena bekerja atas dasar pengaduan, maka memang sudah merupakan suatu keharusan apabila Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat (BK DPR) harus transparan kepada masyarakat dalam mengambil semua keputusan yang menyangkut kinerja DPR. Mengapa? Sebab BK harus mempertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai konstituens, Kasus yang terjadi selama ini, BK tidak cukup well inform kepada public. Contoh kasus, saat BK memberikan kepada 18 anggota DPR yang dianggap melanggar kode etik Dari 18 anggota dewan tersebut, hanya satu orang yang namanya diumumkan kepada publik beserta alasan pemberian sanksi. Padahal BK DPR adalah sebuah mahkamah yang bertugas mengontrol kinerja DPR sesuai dengan tata tertib dan kode etik. BK DPR harus mempertanggungjawabkan keputusannya kepada publik. Biar publik yang menilai apakah keputusan yang dibuat BK sudah tepat atau tidak.

Demikian juga dalam pemberian sanksi, selama ini BK DPR tidak memiliki acuan yang pasti tentang pemberian sanksi kepada anggota DPR. Baik atas pelanggaran tata tertib dan kode etik DPR atau karena kasus lainnya. Di dalam tata tertib hanya disebutkan ada tiga macam sanksi, yaitu berat, sedang, dan ringan. Namun hal-hal apa yang masuk masing-masing kategori tersebut tidak disebutkan.Demikian juga dalam hal memutuskan sansi, selama ini yang muncul ke public hanya berupa teguran tertulis, pemberhentian dari jabatan pimpinan DPR atau pimpinan alat kelengkapan DPR atau pemberhentian sebagai anggota DPR.

Dengan sanksi seperti itu, memang tidak menimbulkan efek jera bagi anggota DPR. Pada saat yang sama, juga tidak lantas membuat anggota DPR lebih bertanggungjawab untuk menjalankan fungsi dan perannya sebagai wakil rakyat.

Memalui BK DPR, memang untuk memastikan agar anggota DPR selain mampu menjalankan fungsi dan perannya, juga agar menjaga dan menegakkan martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas Dewan. Untuk itu, maka public harus tahu. Dan untuk menjaga akuntabilitas publik yang lebih baik, DPR perlu menata kembali mekanisme kerja keparlemenan di satu pihak, dan format penilaian serta struktur keanggotaan BK di lain pihak.

***
Kritik tajam terhadap BK DPR RI memang sudah dikemukakan. Kritiknya tertuju kepada BK DPR yang dipandang tidak berbuat-apa terhadap kinerja anggota dewan. Sejak dilantik 1 Oktober 2004 bukan cuma menimbulkan ketidakpuasan, tetapi juga kekecewaan masyarakat. Selama satu setengah bulan DPR menghabiskan waktu dengan berkonflik. Setelah konflik mereda, DPR justru bersantai-santai dan mangkir dari rapat komisi kendati masa libur belum tiba.

Salah satu kritik tajam yang pernah dikemukakan, antara lain oleh Mochtar Pabottingi yang mengatakan bahwa anggota DPR telah mengecewakan rakyat yang telah memilih mereka. Badan Kehormatan DPR sudah tidak berguna lagi jika. Laporan yang disampaikan masyarakat kepada Badan Kehormatan DPR terhadap anggota DPR mangkir bersidang dipastikan akan sia-sia.

Belajar dari kecenderungan selama ini, tampak beberapa kecenderungan. Pertama,BK cenderung menjadi lembaga yang dominant negosiasi politiknya. Tampak ada kecenderungan tebang pilih dengan mempertimbangkan kekuatan politik yang berada dibelakangnya. Kedua, BK DPR cenderung tidak tegas, banyak issue-issue percaloan anggaran oleh oknum anggota DPR yang kemudian tidak ada kabarnya lagi.

Ellyasa KH Darwis

Menunggu Sikap SBY

Opindo, edisi 35, 29 Januari-4 Pebruari 2007

Di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang terpuruk, Presiden SBY mengeluarkan PP No. 37 Tahun 2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD yang cukup kontroversial. Dengan PP itu, memungkinkan anggota dewan menerima tunjangan komunikasi dan operasional dengan menggunakan pagu maksimal. Satu hal yang tak lazim, PP itu berlaku surut surut (per Januari 2006), maka akhir tahun 2006 atau awal tahun 2007 ini mereka akan menerima rapelan tunjangan tambahan tersebut selama satu tahun.

Berbagai protes dilakukan, dari cara-cara yang santun sampai menyebut PP itu sebagai wahana legal untuk ‘merampok’ uang rakyat. Pada saat yang sama, kinerja anggoda DPRD juga banyak dipertanyakan. Hitung-hitungannya, tanpa tambahan tunjangan itupun, rata-rata anggota dewan sudah hidup serba berkecukupan. Bandingkan dengan angka kemiskinan masyarakat yang tetap melonjak tinggi.

Bisa dibayangkan, dengan adanya PP 37 2006 itu, dari bermacam-macam pos .Dari tunjangan operasional hingga tunjangan komunikasi efektif, satu orang anggota DPRD akan mendapat tambahan penghasilan hingga Rp 80 juta. Artinya, untuk seluruh anggota DPRD di seentero Nusantara maka dana yang dikeluarkan mencapai Rp 1,2 triliun. Tentu dana itu, sebagaimana disebutkan dalam PP N0. 37 itu, akan diambil dari anggaran pendapatan dan belanja daerah yang bersangkutan.

Beberapa LSM secara tegas mengkritisi PP 37 2006 itu sebagai bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pertama, PP tersebut melanggar Undang-Undang No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Undang-Undang (UU). Pasal 5 UU tersebut, antara lain menyatakan, sebuah PP atau UU harus mempunyai asas kejelasan tujuan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan. Demikian juga Pasal 6 UU menentukan, setiap peraturan perundang-undangan harus seimbang, sesuai dan selaras antara kepentingan individu dan masyarakat.

Kedua, PP tersebut menggelapkan pajak legal. Dalam PP tersebut diatur selain negara (APBD) harus membayar tunjangan komunikasi ke DPRD, juga membayar pajak penghasilan tambahan (tunjangan komunikasi) DPRD.

Ketiga, PP tersebut memiskinkan masyarakat karena bertentangan dengan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pasal 167 UU No 32 Tahun 2004 menyatakan, keberadaan pemerintah daerah bertujuan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Pasal 3 UU Keuangan Negara menyatakan, anggaran negara dikeluarkan dengan bertanggung jawab.

****
Selain itu, banyak juga hal yang membuat peraturan itu terasa tak patut. Pertama, pos pendapatan terasa mengada-ada. Pos tunjangan komunikasi efektif Rp 9 juta per orang, misalnya, diberikan agar anggota Dewan semakin lancar berkomunikasi. Tidak jelas komunikasi dengan siapa yang dimaksudkan dan pada saat yang sama juga, tidak ada mekanisme yang diatur untuk memastikan agar uang itu benar-benar dipakai sesuai dengan peruntukannya.

Kedua, PP itu berlaku surut. Anggota DPRD akan ketiban dana karena mendapat rapelan pendapatan. Diperkirakan, banyak daerah yang akan terengah-engah memenuhi amanat peraturan ini. Bisa dipastikan banyak daerah yang akan terganggu agenda kegiatan yang sudah dianggarkan di APBD. Dalam itung-itungan, memang beberapa daerah yang cukup mandiri seperti DKI Jakarta Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Jawa Tengah, kabupaten/kota Kutai Kertanegara, Bengkalis, Siak, Surabaya, dan Kota Rokan Hilir. Mungkin tidak akan ada masalah.

Daerah selain yang disebutkan di atas, sudah pasti akan terganggu agenda kegiatannya. Daerah-daerah yang PADnya sedikit, tentu akan menjadi persoalan. Sebut saja misalnya Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatera Utara, mereka harus membayar tunjangan Rp 3 miliar padahal cuma memiliki PAD Rp 1 miliar. Hal yang sama juga akan dialami oleh daerah lain yang nyata-nyata kemampuan keuangannya rendah, seperti Sulawesi Barat, Maluku Utara, Bengkulu, Sulawesi Tenggara, Bangka Belitung, juga kabupaten/kota Padang Panjang, Fakfak Barat, Blitar, Kabupaten Lembata, dan Tumohon.

*****
PARAHNYA, dengan anggota DPRD sendiri tampaknya gelap mata dalam memandang gemerincing tunjangan. Tak peduli dengan aspirasi masyrakat yang menolak PP itu, mereka justru bersikukuh agar pemerintah konsisten untuk memberlakukan regulasi PP 39/2006 yang mengatur pemberian tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional bagi anggota dan pimpinan DPRD itu.

DPRD yang tergabung Asosiasi Pimpinan DPRD Provinsi Seluruh Indonesia (APDSI), Asosiasi Dewan Kabupaten Seluruh Indonesia (Adkasi), dan Asosiasi Kota DPRD Seluruh Indonesia (Adeksi), dalam pertemuannya dengan Mendagri M Ma'ruf, di Jakarta, Jumat (19/1), kembali mendesak agar PP No 37 Tahun 2006 itu diterapkan.

Alasannya, klise diperlukan fasilitas dan tunjangan lainnya yang disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah, jika efektivitas kerja dewan hendak diperbaiki. Argumen yang tak layak didengarpun keluar, menjadi anggota DPRD itu memerlukan ongkos politik yang besar, karena diperlukan biaya besar untuk meraih dukungan masyarakat dalam pemilihan.

Kini semua berpulang kepada SBY. Kini pemihakan dan kebijakan politik SBY ditunggu. Dengan kondisi objektif kemampuan keuangan daerah yang sebagian besar lemah dan secara hukum PP No. 37 2006 itu bertentangan dengan ketentuan UU yang lain, maka sebaikanya jangan hiraukan suara anggota DPRD yang kompak menuntut realisasi tunjangan dan sebaliknya cabut saja PP No. 37 Tahun 2006 itu. Pak SBY, rakyat masih banyak yang menderita dan angka kemiskinan belom berhasil dikurangi secara signifikan. Jadi cabutlah PP itu demi perasaan keadilan masyarakat।
Ellyasa KH Darwis

Memperbesar Kewenangan Badan Kehormatan


Oleh Ellyasa KH Darwis, Opinindo edisi 31, 11-17 Desember 2006

BELAKANGAN ini berbagai pelanggaran kode etik oleh anggota DPR semakin banyak terungkap. Mulai dari percaloan, pemerasan, penyalahgunaan kewenangan, sampai permesuman. Untuk menyikapi ini, kewenangan Badan Kehormatan DPR perlu diperbesar. Badan Kehormatan (BK) DPR RI perlu mengubah mekaisme yang selama ini dilakukan dalam menanggapi dugaan penyimpangan etika anggota DPR dengan tidak lagi bersifat pasif, tetapi bersifat proaktif. Terhadap-kasus sepertiu itu, BK DPR perlu bertindak cepat dalam merespons tindakan angota DPR yang diduga menyimpang dari kode etik. Untuk bisa bertindak cepat, BK ketentuan internalnya yang harus terlebih dahulu dirubah. Selama ini, BK baru bertindak setelah menerima pengaduan dari masyarakat dan pimpinan DPR. Selain pasif, dengan posisi dan peran seperti itu membuat BK tidak responsive. Sementara banyak kasus-kasus yang terjadi di sekitar DPR yang publik mengetahui dengan mata telanjang.

Itu vocal point yang terungkap dalam diskusi di DPR, minggu lalu. Kesimpulan penting dari diskusi itu adalah Kewenangan BK ini dirasa perlu untuk diperbesar karena perundang-undangan dan Tata Tertib DPR selama ini sangat membatasi. Salah satu kelemahan BP DPR adalah tidak bisa bertindak proaktif, tetapi hanya menunggu laporan dari masyarakat atau Pimpinan DPR. Sementara BK sendiri juga tidak bisa memaksa pihak luar mengeksekusi keputusan BK seperti dalam kasus Aziddin di DPR yang masih tetap di DPR meskipun BK memberhentikannya.

Salah satu usulan lainnya adalag agar masyarakat harus diberi peluang me-recall anggota DPR di daerah pemilihannya melalui BK. Tujuannya untuk untuk memperbesar kontrol rakyat. Bagaimanapun anggota DPR itu, dengan wewenang dan kekuasaan yang dimiliki, jika tidak dibarengi dengan saksi dan kontrol dari pemilihnya maka peluang terjadi penyalah gunaan sangat terbuka sementara BK wewenangnya terbatas. Dari catatan yang ada, sejak Januari 2005 sampai Juli 2006 tercatat ada 75 aduan dan BK sudah memberikan 52 sanksi.

***

DENGAN peran yang pasive seperti dikemukakan di atas, harus diakui, BK DPR terlihat bekerja keras dalam memproses laporan-laporan hingga menjatuhkan sanksi. Pada saat yang sama, juga berkembang kecurigaan public tentang adanya kecenderungan yang mengindikasikan adanya “tebang pilih” di bawah payung klasifikasi jenis; ringan, sedang atau berat.

Soal tebang pilih, terkait dengan ketidakjelasan kasus pelanggaran yang sampai sekarang tidak jelas hasilnya. Sebut saja misalnya, kasus pelanggaran kode etik terkait soal ‘plesiran’ ke luar negeri, kasus percaloan anggaran yang melibatkan beberapa anggota DPR dari beberapa fraksi, yang beritanya sempat mencuat ke publik dan menjadi perhatian banyak kalangan. Seperti diketahui bersama, sampai kini, kasus itu seolah-olah disimpan dalam lemari es dan kasus-kasus itu hanya menjadi kliping berita belaka.

Banyak soal kemudian yang melingkar-lingkar di sekitar kecenderungan tebang pilih ini dan mengapa banyak kasus yang jelas-jelas diketahui publik, dan kemudian membeku di lemari es BP DPR. Banyak kalangan kemudian mencurigasi terjadinya proses negosiasi politik di belakang layar. Tak heran kemudian kalau kemandirian BK DPR kemudian dipertanyakan. Secara bersamaan juga, tampak kecenderungan bahwa upaya-upaya yang dilakukan BP DPR hanya sebatas simbolik semata, seolah-seolah, yang penting sudah ada “korban” tanpa berani menyisir kasus-kasu lainnya yang hampir sama.

Kesan yang terhindar lagi di mata publik adalah, BP DPR tak ubahnya “cagar politik” semata yang secara simbolik menggambarkan adanya institusi pengawal moral politik anggota DPR, tetapi realitasnya tak bisa berbuat banyak dan hanya mentereng di tingkat nama belaka. Hal ini tampak saat BK DPR seolah-olah diam, saat issue penerimaan amplot terjadi. Issue itu amplop DPR sudah menjadi isu public, sementara BK DPR hanya menunggu laporan belaka dan tidak proaktif meminta klarifikasi dari anggota yang sedang disoroti berkaitan dengan kasus tersebut. Padahal, peluang untuk proaktive atau peluang buat mengambil inisiative terbuka dimana dalam tata tertib DPR, tidak terdapat larangan untuk melakukan hal itu . Sementara kewenangan untuk melakukan klarifikasi cukup jelas.

***
OLEH karena itu, ke depan Badan Kehormatan DPR harus sudah saatnya perannya lebih proaktife, jemput bola dan bebas dari hambatan prosedural ataupun politik dalam pemrosesan indikasi pelanggaran tata tertib dan kode etik DPR. Terkait dengan masalah ini, maka harus segera disusun sistem pengawasan yang efektif terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi DPR.

Untuk itu, juga tidak bisa sendirian lagi, BK DPR harus menjalin kerjasama dengan instansi terkait dalam kaitan dengan tindak lanjut temuan Badan Kehormatan DPR yang berindikasi kuat terjadi tindak pidana korupsi. Jika hal ini dilakukan, maka kasus-kasus yang terjadi dan terkait dengan soal penyelewengan keuangan negara, tidak akan hanya berhenti pada sanksi politik semata.

Hal lain yang juga penting adalah, soal transparansi. Selama ini BP DPR tidak memberi akses kepada publik untuk mengetahui hasil dan proses kasus yang ditangani. Itu sebabnya, di kalanngan publik yang berkembang justru spekulasi dan interpretasi publik yang bisa mendelegitimasi keabsahan keputusan Badan Kehormatan DPR di mata publik.

Di sini, menjadi penting untuk diperhatikan rekomendasi ICW untuk me revitalisasi BK DPR. Pertama, BK DPR ke depan harus lebih pro-aktif di dalam menyikapi isu yang berkembang di public maupun laporan masyarakat mengenai indikasi pelanggaran kode etik anggota DPR RI. Kedua, BK DPR harus membuat mekanisme kerja sama dengan instansi terkait misalkan; KPK dalam kaitan dengan tindak lanjut temuan BK DPR yang berindikasi kuat terjadinya tindak pidana. Ketiga, BK harus menciptakan mekanisme pertanggungjawaban public atas laporan hasil pemeriksaan yang dilakukan agar tidak menimpulkan interpretasi di masyarakat yang justru akan mengurangi nilai keabsahan keputusan BK DPR di mata publik. Keempat, BK DPR harus mengusut tuntas kasus-kasus pelanggaran kode etik seperti kasus percaloan di DPR, kasus amplop DPR dan kasus-kasus lain serta membuka ke public mengenai hasil-hasil proses pemeriksaannya.

Pemberantasan Korupsi dan Rekomendasi Panja

Opindo, edisi 26, 23-29 Oktober 2006
RAPAT Paripurna Panitia Kerja Penegakan Hukum dan Pemerintahan Daerah DPR, meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan teguran kepada Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh. Dalam rekomendasi itu Jaksa Agung dinilai tidak mampu memimpin dan mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan dalam penanganan kasus korupsi anggota DPRD dan kepala daerah, yang masih didasarkan pada Peratuan Pemerintah (PP) Nomor 110 Tahun 2000.

Data dari Departemen Dalam Negeri memang menunjukkan, sepanjang tahun 2004 hingga 2006, telah dikeluarkan izin pemeriksaan untuk 67 kepala daerah dan wakil kepala daerah, serta 1062 anggota DPRD. Dari sejumlah itu, Kejagung telah melakukan proses hukum untuk 265 perkara dengan jumlah tersagka, terdakwa dan terpidana sebanyak 967 orang anggota DPRD.

Dalam menangani kasus itu, Kejagung masih terus menggunakan PP Nomor 110 Tahun 2000 yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). Karenanya, jajaran pimpinan Kejagung dinilai tidak tegas dalam melaksanakan dua surat edaran Jampidsus yang meminta para Kejaksaan Tinggi di seluruh Indonesia tidak menggunakan PP tersebut dalam menangani kasus korupsi anggota DPRD.

Pada bagian yang sama, Presiden diminta menegur Jaksa Agung dan sekaligus meminta Presiden untuk menginstruksikan Jaksa Agung dan Kapolri Jenderal Pol. Sutanto untuk melakukan pemberantasan korupsi secara adil. Presiden juga diminta menginstruksikan kepada para pembantunya di bidang penegakan hukum yaitu Jaksa Agung dan Kapori agar dalam pemberantasan korupsi dilakukan secara adil. Tidak tebang pilih atau diskriminatif, proporsional dan dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip negara hukum.

Kalangan DPR memberi argumen, rekomendasi itu dikeluarkan menyusul banyaknya laporan dan pengaduan dari masyarakat tentang praktek penegakan hukum terhadap anggota DPRD dan kepala daerah yang tidak adil dan diskriminatif.

****

DENGAN dikeluarkannya rekomendasi itu, Panja berkesimpulan bahwa penegakan hukum dalam penanganan terhadap kasus-kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh anggota DPRD dilakukan secara tidak fair, tebang pilih atau diskriminatif, tidak proporsional dan melanggar prinsip-prinsip negara hukum, terutama prinsip kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law) dan prinsip penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum.

Untuk itu, ada dua hal yang secara tegas direkomendasikan kepada presiden. Pertama, Meminta Presiden RI untuk mengintruksikan kepada pembantunya dibidang penegakan hukum, yaitu kepada Jaksa Agung RI dan Kepala Polri agar dilaksanakan secara adil, tidak tebang pilih atau diskriminatif,proporsional, dan dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip negara hukum, serta mengeluarkan izin pemeriksaan terhadap kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.

Kedua, meminta Presiden RI agar dapat segera memberikan rehabilitasi dan pemulihan nama baik beserta segenap hak-haknya atas kerugian yang diderita oleh anggota DPRD dan Kepala Daerah akibat penggunaan PP Nomor 110 Tahun 2000, PP Nomor 105 Tahun 2000, serta Surat Edaran Mendagri.

***
TERHADAP rekomendasi itu, kalangan NGO yang diwakili Indonesia Corruption Watch (ICW), secara tegas meminta agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menolak rekomendasi Panja Penegakan Hukum dan Pemerintah Daerah (gabungan Komisi II dan Komisi III DPR RI) untuk memberikan rehabilitasi dan pemulihan nama baik anggota DPRD yang diduga terlibat kasus korupsi.

Penting dikemukakan alasan ICW di sini, pertama, rekomendasi tersebut tidak mengarah pada upaya perbaikan dan peningkatan profesionalisme aparat penegak hukum dalam menangani korupsi. Akan tetapi lebih menonjol sebagai upaya untuk menghambat atau menghentikan proses hukum dalam penuntasan kasus korupsi terhadap politisi daerah.

Kedua, Berdasarkan data Kejaksaan terdapat 265 perkara tindak pidana korupsi dengan jumlah tersangka/terdakwa/terpidana sebanyak 967 anggota DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota. Dari data tersebut 67 perkara dijerat dengan PP 110 Tahun 2000, 198 perkara dijerat dengan PP 105 Tahun 2000 dan Surat Edaran Mendagri Nomor 161/3211/SJ tanggal 23 Desember 2003, dan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 dan Permendagri Nomor 2 Tahun 1994.

Ketiga, Pemberian rehabilitasi dan pemenuhan hak-hak anggota DPRD tidak dapat diberikan secara serta merta atau langsung oleh Presiden. Berdasarkan pasal 14 ayat 1 Amandemen UUD 45 menyebutkan Presiden memberikan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA. Dengan demikian harus ada konsultasi terlebih dahulu antara Presiden dengan MA.

Pertanyaanya, apakah predisiden akan menindaklanjuti rekomendasi DPR itu? Itu yang kita belum tahu. Paling tidak ada tiga hal yang penting untuk dipertimbangkan sebagai dipaparkan oleh ICW kepada presiden SBY untuk menolak atau mengabaikan sama sekali rekomendasi itu. Pertama, diminta menolak rekomendasi Panja Penegakan Hukum dan Pemerintah Daerah (Gabungan Komisi II dan Komisi III DPR RI) khususnya dalam memberikan rehabilitasi dan pemulihan nama baik anggota DPRD yang diduga terlibat kasus korupsi. Karena rekomendasi tersebut inkonsisten dengan kebijakan pemerintah dalam memberantas korupsi.

Kedua, mendesak agar Jaksa Agung RI dan Kapolri untuk terus melanjutkan proses hukum dalam kasus korupsi yang melibatkan anggota DPRD dan Kepala Daerah yang saat ini masih dalam tahap penyelidikan dan penyidikan.

Ketiga, mempercepat keluarnya izin pemeriksaan yang diajukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan terhadap kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana korupsi।Ellyasa KH Darwis

Anggota DPR Itu Calo?

Oleh Ellyasa KH Darwis (Opindo, edisi 16, 14-20 Agustus 2006)

ADALAH Ketua Fraksi PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo yang secara tegas dan lantang mengatakan bahwa anggota itu calo. Maksudnya tidak lain adalah anggota dewan yang memperjuangkan kepentingan daerah pemilihannya itu, tidak dengan sendirinya merugikan pihak ketiga. Meskipun demikian, masih menurut mantan ketua umum KNPI itu jika karena perannya itu kemudian merugikan pihak ketiga atau merusak nama baik dan merugikan keuangan pusat atau daerah, itu baru bisa diseret ke Badan Kehormatan.

Jadi, apa yang dilakukan anggota Dewan untuk memperjuangkan daerahnya untuk mendapatkan dana penanganan bencana bagi daerahnya, suatu yang sah dan memang suatu kewajiban yang harus dilakukan. "Kalau ada anggota DPR yang memperjuangkan kepentingan daerah disebut calo, maka pada prinsipnya semua anggota DPR itu adalah calo, calo bagi kepentingan daerah dan masyarakat," demikian tandasnya sebagai mana dikutif Koran Tempo (09/08/2006).


Tentu dalam pengertian seperti yang dikemukakan dimuka memang tidak ada yang salah, sejauh dilakukan melalui mekanisme dan prosedur yang berlaku. Masalah yang belakangan ini diributkan dan cenderung menjadi sorotan adalah kecenderungan beberapa anggota dewan yang mendagangkan kewenangan yang dimiliki untuk mendapatkan alokasi anggaran yang besar dari pusat.

Tentu saja ini bukan cerita baru. Sudah lama publik memiliki pengetahuan umum, banyak anggota dewan yang ditengarai mengunakakan status dan posisinya untuk mempengaruhi pusat dalam mengucurkan alokasi anggaran. Khususnya, dalam pengucuran Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU). Peluang bermain anggota Dewan cukup besar, sebab mekanisme penentuan alokasi DAK dan DAU sangat didominasi oleh pengaruh DPR. Di sinilah, sebagaimana pernah dipublish setahun yang lalu, praktek percaloan terjadi oleh anggota dewan. Tentu, bisik-bisik yang berkembang adanya fee bagi anggota dewan dari daerah yang mendapat porsi DAU atau DAK lebih besar. Sekurang-kurangnya ada enam nama yang sudah disebut-sebut sebagai pihak yang ditengarai berperan sebagai calo anggaran.


****

SEPERTI diketahui, sebelumnya tidak selang berapa lama setelah KH Azidin diberhentikan oleh Badan Kehormatan DPR karena dituduh terlibat percaloan haji. Publik tiba-tiba dikejutkan kembali oleh adanya issue percaloan anggaran penanganan bencana.

Bermula dari pernyataan Staf Khusus Menko Kesra Lalu Mara Satriwangsa. Menurutnya, ada sejumlah anggota DPR yang telah mengajukan proposal ke Menko Kesra. Itu dipertegas pengakuan Sekretaris Menko Kesra Soetedjo Yuwono bahwa ada anggota DPR meminta dirinya mengegolkan 14 proposal yang diserahkan melalui seorang staf Dirjen Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum. Malah Soetedjo menyebutkan ada anggota dewan yang mengancam akan menolak usulan Badan Koordinasi Nasional (Bakornas) Penanganan Bencana kalau proposalnya tidak disetujui.

Salah seorang anggota Panitia Anggaran (Panggar) yang merasa sebagai pihak yang dimaksud Soetedjo. Ia membenarkan telah menghubungi Soetedjo karena usulan daerah penerima dana bencana banyak yang tidak tepat. Awalnya, publik menunggu realisasi kata pihak yang dimaksud itu yang dengan lantang mengatakan akan membongkar semuanya. Dengan cara begitu, maka jangan sampai ada alibi-alibi yang justru merugikan daerah yang terkena bencana, dan menguntungkan daerah yang tidak terkena bencana karena kepala daerahnya jeli memanfaatkan situasi.

Ketua DPR Agung Laksono bereaksi keras. Ia minta Kementerian Kokesra tidak melempar isu. Jelaskan secara terbuka, dilengkapi bukti agar tidak memicu perseteruan antara DPR dan pemerintah.

Sikap anggota DPR yang ngebet meloloskan anggaran bencana, menurut Agung, juga tidak selalu bisa dimaknai sebagai percaloan. Dengan catatan, mereka murni memperjuangkan kepentingan konstituennya. Selama tidak meminta imbalan, maka tidak ada masalah.
Silang pendapat pun kemudian terjadi, Ketua Panggar DPR mengatakan bahwa antara memperjuangkan kepentingan daerah dan praktik percaloan bedanya sangatlah tipis. Sembari menenaskan bahwa pengalokasian anggaran bencana harus diajukan sendiri kepala daerah. Di sini, DPR tidak boleh ikut campur. Sebab pengeloaan dana bencana sepenuhnya oleh Bakornas dengan ketua harian Menko Kesra, sementara DPR hanya mengawasi saja.

Akhirnya issue itu pun dianggap selesai. Ketua DPR RI, Menko Kesra dan tak lupa Wakil Presiden sepakat dan kompak menegaskan tidak ada calo anggaran dalam alokasi dana percaloan dalam alokasi dana penanganan bencana.

*****
PADA posisi sekarang ini, dimana posisi legislatif cukup kuat (legislative heavy) dalam berhadapan dengan eksekutif, memang peluang anggota dewan untuk mempengaruhi eksekutif memang cukup terbuka. Dengan posisi dan peran yang dimilikinya itu, memang peluang untuk terjadinya a buse of fower sangat terbuka dan sangat mungkin. Lebih-lebih legislatif bisa menjadi penentu setiap kebijakan pemerintah, secara khusus yang terkait dengan anggaran. Pendeknya, dengan medan kuasa yang dimilikinya anggota DPR dapat menekan pemerintah menyetujui suatu mata anggaran. Broker dari daerah dan di Jakarta kemudian menumpukkan kepada jaringan di DPR. Sebab melalui jaringan DPR ini, konon, lebih pasti untuk mengusulkan perubahan, penambahan, dan persetujuan terhadap mata anggaran tertentu. Tidak hanya itu, jika pada masa lalu lobby rekanan lebih banyak ke departemen, maka sebagaimana sas sus yang berkembang selama ini, banyak proyek di departemen sudah menjadi kavling partai tertentu. Konon, rekanan-rekanan jauh-jauh hari sudah mendekati anggota dewan untuk mendapatkan jatah di departemen tertentu.

Pada sisi lain, sejak reformasi politik 1999 itu, kekuatan politik menyebar dan tidak ada lagi single majority. Konsekuensi dari menyebarnya kekuatan politik itu, membuat masing-masing anggota dewan memiliki peluang yang sama. Akibatnya memang, mekanisme check and balance sebagaimana diharapkan oleh banyak kalangan tidak terjadi dan sebaliknya, yang terjadi adalah kecenderungan untuk melakukan pengkavplingan secara bersama-sama.


Untuk itu, barangkali untuk memahami soal percaloan ini jangan dilihat dengan ucapan, tidak selamanya statemen politik yang tegas berkata tidak itu dengan sendirinya menggambarkan realitas. Seringkali statemen politik itu harus dibaca secara terbalik, dimana kata “tidak” itu artinya “ya” dan sebaliknya.

Naiknya Anggraran Legislasi DPR

Oleh Ellyasa KH Darwis (Opindo, edisi 15, 7-13Agustus 2006)


ANGGARAN DPR untuk pembahasan rancangan undang-undang diusulkan naik sekitar tiga kali lipat. Jika pada tahun anggaran 2006 ini anggaran DPR untuk membahas setiap RUU dipatok sekitar Rp 560 juta, mulai tahun 2007 nanti anggarannya diusulkan naik menjadi Rp 1,7 miliar.

Salah satu alasan yang dikemukakan adalah, kenaikan anggaran untuk pembahasan RUU itu untuk memandirikan DPR dalam melaksanakan fungsi legislasi. Alokasi peruntuhkan dana 1,7 miliar itu adalah untuk persiapan naskah akademik RUU, mengundang pakar dan narasumber, serta penyerapan aspirasi, sosialisasi, dan juga untuk honor anggota DPR.

Alasan lain, yang dikemukakan dengan kenaikan itu adalah agar DPR bisa membahas RUU lebih baik dan sesuai dengan aspirasi rakyat. Secara bertahap memang terjadi peningkatan anggaran DPR untuk pembahasan RUU. Pada 2005 anggaran DPR untuk pembahasan setiap RUU masih sebesar Rp 324 juta. Bukan hanya anggaran pembahasan RUU, secara keseluruhan anggaran DPR 2007 pun diusulkan naik 10-15 persen. Pada tahun anggaran 2006 total anggaran DPR mencapai Rp 1,1 triliun. Kenaikan anggaran ini, akan berlaku efektif mulai tahun depan, 2007. Ditegaskan lagi, dengan naiknya anggaran itu, kelak DPR tidak lagi menggantungkan anggaran kepada pemerintah dalam pembahasan RUU.

Memang, kenaikan anggaran DPR itu, ternyata jika dibandingkan anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk mempersiapkan sebuah RUU, relatif lebih kecil. Seperti diketahui, setiap kali pembahasan RUU, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 2,5 miliar.

Pertanyaannya kemudian, jika anggaran DPR sudah dinaikan apakah pada saat bersamaan anggaran pemerintah untuk pembahasan RUU harus juga masih sama. Ini suatu yabf belum jelas. Harusnya memang, dengan naiknya anggaran DPR, maka anggaran pemerintah harus turun. Jika tidak maka jelas akan terjadi pemborosan semata.

Jika demikian adanya, maka memang DPR harus lebih mandiri dan meningkatkan kinerja. Kasus yang terjadi saat pembahasan RUU Pemerintahan Aceh, dimana anggota DPR untuk "meminta" tambahan lagi dari pemerintah, harus tidak berulang lagi. Pada saat bersamaan, masih dalam satu tarikan napas, inisiatif DPR harus meningkat. Jika tidak, permintaan kenaikan anggaran itu hanya akan menguatkan citra DPR dengan strategi buruknya untuk menambah anggaran untuk segala jenis kegiatan dengan berbagai alasan.
PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan) misalnya pernah memberikan catatan tajam atas kualitas kuantitas legislasi yang dihasilkan DPR. Selama kurun waktu Mei-Juli 2006 hanya menghasilkan 4 UU dari target 43 RUU prioritas yang harus diselesaikan. Total selama tahun ini, Januari-Juli 2006, baru 12 UU yang dihasilkan. Padalahal, tak urang, tahun ini DPR memiliki beban harus menyelesaikan 76 RUU. 43 buah RUU yang baru dan 32 RUU limpahan dari tahun 2005.


Dari segi proses, masih menurut kritik PSHH, publik masih saja dipinggirkan dalam pembahasan RUU di DPR. Publik harus puas hanya terlibat dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang tidak pernah jelas tindak lanjutnya. Atau diperbolehkan melihat dan mendengar beberapa rapat Pansus yang hampir tidak pernah mengambil keputusan penting. Begitu pembahasan mulai serius dan substantif, biasanya di tingkat Panja, publik tidak lagi bisa mengikutinya. Alasan para legislator untuk ketertutupan ini, Tata Tertib DPR menyatakan bahwa Rapat Panja pada dasarnya bersifat tertutup, kecuali jika dinyatakan terbuka (Pasal 95 ayat (2)).


****

KRITIK itu jelas terarah kepada ketidakmampuan mayoritas anggota dan kekuatan politik yang ada di DPR menangkap aspirasi yang berkembang di tingkat publik. Salah satu kritiknya adalah, lembaga perwakilan rakyat, tidak mampu menangkap suara yang berkembang di tingkat publik menjadi pertimbangan utama bagi DPR dalam merumuskan substansi undang-undang.

Banyak produk legislatif yang lebih mementingkan aspirasi partai dengan kalkulasi politik jangka pendek dibandingkan dengan aspirasi publik yang berkembang. Tidak heran kemudian jika apa yang berkembang dimasyarakat dan yang berkembang di legislatif selalu tidak sejalan. Akibatnya, banyak UU yang saat dirumuskan gagal mengapresiasi dan menangkap aspirasi publik untuk dituangkan dalam undang-undang. Contohnya, sekedar menyebut contoh soal semata, saat legislatif membahas undang-undang bidang politik-UU Partai Politik, UU Pemilihan Umum Legislatif, UU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dan UU Susunan dan Kedudukan Anggota Legislatif.

Pada sisi yang bersamaan, ada kecenderungan yang mengindikasikan anggota legislatif rendahnya komitmen individu untuk terlibat pada tiap tingkat pembahasan. Contoh nyata yang bisa dikemuakan di sini adalah seringkali sidang paripurna sebagai tahap keputusan akhir sebuah produk hukum yang penting,. hanya dihadiri sekitar 52 persen anggota DPR, sebagaimana pada kasus tahun 2003 lalu saat pengesarahan UU Pilpres dan Wapres.

Kritik lainnya, selama ini DPR terjebak dalam daur rutinitas politik tanpa kerangka kerja yang jelas. DPR sebagai lembaga legislatif mestinya menyusun cetak biru perundang-undangan yang menjadi acuan pelaksanaan fungsi legislasi yang diembannya. Yang dilakukan selama ini, hanya sebatas rencana kerja legislasi DPR selama lima tahun, tanpa disertai target yang jelas dan bisa menjadi bahan untuk mengevaluasi kinerjanya. Dengan adanya kerangka yang jelas, maka akan bisa melahirkan produk perundang-undangan yang sinergis dan integratif satu sama lain.

****

Catatan penting lainnya, agaknya penting untuk dikutip catatan kritis dari Syamsuddin Haris. Di mana peneliti LIPI itu, UU hasil DPR hampir selalu berpotensi tambal-sulam. Pengaturan hukum simpang-siur, tumpang-tindih, bahkan bertentangan dengan UU yang masih berlaku. Padahal, naskah akademik sebagai kerangka pikir yang mendasari penyusunan RUU mutlak diperlukan, tidak hanya sebagai acuan bagi materi pasal dan ayat, tetapi juga dalam rangka menghindari pengaturan yang tambal-sulam.

Untuk itu, ia mengusulkan pentingnya mereformasi pola dan sistem kerja DPR. Diakui atau tidak, dewasa ini mekanisme kerja DPR masih mewarisi pola era Orde Baru. Meski secara formal DPR bekerja melalui komisi, badan, dan panitia, kenyataannya semua alat kelengkapan Dewan masih dalam kendali dan subordinasi fraksi-fraksi. Padahal, peran fraksi—yang notabene bukan alat kelengkapan DPR—mestinya hanya sebatas koordinasi dan fasilitasi. Ironisnya, para politisi DPR justru ”menikmati” kondisi kehilangan kedaulatan ini dalam rangka menghindari tanggung sebagai wakil rakyat.

Jadi, masihkah DPR layak meminta anggaran naik jika produk UU dan kinerjanya masih seperti sekarang ini?

Network