Menunggu Sikap Golkar


Oleh Ellyasa KH Darwis (Opindo, edisi 27, 20-27 Nop/2006)

Partai Golkar akan melakukan evaluasi atas sikap politiknya yang mendukung pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Rapat Pimpinan nasional ke II yang diselenggarakan 13 s/d 16 Nopember 2006. Di sini, evaluasi atas sikap politik Partai Golkar yang dalam rapim I tahun 2005 lalu mendukung pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jadi Take and give nya apa yang bisa diberikan oleh SBY kepada Golkar ini.

Selama ini, Partai GOLKAR selalu tampak ambigue, pada satu sisi sikapnya mendukung pemerintah, namun pada sisi lain dalam berkali-kali di berbagai kesempatan Golkar akan tetap bersikap kritis, obyektif dan konstruktif serta proporsional artinya mendukung mesti tidak secara membabi buta. Tentu banyak kalangan yang menilai, sikap politik seperti ini hanya basa-basi atau retorika politik semata. Suatu yang tak lazim memang, pada satu sisi, ikut mendukung pemerintah tetapi pada sisi lain, dengan tegas menyatakan akan kritis terhadap pemerintahan SBY-JK.

Tampaknya Golkar akan menempat posisinya sebagai oposisi loyal dan kritis terhadap setiap kebijakan politik yang dibuat oleh pemerintahan SBY-JK. Banyak yang menduga, sikap seperti cuma sebatas menaikkan posisi runding partai Golkar terhadap, secara khusus, SBY itu sendiri. Argumen yang dikemukakan memang bisa sangat memikat dan membuai, membangun check and balances yang menjadi salah satu tugas partai politik.

Pada sisi lain, juga bisa merupakan formulasi politik cuci tangan Golkar menghadapi Pemilu 2009 nanti. Keberhasilan yang diraih oleh pemerintahan SBY, maka Golkar dengan nyaring dan lantang akan ikut mengatakan, semua itu tak lepas berkat dukungan Partai Golkar. Sebaliknya, setiap kebijakan SBY-JK yang tidak populis, dan langsung berdampak terhadap hajat hidup orang banyak, Partai Golkar akan cuci tangan tak mau dikait-kait dengan kebijakan itu.

****

Beberapa prestasi yang selama ini diangkap sebagai kisah sukses SBY. Soal perdamaian di Aceh misalnya, Golkar selalu menyebut-nyebut keberhasilan itu salah satunya, karena prakarsai oleh Wapres Jusuf Kalla yang juga merupakan ketua Umum DPP partai Golkar. Demikian juga, dalam masalah penanggulangan bencana, salah satunya berjalan dengan Ketua Bakornasnya Jusuf Kalla. Demikian halnya soal pelunasan hutang kepada IMF pun tak luput dikait-kaitkan sebagai berkat Partai Golkar.

Meski tentu publik sangat sulit mengaitkan, apa hubungan sesutau yang dianggap sebagai keberhasilan SBY itu berkat dukungan Partai Golkar. Apalagi mengaitkan, semua berkat kerja keras dan dukungan dari para kader Partai Golkar baik di daerah maupun khususnya ketua Umumnya yang juga Wapres M Jusuf Kalla.

Betul tidaknya klaim-klaim keberhasilan itu, biarlah komunitas politik yang menilai. Tetapi belalangan pelan-pelan juga segera terungkap, salah satu sebab mengapa Partai Golkar lantang adalah karena beberapa kebijakan SBY yang menghambat kepentingan politik Partai Golkar. Diantaranya, kasus Lampung yang menimpa kader Partai Golkar Alzier yang hingga saat ini belum ada kepastian. Kemudian kasus di Irjabar dan Papua dimana ada anggota DPRD dari partai Golkar yang hingga saat ini masih belum dilantik. Kasus-kasus ini, untuk menyebut diantaranya, sangat tidak menguntungkan kepentingan jangka panjang partai Golkar.

Jauh-jauh hari sebelumnya, juga santer terdengar desakan Partai Golkar untuk meminta jatah lebih dalam kabinet. Meski dengan diplomatis masalah kabinet selalu dijawab dengan itu hak pereogrative presiden, tetapi bukan rahasia lagi jika mendesak SBY agar lebih banyak lagi memasukkan kader-kader partai Golkar dalam kabinetnya melalui reshufle.

****
Bisa jadi benar, pandangan banyak kalangan bahwa apa yang akan dilakukan Partai Golkar mencabut dukungan kepada pemerintah dinilai hanya sebagai manuver politik yang sensasional. Isu tersebut sengaja digunakan Golkar selaku pendukung setia pemerintah untuk mencari simpati publik saat nilai rapor kerja pemerintah merosot tajam. Ancaman itu tidak logis.

Memang harus diakui, Partai Golkar selama ini dikririk kader-kadernya yang kecewa kader di daerah terhadap kinerja pemerintah. Di sini memang dilema internal yang dimiliki partai itu.

Bisa jadi, ancaman evaluasi, bersikap kritis dan proporsional semata-mata hanya tekanan buat presiden SBY belaka. Sebaliknya, jika keinginannya itu telah terpenuhi, maka akan adem ayem lagi. Lebih-lebih jika melihat sikap kritis dan proporsional yang sebelumnya dikemukakan saat JK terpilih jadi ketua umum Partai Golkar, sampai saat ini tidak terbukti.

Sebaliknya, banyak kasus-kasus yang menyangkut hidup orang banyak, dari kenaikan BBM sampai terakhir impor beras, sikap Golkar tak ubahnya stempel belaka. Tak ada suara kritis, tak ada upaya yang menggambarkan posisinya yang menghendaki check and balance, apalagi vokal dan tajam.

Ada baiknya, tegas saja kalau Golkar itu masih setia menjadi partner pemerintah dan untuk itu harus ada konpensasi politik yang lebih dan proporsional. Itu agaknya dibalik retorika politik yang dakik-dakik yang selama ini berkembang. Ada baiknya dikutip pernyataan elit Partai Golkar di sini. “Sebagai partai yang membeking penuh, Golkar membutuhkan peran yang lebih memadai. Golkar tidak ingin menjadi pemadam kebakaran saja, tapi juga betul-betul ingin menjadi partai."

Jadi semua sudah jelas. Retorika politik yang berkembang selama ini, pada dasarnya, dan tidak lain adalah upaya meningkatkan posisi runding partainya agar paling tidak dua hal. Pertama, kebijakan SBY yang selama ini menggantung terkait kader Golkar segera diselesaikan. Kedua, apa lagi kalau bukan tekanan agar SBY tidak memandang sebelah mata terhadap posisi dan peran Partai Golkar dengan konpensasi politik yang proporsional pula.

0 komentar:

Network