Di Simpang Jalan

Tiba-tiba saja orang nomor satu negeri ini bersuara ke public agar para pembantunya, utamanya yang berasal dari partai politik, untuk menjada proporsi kerja. Kerja mengurusi pemerintahan dan kerja mengurusi partai politik. Siapa yang disodok dari pernyataan itu? Tidak jelas benar siapa sebenarnya yang menjadi sasaran bidik dari pernyataan terbuka itu.

Statemen itu tentu saja mengagetkan banyak pihak. Apa perlunya masalah konsolidasi dan kinerja kabinetnya dibawa-bawa ke ruang publik. Jelas dalam system presidential yang kita anut sekarang, presiden memiliki hak prerogative untuk mengganti atau mempertahankan posisi dalam kabinet. Statusnya anggota kabinet, menteri, adalah pembantu presiden. Ia bertanggung jawab dan menjadi alat atau mesin pengawal kebijakan-kebijakan politik presiden.

Pertanyaanya apa makna tersembunyi dibalik statemen terbuka itu? Mengapa presiden SBY tidak menegur dan menyampaikan keinginannya secara vis a vis dengan pembantunya itu? Adakah ini pertanda bahwa pemegang hak perogrative tertinggi di negeri ini sudah kehilangan kendali atas pembantu pembantunya sehingga ia membawa masalah ‘rumah tangga’ ini ke ruang publik? Adakah ini bagian dari strategi politik untuk menimpakan kinerja kabinetnya yang oleh banyak pihak disebut sebagai tidak optimal, tidak memenuhi harapan atau secara keseluruhan kurang mampu memenuhi harapan-harapan masyarakat yang cukup besar menjelang PILPRES yang lalu?

****

Tentu banyak pertanyaan, banyak teka-teki dan mengundang segudang interpretasi pula. Paling tidak ada tiga hal yang segera tergambar dibalik statemen itu. Pertama, dibalik statemen itu menunjukkan bahwa kepentingan partai politik sangat dominan dalam gerak langkah pembantu SBY yang berasal dari partai politik. Pada moment-moment menjelang Pemilu, sudah bisa dipastikan bahwa para pembantunya yang berasal dari unsure partai politik akan lebih mementingkan konsolidasi dan mengoptimalisasi partai politiknya dibandingkan dengan tanggung jawabnya di kabinet. Jabatan dan tanggungjawab sebagai menteri menjadi urusan nomor dua. Dan yang lebih penting adalah urusan rumah tangga politiknya. Jika hal ini terjadi, maka dengan sendirinya, akan berpengaruh terhadap kinerja kabibet sementara pada sisi lain, jelas SBY ingin maju lagi dalam kontestasi politik di PILPRESS 2009.

Di sini memang menjadi tampak tarikan-tarikan kepentingan ke dua belas pihak. Presiden ingin mempertahankan kinerja untuk kepentingan kesuksesan dirinya sebagai modal politik selanjutnya, sementara para menteri yang berasal dari partai politik, juga memiliki pekerjaan rumah sendiri. Mengurusi kendaraan politik yang selama ini telah menjadi modal dan kendaraan untuk menduduki jabatan dalam kabinet.

Kedua, langkah presiden memperingatkan para pembantunya ke publik itu bisa dipandang juga sebagai bagian dari PR. Tampaknya, langkah itu merupakan salah satu cara agar masyarakat memberi permakluman apabila kinerja kabinet tidak optimal, salah satu jurus yang akan dipakai untuk menangkisnya adalah masalah masalah pembantu-pembantunya yang lebih mementingkan partai politiknya. Jika jurus ini yang akan dipakai kelak, tentu tidak akan efektif sebab bagaimanapun juga system yang berlaku di negeri ini adalah system presidential.

Mudah ditebak arah dari formulasi ini. Presiden tampaknya ingin meminta permakluman dari rakyat, dengan harapan rakyat akan memberi sangsi terhadap para pembantunya yang berasal dari partai politik itu. Pertanyaannya, jika itu yang dituju, apakah dengan sendirinya masyarakat akan memaklumi dan kemudian memberi sangsi? Jawabnya bisa ya dan bisa tidak.

Ketiga, statemen ke publik itu juga bisa dimaknai sebagai peringatan pertama kepada para pembantunya yang dari unsure partai politik. Itu sebabnya presiden SBY menyampaikannya tidak langsung kepada pihak yang dimaksud, akan tetapi langsung kepada publik. Ini tentu saja salah satu gaya politik yang lain dari presiden SBY. Dibalik pesan itu sangat jelas, ia secara lembut sedang mengkomunikasikan kepada publik bahwa system di negeri ini adalah system presidential. Oleh karenannya, statemen agar para pembanunya menjaga konsentrasi, intensitas dan prioritas kerja merupakan isyarakat. Pertanda atau sinyal agar para pembantunya proporsional menbagi perhatian. Jika tidak, maka dipersilahkan memilih. Pesannya jelas tampaknya, jangan membagi konsentrasi secara tidak adil, tetap di kabinet dengan satu catatan atau mundur agar lebih optimal melakukan konsolidasi partai politiknya.

Apakah dengan demikian akan ada peringatan berikutnya? Jawabnya belum tentu. Kalkulasi politik menunjukkan apabila ada langkah tegas yang dilakukan oleh presiden SBY terhadap para pembantunnya, khususnya yang berasal dari Partai Politik, maka akan mengundang instabilitas politik bagi kabinetnya. Tekanan-tekanan dari partai politik pasti akan meningkat, dan sudah barang pasti akan mempengaruhi dan mengurasi modal politik yang sedang dibangun untuk melenggang dalam kontestasi politik berikutnya, pada PILPRES 2009.

*****

Jadi paling mudah membaca dan menafsir dari statemen itu adalah melalui sudut moral dan etika politik. Presiden SBY tampaknya sedang memainkan strategi politik yang paling aman dan (mungkin) paling nyaman. Menyeru agar etika politik yang harus dipegang oleh para pembantunya. Sebagai fungsionaris partai, tidaklah mungkin bagi pembantu presiden untuk tidak ikut memikirkan dan mengurus partainya masing-masing. Akan tetapi, urusan negara tetap harus di nomor satukan.
Dengan demikian, jika kinerja kelak disorot, soal etika politik akan bisa menjadi penjelasan sebagaimana yang pernah dipakai oleh mantan Presiden Megawati. Kegalalan masa pemerintahnya karena adanya loyalitas yang timpang, sebagaian para pembantunya lebih berat mengurusi kepentingan partai politiknya dibandingkan dengan menjalankan fungsi dan perannya sebagai menteri. Issue sentralnya sama, soal etika politik. Adanya loyalitas ganda tetapi timpang. Issue ini, toh tetap saja tidak bisa menyelematkan dan bisa dikatakan tidak ngangkat dan ‘nendang’.

Menjelang Pemilu, tampaknya Presiden SBY sebagai pemegang hak perogrative sedang di simpang jalan. Persimpangan pertama mengarah kepada terciptanya stablitas politik di parlemen, akan tetapi para pembangunya yang berasal dari partai politik, akan njomplang loyalitasnya. Lebih banyak mengurusi partai politiknya. Persimpangan berikutnya adalah, intensive melakukan komunikasi politik dengan masyarakat, dengan memainkan issue moral, issue etika politik terhadap pembantu-pembantunya yang dari Partai Politik. Harapannya masyarakat akan merespon, kemudian memberi tekanan politik kepada yang bersangkutan. Finalnya, anggota kabinet dari unsure Partai Politik akan tetap dalam orbit politik presiden atau memilih secara kesatria mundur sebagai bentuk tanggungjawabnya.

Jadi kini memang secara politik presiden SBY tengah berada di simpang jalan. Tentu saja secara pribadi saya berharap masih ada jalan lain, ada simpang jalan yang lebih tegas dan meneguhkan posisinya sebagai pemegang hak perogrative. Konsolidasikan anggota kabinet yang dari partai politik, dan tegaskan dan kukuhkan kontrak politik baru sesuai prinsip-prinsip etika politik. Hanya saja memang tidak mudah dan gampang.

1 komentar:

Anonymous said...

Mana Yang Pas: SBY tersesat di persimpangan jalan yang benar atau SBY terbenar di persimpangan jalan yang sesat?

Saya sedang tdk mudeng dgn political action org yg dulunya disebut sbg the rising star oleh media massa itu. Yang jelas, makin mendekati Pilpres, SBY menjadi penganut aliran politik: lempar batu sembunyi tangan. Kadang dibumbui dengan pamer kecengengan emosi disana-sini.

Di jaman Gus Dur dikenal istilah "para pembisik". sy tidak tahu apakah istilah itu bisa dipakai untuk Demokrat yang dibinanya. dengan ketua umum Ipar sendiri, dan penasehat Istri sendiri. saya jd ingat gurauan hampir 5 tahun lalu. Dalam sebuah cangkrukan yang dimotori Mas Dimam Abror (Pimpred saat itu)di Jawa Pos, sehabis menonton Debat Capres Anatar Amin vs SBY.

Seorang petinggi PAN Jatim yang hadir dlm acr tsb berbusa-busa menyudutkan PKS yang susah untuk mendukung Amin sejak putaran pertama. Padahal (masih mengutip pernyataan kawan tadi)Amin jelas lebih clean, smart dan terlihat lebih bervisi dibanding SBY sekalipun.

Saling silang pendapat pun ramai. maklum simpatisan partai banyak berkumpul saat itu. sampai akhirnya saya nyletuk. " mungkin PKS menunggu hasil debat antara Pak Amin vs Bu Amin, kalo pak amin menang dalam debat itu sy kira PKS akan pasrah bongkoan suara ke Pak AR".

maksud sy waktu itu adalah ingin mengingatkan bahwa jagoan politik seseorang kadang gagal melawan Innercircle nya sendiri. "Tman sekamar politik"nya dan "se-singgasana kekuasaan" nya sendiri?. saya kira kok, SBY bukan type Org Kuat yang bisa menyelesaikan problem klasik innercircle-nya sejak dulu. karenanya, apa yang Kang Ellyasa tesiskan menjadi sangat benar.Bahwa SBY ada dipersimpangan jalan.

Saya hanya pingin ber-nuwun sewu, ke Njenengan untuk beda pendapat soal jenis dan type jalan-nya saja. kalo jalan versi Njenengan kan jenis prempatan, pertigaan, ato bahkan per-simpanglimaan.

Setahu saya jalan yg dilalui SBY ko jalan melingkar ya. kayak jenis jalan sirkuit balapan.

kalo pada reshufle dulu masyarakat pada maklumin dia. dan mempercayai logika bahwa:yang tdk mampu kerja adalah kabinetnya. Tapi rasa-2nya masyarakat sekarang mulai tahu. kayaknya yang tidak mampu bukan menterinya, tapi SBY sendiri.

Tetapi tetap saja dia ambil cara dan jalan yg sama. nyalahin menterinya, tebar emosional seperti judul lagunya Seurius; Presiden juga manusia".seolah masyarakat tidak terlalu jeli membaca pola gerakan dan bahasa tubuh politiknya.

kasus Pilkada dibeberapa daerah dimana PD kalah oleh PDIP dan Golkar. Apalagi 'mung karo PKS wae kalah' untuk sample kasus Bandung dan Sumut. semoga jd mata kuliah baru yang berharga baginya

Berharga bila parameter: "SBY nggak Nyapres Lagi" di musim pilpres mendatang. kasian masyarakat yg kadung milih dia pada patah hati dan pada gak tahan diledekin lawan politiknya.

regards
Gus-semarang review-the java reporter



Toh itu tdk menyadarkan SBY. t

Network