Memperbesar Kewenangan Badan Kehormatan


Oleh Ellyasa KH Darwis, Opinindo edisi 31, 11-17 Desember 2006

BELAKANGAN ini berbagai pelanggaran kode etik oleh anggota DPR semakin banyak terungkap. Mulai dari percaloan, pemerasan, penyalahgunaan kewenangan, sampai permesuman. Untuk menyikapi ini, kewenangan Badan Kehormatan DPR perlu diperbesar. Badan Kehormatan (BK) DPR RI perlu mengubah mekaisme yang selama ini dilakukan dalam menanggapi dugaan penyimpangan etika anggota DPR dengan tidak lagi bersifat pasif, tetapi bersifat proaktif. Terhadap-kasus sepertiu itu, BK DPR perlu bertindak cepat dalam merespons tindakan angota DPR yang diduga menyimpang dari kode etik. Untuk bisa bertindak cepat, BK ketentuan internalnya yang harus terlebih dahulu dirubah. Selama ini, BK baru bertindak setelah menerima pengaduan dari masyarakat dan pimpinan DPR. Selain pasif, dengan posisi dan peran seperti itu membuat BK tidak responsive. Sementara banyak kasus-kasus yang terjadi di sekitar DPR yang publik mengetahui dengan mata telanjang.

Itu vocal point yang terungkap dalam diskusi di DPR, minggu lalu. Kesimpulan penting dari diskusi itu adalah Kewenangan BK ini dirasa perlu untuk diperbesar karena perundang-undangan dan Tata Tertib DPR selama ini sangat membatasi. Salah satu kelemahan BP DPR adalah tidak bisa bertindak proaktif, tetapi hanya menunggu laporan dari masyarakat atau Pimpinan DPR. Sementara BK sendiri juga tidak bisa memaksa pihak luar mengeksekusi keputusan BK seperti dalam kasus Aziddin di DPR yang masih tetap di DPR meskipun BK memberhentikannya.

Salah satu usulan lainnya adalag agar masyarakat harus diberi peluang me-recall anggota DPR di daerah pemilihannya melalui BK. Tujuannya untuk untuk memperbesar kontrol rakyat. Bagaimanapun anggota DPR itu, dengan wewenang dan kekuasaan yang dimiliki, jika tidak dibarengi dengan saksi dan kontrol dari pemilihnya maka peluang terjadi penyalah gunaan sangat terbuka sementara BK wewenangnya terbatas. Dari catatan yang ada, sejak Januari 2005 sampai Juli 2006 tercatat ada 75 aduan dan BK sudah memberikan 52 sanksi.

***

DENGAN peran yang pasive seperti dikemukakan di atas, harus diakui, BK DPR terlihat bekerja keras dalam memproses laporan-laporan hingga menjatuhkan sanksi. Pada saat yang sama, juga berkembang kecurigaan public tentang adanya kecenderungan yang mengindikasikan adanya “tebang pilih” di bawah payung klasifikasi jenis; ringan, sedang atau berat.

Soal tebang pilih, terkait dengan ketidakjelasan kasus pelanggaran yang sampai sekarang tidak jelas hasilnya. Sebut saja misalnya, kasus pelanggaran kode etik terkait soal ‘plesiran’ ke luar negeri, kasus percaloan anggaran yang melibatkan beberapa anggota DPR dari beberapa fraksi, yang beritanya sempat mencuat ke publik dan menjadi perhatian banyak kalangan. Seperti diketahui bersama, sampai kini, kasus itu seolah-olah disimpan dalam lemari es dan kasus-kasus itu hanya menjadi kliping berita belaka.

Banyak soal kemudian yang melingkar-lingkar di sekitar kecenderungan tebang pilih ini dan mengapa banyak kasus yang jelas-jelas diketahui publik, dan kemudian membeku di lemari es BP DPR. Banyak kalangan kemudian mencurigasi terjadinya proses negosiasi politik di belakang layar. Tak heran kemudian kalau kemandirian BK DPR kemudian dipertanyakan. Secara bersamaan juga, tampak kecenderungan bahwa upaya-upaya yang dilakukan BP DPR hanya sebatas simbolik semata, seolah-seolah, yang penting sudah ada “korban” tanpa berani menyisir kasus-kasu lainnya yang hampir sama.

Kesan yang terhindar lagi di mata publik adalah, BP DPR tak ubahnya “cagar politik” semata yang secara simbolik menggambarkan adanya institusi pengawal moral politik anggota DPR, tetapi realitasnya tak bisa berbuat banyak dan hanya mentereng di tingkat nama belaka. Hal ini tampak saat BK DPR seolah-olah diam, saat issue penerimaan amplot terjadi. Issue itu amplop DPR sudah menjadi isu public, sementara BK DPR hanya menunggu laporan belaka dan tidak proaktif meminta klarifikasi dari anggota yang sedang disoroti berkaitan dengan kasus tersebut. Padahal, peluang untuk proaktive atau peluang buat mengambil inisiative terbuka dimana dalam tata tertib DPR, tidak terdapat larangan untuk melakukan hal itu . Sementara kewenangan untuk melakukan klarifikasi cukup jelas.

***
OLEH karena itu, ke depan Badan Kehormatan DPR harus sudah saatnya perannya lebih proaktife, jemput bola dan bebas dari hambatan prosedural ataupun politik dalam pemrosesan indikasi pelanggaran tata tertib dan kode etik DPR. Terkait dengan masalah ini, maka harus segera disusun sistem pengawasan yang efektif terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi DPR.

Untuk itu, juga tidak bisa sendirian lagi, BK DPR harus menjalin kerjasama dengan instansi terkait dalam kaitan dengan tindak lanjut temuan Badan Kehormatan DPR yang berindikasi kuat terjadi tindak pidana korupsi. Jika hal ini dilakukan, maka kasus-kasus yang terjadi dan terkait dengan soal penyelewengan keuangan negara, tidak akan hanya berhenti pada sanksi politik semata.

Hal lain yang juga penting adalah, soal transparansi. Selama ini BP DPR tidak memberi akses kepada publik untuk mengetahui hasil dan proses kasus yang ditangani. Itu sebabnya, di kalanngan publik yang berkembang justru spekulasi dan interpretasi publik yang bisa mendelegitimasi keabsahan keputusan Badan Kehormatan DPR di mata publik.

Di sini, menjadi penting untuk diperhatikan rekomendasi ICW untuk me revitalisasi BK DPR. Pertama, BK DPR ke depan harus lebih pro-aktif di dalam menyikapi isu yang berkembang di public maupun laporan masyarakat mengenai indikasi pelanggaran kode etik anggota DPR RI. Kedua, BK DPR harus membuat mekanisme kerja sama dengan instansi terkait misalkan; KPK dalam kaitan dengan tindak lanjut temuan BK DPR yang berindikasi kuat terjadinya tindak pidana. Ketiga, BK harus menciptakan mekanisme pertanggungjawaban public atas laporan hasil pemeriksaan yang dilakukan agar tidak menimpulkan interpretasi di masyarakat yang justru akan mengurangi nilai keabsahan keputusan BK DPR di mata publik. Keempat, BK DPR harus mengusut tuntas kasus-kasus pelanggaran kode etik seperti kasus percaloan di DPR, kasus amplop DPR dan kasus-kasus lain serta membuka ke public mengenai hasil-hasil proses pemeriksaannya.

Network