Presiden Harus Sarjana?

Opindo edisi 43, 26 Maret- 2 April 2007

SALAH satu kecenderungan yang menonjol, bahkan paling menonjol dalam setiap pembahasan tentang UU yang terkait dengan politik adalah, menguatnya aroma kepentingan politik jangka pendek untuk kepentingan kelompoknya atau partainya. Kecenderungan seperti ini, meski sudah berkali-kali dikritik tajam toh tetap menjadi daur dan selalu muncul setiap pembahasan di DPR.

Pada tahun pembahanan tentang UU Pilpres tahun 2004 misalnya, masalah persyaratan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden harus Sarjana sudah dikemukakan dengan lantang oleh Partai Golkar. Kemudian PDIP tak kalah garang, mengajukan salah satu syarat calon presiden dan wakil presiden adalah tidak sedang menjadi terdakwa. Jelas, syarat calon presiden harus sarjana dibaliknya ada kepentingan politik jangka pendek untuk menghadang Megawati Sukarno Putri. Sementara syarat agar calon presiden dan calon wakil presiden tidak sedang menjadi terdakwa, diajukan untuk menghadang laju ketua umum Partai Golkar kala itu, Akbar Tanjung, yang sedang menjadi terdakwa dalam kasus Bulog.

Bukan hanya itu, kalau kita rumut pada UU Pemilu 1999, misalnya, masalah serupa juga muncul. Partai Golkar waktu itu menghendaki agar syarat menjadi calon anggota DPR (Caleg) harus memiliki pendidikan minimal sarjana. Kubu yang kelabakan dan melakukan perlawanan kala itu adalah PPP, yang memang sebagian besar tokoh-tokohnya berasal dari pendidikan pesantren. Contoh lain, soal penerapan sistim distrik, pada Pemilu 1999 Partai Golkar menghendaki diberlakukannya system distrik murni, sementara partai-partai lain menolak. Keuntungan Golkar jika system distrik diberlakukan waktu itu, partai berlambang beringin itu memiliki tokoh-tokoh yang merata di berbagai daerah dan relative di kenal masyarakat, sementara partai-partai lain lebih-lebih partai baru, tidak memiliki kader seperti Golkar. Pada sisi lain, secara infrastuktur Golkar relative mapan dibanding partai lainnya.

Beberapa kasus yang dipaparkan menunjukkan bahwa kepentingan politik jangka pendek sangat dominant dalam setiap pembahasan ketentuan UU Politik di negeri ini, sehingga membuat produk UU tidak memiliki visi yang jelas dan pada akhirnya, hanya menjadi wadah dari kompromi demi kompromi.

*****

DEPDGARI mencantumkan persyaratan calon presiden dan calon wakil presiden harus seorang sarjana, sebagaimana tampak dalam draft penyempurnaan Paket RUU Bidang Politik juga terulang. Segera saja tendensi dibalik ketentuan itu untuk untuk menjegal langkah Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden mendatang, segera merebak ke mana. Bukan hanya di kalangan DPR tetapi juga di media massa.

Banyak kritik yang ditujukan sebagai catatan atas draft Departemen Dalam Negeri. Pertama, bahwa masalah gelar sarjana bukan masalah substansi yang harus dituangkan menjadi salah satu persyaratan. Sebab, masalah politik itu memang tidak terkait dengan soal gelar kesarjanaan.

Kedua, kepemipinan politik adalah soal konstituensi, seberapa banyak dukungan dari masyarakat yang diberikan kepada seseorang tanpa melihat latar belakang pendidikannya. Lagi pula, sarjana juga bukan jaminan untuk menakar kemampuan dan kapasitas politik seseorang.

Ketiga, secara diameteral peryaratan harus sarjana itu juga bertentangan dengan UUD 45 dan prinsip-prinsip dasar dari civil and political right. Dimana hak-hak memilih dan dipilih tidak boleh dibatasi dengan alasan apapun.

Catatan lain, bahwa selama ini proses kaderisasi politik tidak ditentukan oleh jenjang pendidikan seseorang. Dunia politik lebih ditentukan oleh bakat, insting, naluri dan panggilan hati untuk mengartikulasikan gagasan dan kenyakinan politiknya memalui mekanisme politik yang tersedia. Jadi memang, tidak relevan jika persyaratan sarjana sebagaimana diusulkan DEPDAGRI itu menjadi bagian yang harus dipenuhi oleh seorang capres dan cawapres.

Jadi, soal kompetensi dan integritas politik seorang capres dan cawapres biarlah rakyat pemilih yang menentukan. Sebab seorang sarjana tidak bisa menjadi jaminan apapun untuk bisa memimpin.


*****
OLEH karena itu, belajar dari pengalaman masa lalu, janganlah mencari-cari alas an formalistik yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara nalar. Janganlah dari awal sebuah rancangan undang-undang dibuat hanya untuk kepentingan politik jangka pendek, dengan mencari-cari sesuatu yang bersifat formal, hanya untuk mengganjal lawan yang potensial.

Masalah-masalah seperti ini, yang membuat produk dan format politik kita selama ini tidak memiliki visi yang jelas. Tolak ukurnya sederhana, bagaimana mendesign RUU yang secara substansi tidak melanggar atau menjamin setiap warga Negara mampu mengartikulasikan dan menggunakan hak-hak politiknya, termasuk hak politik warga Negara yang tidak sarjana untuk menjadi capres atau cawapres.

Barangkali ada baiknya, sebagai penutup tulisan ini, dikutip kata-kata almarhum Pramudya Ananta Toer dalam novel Bumi Manusia: Bersikap adilah sejak dalam pikiran. Ya bersifat jujurlah dalam menyusun rancangan UU PILPRES.

Network