Showing posts with label Politik Hukum. Show all posts
Showing posts with label Politik Hukum. Show all posts

Menanti Ketegasan DSKU

Opindo Edisi 39, 26 Februari -4 Maret 2007

Baru kali ini, setelah kecelakaan pesawat terbang yang bertubi-tubi kalangan DPR bersuara lantang terhadap (Direktorat Sertifikasi Kelaikan Udara) DSKU. Berbagai kecelakaan yang terjadi, tak lain karena teknis pengawasan kelaikan penerbangan di Indonesia yang menurut mereka amat berindikasi berlangsung kurang maksimal, malah terkesan sembarangan.

Kecaman itu di lontarkan anggota DPR RI di Jakarta. Tak hanya itu, anggota DPR itu menegaskan bahwa sudah bukan rahasia lagi sering terjadi kongkalikong antara departemen teknik di maskapai penerbangan dengan institusi yang berkompeten di bidang kelaikan udara.

Pihak Departemen Perhubungan diminta lebih tegas lagi menindak para operator penerbangan dengan memberi sanksi yang jelas dan adil kepada semua pihak. Kecelakaan pesawat yang terjadi akhir-akhir ini, lebih-lebih yang menimpa Adam Air yang terjadi di Juanda kemartin, memang hanyalah berbentuk hard landing (pendaratan dengan sangat keras), sehingga terjadi bumping yang membuat strut (gagang) roda masuk ke dalam dan menekan fram (rangka) badan pesawat. Meskipun demikian, bisa dipastikan peristiwa yang telah sempat meretakkan badan pesawat dan bagian ekornya itu, benar-benar akibat didominasi oleh faktor human error.

Kalangan DPR juga menegaskan, sebagian besar kecelakaan ini karena kesalahan manusia. Baik mereka dari pihak operator penerbangan maupun institusi kelaikan penerbangan. Lebih khusus lagi, tentu di sini terkait adanya kesalahan pilot (pilot error). Untuk itu, institusi yang berkompeten dengan kelaikan udara (penerbangan) terus menerus memeriksa atau melakukan checking periodic atas pesawat-pesawat, termasuk milik maskapai Adam Air.

Tentu bisa dimaklumi, sebab semua itu menyangkut keselamatan dan nyawa manusia. Makanya, sebaiknya pesawat-pesawat demikian “dibunkerkan” dengan cara ketegasan sikap menteri dalam menegakkan berbagai persyaratan dalam kelaikan penerbangan. Nah di sini, Menteri Perhubungan harus lebih tegas lagi menindak para operator penerbangan dengan memberi sanksi yang jelas dan adil.

****
Industri penerbangan merupakan industri yang “fully regulated” atau padat peraturan karena banyak peraturan yang harus dipenuhi. Untuk itu dibutuhkan dan tenaga kerja memiliki keahlian khusus. Pesawat harus diterbangkan orang yang berlisensi atau yang kompeten melalui training dari approved school, karena tidak ada pilot license yang hanya dapat dibeli. Untuk menerbangkan pesawat harus sesuai dengan “flight manual”, “operation manual”, dan cockpit check list. Dan lisensi pilot tersebut diterbitkan Direktorat Sertifikasi Kelaikan Udara (DSKU), Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (Ditjen Hubud), Departemen Perhubungan.

Demikian juga dalam merawat pesawat. Diperlukan “licensed engineer” dan mekanik yang telah lulus dari training untuk tipe rating dan lulus ujian yang diadakan DSKU. Mekanisme perawatan juga harus sesuai dengan Aircraft Manuals yang diterbitkan pabrik dan di-approved DSKU. Pesawat terbang harus dirawat sesuai dengan approved schedule untuk perawatan rutin yang telah di-approved oleh DSKU. Misalnya C-Check dilaksanakan setiap 3.000 jam untuk Boeing 737-200 (approved schedule dari DSKU). Untuk menjalankan perawatan tersebut, pesawat grounded sedikitnya sekitar 3 minggu.
Ada kecenderungan dari airlines untuk menunda atau memperpanjang jadwal C-Check menjadi 4.000 jam. Sebuah pelanggaran yang sesungguhnya sangat berbahaya. Kasus semacam ini diduga dilakukan oleh perusahaan airlines pendatang baru yang tidak mau belajar manajemen airlines. Yang penting bagi mereka mengangkut penumpang dengan harga murah dan menguntungkan.

Di sini, pemerintah dituntut untuk concern pemerintah dan mengawasi secara ketat. Misalnya, harus ada training program bagi penerbang, engineer, maupun staf lainnya yang untuk mendukung operasi penerbangan. Bagaimana pemerintah harus mengawasi airlines, bisa berpedoman pada Civil Aviation Safety Regulations (CASR) tentang teknik dan operasi penerbangan dan yang terkait dengan kualifikasi personil. Priksa saja teknik pesawat terbang. Melihat sejarah kompenen pesawat terbang, kemudian memeriksa apakah ada trouble yang sering terjadi dan belum diperbaiki sebagaimana diatur dalam Minimum Equipment List (MEL).

DSKU harus sering mengadakan “ram check’ untuk melihat apakah ada hal-hal yang menyimpang dari CASR. Jika terjadi penyimpangan, maka perlu diambil tindakan tegas tanpa pandang bulu. Kalau semua peraturan itu sudah diawasi dengan baik dan dipenuhi oleh airlines, maka Direktorat Jenderal Perhubungan Udara tidak perlu minta laporan keuangan. Buat apa minta laporan keuangan airlines yang nota bene bukan kewenangannya.

****
Banyaknya kecelakaan pesawat, ditengarai karena ketidaktaatan maskapai penernabangan dalam melakukan perawatan pesawat dan ketegasab DSKU. Konon, sudah beberapa kali ditemukan sejumlah operator, yang pesawatnya rusat tidak memiliki sejarah perawatan pesawat. Akibatnya, tidak diketahui kapan C Check yang terakhir, kapan engine-nya di-overhaul atau Shop Visit tidak ada. Sayangnya, DSKU masih memberikan Surat Tanda Kelaikan Udara (Certificate of Airworthiness). Mestinya pesawat semacam ini tidak dapat diberikan Certificate of Airworthiness-nya, karena maintenace tidak dilaksanakan kerkesinambungan. Satu lapisan diabaikan mungkin masih selamat. Tapi satu mata rantai menuju kecelakaan sudah terbentuk, tinggal tunggu mata rantai berikutnya.

Ketidaktegasakan DSKU, bisa ditunjukkan pada kasus pesawat Lion Air (PK-LIP 751), yang mengangkut 122 penumpang dan awak, overrun (tergelincir) sampai 30 meter dari ujung landasan AMQ (Ambon), 2 Januari 2007. Pesawat tersebut ternyata tidak di-grounded dan diperiksa oleh Komite Nasional Kecelakaan Transportasi (KNKT), melainkan langsung diizinkan terbang ke Makassar. Ini contoh putusnya satu mata rantai prosedur keamanan dan keselamatan penerbangan.


Ellyasa KH Darwis

Hentikan Proses Hukum Lapindo?

Oleh Ellyasa KH Darwis, Opindo, edisi 17 21-27 Agustus 2006

KETUA Mahkamah Agung Bagir Manan kembali membuat pernyataan pemerintah sebaiknya menghentikan proses hukum dan jangan menempuh jalur hukum untuk mencari kesalahan Lapindo. Pernyataan itu tidak hanya mengundang reaksi banyak kalangan, tetapi juga ditengarai bisa mempengaruhi mempengaruhi proses penegakan hukum atas Lapindo. Keberatan itu sangat sangat kontroversial, disaat sudah dan tengah berlangsung tentu kita tahu perkara ini nantinya akan dilimpahkan ke pengadilan dan ada kemungkinan ke sampai ke MA. Yang lebih penting adalah bagaimana melakukan penanganan terhadap korbannya.

Tidak terlalu jelas kemana arah dari statemen ketua MA itu. Banyak pihak yang kemudian mengaitkan dengan berbagai pernyataan elit politik yang lain, seperti statemen Ketua DPR Agung Laksono, yang secara samar mengatakan soal lumpur Lapindo itu belum tentu Lapindo yang bersalah dan bisa jadi itu bencana alam. Tidak heran kemudian, muncul kerucigaan jangan-jangan dikalangan elit politik di negeri ini tengah menyusun skenerio sistematis bagaimana kasus Lumpur Lapindo Brantas ini ditetapkan sebagai bencana alam. Dengan cara demikian, maka pihak Lapindo Brantas akan terbebas dari pidana sehingga bebas dari pertanggungjawaban.

****

SEBELUMNYA beredar penjelasan bahwa bahwa Lumpur yang keluar itu bukan Lumpur subsurface (bukan Lumpur pengeboran). Mekanik PT Tiga Musim Jaya Mas, kontraktor yang melakukan pengeboran, mengatakan, semburan gas itu disebabkan pecahnya formasi sumur pengeboran. Ketika bor akan diangkat untuk mengganti rangkaian, tiba- tiba bor macet. Gas tidak bisa keluar melalui saluran fire pit dalam rangkaian pipa bor dan menekan ke samping. Gas mencari celah dan keluar ke permukaan melalui rawa, Lumpur panas dari kedalaman 9.000 kaki atau 2.743 meter dari perut bumi juga keluar dari enam titik lainnya.

Mekanik PT Tiga Musim Jaya Mas, kontraktor yang melakukan pengeboran, mengatakan, semburan gas itu disebabkan pecahnya formasi sumur pengeboran. Ketika bor akan diangkat untuk mengganti rangkaian, tiba- tiba bor macet. Gas tidak bisa keluar melalui saluran fire pit dalam rangkaian pipa bor dan menekan ke samping. Gas mencari celah dan keluar ke permukaan melalui rawa. Lumpur panas dari kedalaman 9.000 kaki atau 2.743 meter dari perut bumi juga keluar dari enam titik lainnya.
Pakar Geosains, mengatakan, menyemburnya (blow out) lumpur hidrokarbon pada sumur minyak Banjar Panji, Kabupaten Sidoarjo, yang dikelola PT Lapindo Brantas bukan merupakan bencana alam. Diduga, pada saat penggalian dilakukan, lubang galian belum sempat disumbat dengan cairan beton sebagai casing. Lubang itu menganga karena gempa bumi di Yogyakarta yang getarannya dirasakan sampai Sidoarjo, Malang, dan Surabaya. Rekahan tersebut menyebabkan lumpur hidrokarbon, yang merupakan bahan baku minyak bumi, muncrat karena tekanannya sangat kuat. Prosedurnya memang lubang penggalian pada bagian atas langsung ditutup beton. Namun, penutupan memang baru bisa dilakukan jika seluruh pekerjaan pengeboran selesai dilakukan dan minyak mentahnya telah ditemukan. Ditengarai pada saat penggalian dilakukan lubang galian belum sempat disumbat dengan cairan beton sebagai casing.

Jadi, semburan lumpur Lapindo tersebut disebabkan kesalahan prosedural yang mengakibatkan terjadinya blow out. Dalam blow out, gas yang dicari perusahaan naik melalui lubang bor. Secara prosedural, kalau ada gas naik akan digunakan lumpur untuk menutupnya. Namun mungkin saja gas bertekanan besar tetap mendorong lumpur dan mencari retakan lain yang ada di dalam tanah. Akibatnya, muncul gas berikut lumpur lumpur di sekitar lokasi pengeboran eksplorasi Lapindo. Lumpur yang terbawa keluar bisa berasal dari lumpur yang digunakan untuk menutup lubang bor atau bisa juga lumpur yang menutup lapisan gas dalam tanah.

Sedangkan dugaan penyebab semburan gas dan lumpur karena gempa di Yogyakarta adalah tidak masuk akal. Perlu gempa berkekuatan 6 skala richter (SR) untuk menimbulkan rekahan seperti di Yogyakarta, sedangkan di Surabaya yang terasa kemarin paling 2 SR. Gempa di Yogyakarta terjadi karena pergeseran Sesar Opak yang tidak berhubungan dengan Surabaya. Kalau ada yang melintasi Surabaya itu adalah retakan yang melintas dari sekitar Surabaya ke arah Pacitan.

****

OPINI yang berkembang oleh banyak banyak kalangan ahli geologi dan pakar hukum lingkungan mengatakan bahwa Lapindo telah melakukan kelalaian. Lapindo, telah melakukan kejahatan korporasi sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 23/1997. Dalam UU ini dengan tegas mengatur, jika terjadi kejahatan korporasi, maka komisaris sampai jajaran direksi bisa diseret ke penjara dan dikenai denda. Pengadilan juga bisa memberi hukuman tata tertib, termasuk di dalamnya menutup perusahaan atau bisa juga mewajibkan menyelesaikan seluruh dampak yang ditimbulkan oleh kejahatan tersebut.

Unsur yang unsur-unsur yang telah ditetapkan dalam Dalam Bab IX Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam UU No.23/1997, sebutnya, telah diatur sanksi pidana (penjara dan denda) terhadap badan hukum yang melakukan pencemaran. Pada pasal 46 UU No.23/1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak pidana, maka sanksinya dijatuhkan selain terhadap badan hukum, juga terhadap mereka yang memberi perintah atau yang menjadi pemimpin dalam perbuatan tersebut.

Pada akhinya, tulisan ini akan menegaskan beberapa hal. Pertama, sebagai orang penting di lembaga yudikatif, statemen Bagir Manan memang tidak pada tempatnya diucapkan. Langsung atau tidak langung, statemannya itu akan mempengaruhi proses hukum yang sedang berjalan sekarang ini. Statemen itu juga bisa mengurangi gairah aparat penegak hukum untuk secara serius melakukan proses hukum. Ketiga, statemen itu juga bisa merupakan tengara bagi MA sikap lembaga tinggi itu, jika pada suatu saat proses hukum Lapindo akan sampai ke MA. Ketiga, secara moral politik, statemen itu menyakiti keadilan masyarakat Porong yang sekian lama menerima getah dari semburan Lapindo Brantas yang sekian lama menderita dan telah merubah pola hidup keseharian mereka sejak Lumpur meluber. Di sini, tampak keperpihakan ketua MA itu sendiri, yang tampaknya sejalan dengan pandangan pihak Lapindo Brantas dan beberapa elit politik, yang memandang bahwa kasus Lumpur itu merupakan bencana, sehingga sebagai korporasi Lapindo Brtantas tidak perlu mempertanggungjawabkan di muka hukum

Network