Realiansi Politik

Opomi Indonesia, Tahun II/Edisi 057/2 Juli=8 Juli 2007

Perkembangan politik pada bebarapa minggu ini ditandai dengan kecenderungan yang cukup menarik untuk dicermati. Dimulai dengan pertemuan PDIP dan Partai Golkar, yang mulai menggagas aliansi kebangsaan. Selanjutnya issue berkembang terus dengan wacana penggabungan partai-partai politik yang ada sekarang. Adakah ini pertanda akan diakhirinya era multi partai yang selama ini berjalan?


Penulis esai ini, tidak sependapat dengan sementara kalangan yang melihat bahwa gejala di atas merupakan penanda terjadinya penggabungan-penggabungan partai politik. Apalagi argument yang dikemukakan menyebut-nyebut, era multipartai tidak menguntungkan dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara.


Apa yang tengah terjadi belakangan ini, lebih tepat sebagai fenomena atau penjajagan pada level elit politik untuk membangun peta aliansi strategis untuk menentukan format politik lima tahun mendadatang. Jadi jauh-jauh hari partai politik akan membentuk suatu koalisi permanent untuk bertarung dan menentukan kebijakan-kebijakan politik ke depan. Jika koalisi semacam ini yang terjadi, maka akan bisa menjawab masalah yang belakangan ini terjadi dimana partai-partai politik cenderung pragmatis dalam membangun aliansi yang sifatnya sesaat dan syarat kepentingan. Partai-partai cenderung beraliansi sesaat dan setelah itu bubar. Aliansi semacam ini memang rentan dan mudah goyah sebagaimana tampak dalam dukungan terhadap SBY-JK selama ini.


****
Idealnya memang koalisi berbasis pada platform atau ideology politik yang sama. Jika kita menilik platform PDI Perjuangan dan Partai Golkar, memang harus diakui memiliki kedekatan dan persamaan. Yakni sama-sama memiliki platform kebangsaan. Pada titik ini, tampaknya yang relative memudahkan kedua partai besar itu untuk saling bertemu dan kemungkinan membangun aliansi politik jangka panjang. Hal yang sama pada Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang meskipun bernuansa religius, tetapi sangat kental dengan warna kebangsaannya. Tiga partai ini quo platform, memiliki kesamaan dan kedekatan untuk membangun koalisi permanent.


Pada pihak lain, partai-partai yang bebasis ideology agama seperti PKS, PPP, PAN, PBB, PBR sangat mungkin jika menilik pada basis ideology dan platformnya, membentuk koalisisi berbasis agama. Qua ideology dan Platform, terdapat kesamaan dalam memandang dan memperjuangkan ideology politiknya yang sangat kental dengan idiom-idiom religius.


Jika arahnya demikian, maka kehidupan politik ke depan akan terjadi sebagaimana yang terjadi di Malaysia. Partai-partai beraliansi secara permanent di parlemen. Partai yang memiliki ideology dan platform kebangsaan beraliansi dalam Barisan Nasional dengan UMNO sebagai leadernya, sementara partai-partai yang berbasis Islam, menjadikan Partai Islam se Malaysia (PAS) sebagai wadah aliansinya.


Jika aliansi seperti itu yang akan terjadi, maka masalah instabilitas politik yang terjadi selama ini, akan dengan mudah bisa di atasi dan dengan demikian, agenda-agenda kebangsaan yang lebih substansial di parlemen bisa dikawal secara lebih inten dan konprehensive.


Patsun politik yang berlaku dalam koalisi seperti itu adalah, partai yang memiliki suara terbanyak dalam kelompok aliansinya, yang akan memimpin dalam koalisi. Artinya, siapa yang memimpin dalam koalisi ditentukan oleh siapa partai yang memiliki dukungan suara terbanyak dalam Pemilu. Dalam patsun politik seperti itu, maka akan sangat bisa dibaca arah dan perkembangan politik yang akan datang. Demikian juga dalam menentukan kebijakan-kebijakan politik kenegaraan, partai-partai tidak disibukkan dengan lobby-lobby sebab sebelumnya sudah dibicarakan pada tingkat koalisi. Suara koalisi mewakili anggotanya.


****
Model koalisi seperti itu, tentu saja sangat menguntungkan bagi partai-partai yang memiliki basis massa yang jelas. Partai Golkar dengan pendukung setianya yang bisa dikatagorikan sebagai pendukung Orde Baru, PDIP dengan basis massa Sukarnoisnya, PKB dengan massa Nahdliyinnya, PKS dengan Islam kotanya, PAN dengan Muhammadiyahnya, PPP dengan basis pemilih tradisionalnya.


Dengan pemetaan basis seperti itu, maka tampaknya jelas, bahwa dalam kontelasi politik ke depan pada koalisi kebangsaan yang akan menjadi leader atau jangkar politik antara PDIP dan Partai Golkar. Sementara partai-partai yang berbasis agama Islam, yang potensial memimpin aliansi adalah PKS atau PPP.


Sementara partai-partai yang tidak tergabung dengan koalisi besar, akan memainkan peran sebagai bandul politik. Bandul politik ini akan sangat menentukan jika komposisi dua aliansi besar itu seimbang. Suaranya jadi sangat menentukan untuk menentukan arah politik ke depan. Contoh kongretnya partai-partai yang mendukung cabinet SBY-JK sekarang ini. Hampir semuanya memainkan bandul politik, sebagaimana dalam penyusunan kabinet tempo hari. Sebaliknya, jika salah satu koalisi dominan, suaranya melebih 50% kursi. Biasanya yang dilakukan adalah membangun simpati kepada pemilih untuk kepentingan Pemilu berikutnya, lantang menyuarakan kritik terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat, harapannya tentu jelas akan mendapatkan citra sebagai modal untuk kampanye putaran berikutnya.


Pertanyaannya kemudian, betulkan kecenderungan yang terjadi belakangan ini mengarahkan kepada terjadinya realiansi politik berdasarkan ideologi atau platform politik? Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya.
Ellyasa KH Darwis

Network