Anggota DPR Itu Calo?

Oleh Ellyasa KH Darwis (Opindo, edisi 16, 14-20 Agustus 2006)

ADALAH Ketua Fraksi PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo yang secara tegas dan lantang mengatakan bahwa anggota itu calo. Maksudnya tidak lain adalah anggota dewan yang memperjuangkan kepentingan daerah pemilihannya itu, tidak dengan sendirinya merugikan pihak ketiga. Meskipun demikian, masih menurut mantan ketua umum KNPI itu jika karena perannya itu kemudian merugikan pihak ketiga atau merusak nama baik dan merugikan keuangan pusat atau daerah, itu baru bisa diseret ke Badan Kehormatan.

Jadi, apa yang dilakukan anggota Dewan untuk memperjuangkan daerahnya untuk mendapatkan dana penanganan bencana bagi daerahnya, suatu yang sah dan memang suatu kewajiban yang harus dilakukan. "Kalau ada anggota DPR yang memperjuangkan kepentingan daerah disebut calo, maka pada prinsipnya semua anggota DPR itu adalah calo, calo bagi kepentingan daerah dan masyarakat," demikian tandasnya sebagai mana dikutif Koran Tempo (09/08/2006).


Tentu dalam pengertian seperti yang dikemukakan dimuka memang tidak ada yang salah, sejauh dilakukan melalui mekanisme dan prosedur yang berlaku. Masalah yang belakangan ini diributkan dan cenderung menjadi sorotan adalah kecenderungan beberapa anggota dewan yang mendagangkan kewenangan yang dimiliki untuk mendapatkan alokasi anggaran yang besar dari pusat.

Tentu saja ini bukan cerita baru. Sudah lama publik memiliki pengetahuan umum, banyak anggota dewan yang ditengarai mengunakakan status dan posisinya untuk mempengaruhi pusat dalam mengucurkan alokasi anggaran. Khususnya, dalam pengucuran Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU). Peluang bermain anggota Dewan cukup besar, sebab mekanisme penentuan alokasi DAK dan DAU sangat didominasi oleh pengaruh DPR. Di sinilah, sebagaimana pernah dipublish setahun yang lalu, praktek percaloan terjadi oleh anggota dewan. Tentu, bisik-bisik yang berkembang adanya fee bagi anggota dewan dari daerah yang mendapat porsi DAU atau DAK lebih besar. Sekurang-kurangnya ada enam nama yang sudah disebut-sebut sebagai pihak yang ditengarai berperan sebagai calo anggaran.


****

SEPERTI diketahui, sebelumnya tidak selang berapa lama setelah KH Azidin diberhentikan oleh Badan Kehormatan DPR karena dituduh terlibat percaloan haji. Publik tiba-tiba dikejutkan kembali oleh adanya issue percaloan anggaran penanganan bencana.

Bermula dari pernyataan Staf Khusus Menko Kesra Lalu Mara Satriwangsa. Menurutnya, ada sejumlah anggota DPR yang telah mengajukan proposal ke Menko Kesra. Itu dipertegas pengakuan Sekretaris Menko Kesra Soetedjo Yuwono bahwa ada anggota DPR meminta dirinya mengegolkan 14 proposal yang diserahkan melalui seorang staf Dirjen Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum. Malah Soetedjo menyebutkan ada anggota dewan yang mengancam akan menolak usulan Badan Koordinasi Nasional (Bakornas) Penanganan Bencana kalau proposalnya tidak disetujui.

Salah seorang anggota Panitia Anggaran (Panggar) yang merasa sebagai pihak yang dimaksud Soetedjo. Ia membenarkan telah menghubungi Soetedjo karena usulan daerah penerima dana bencana banyak yang tidak tepat. Awalnya, publik menunggu realisasi kata pihak yang dimaksud itu yang dengan lantang mengatakan akan membongkar semuanya. Dengan cara begitu, maka jangan sampai ada alibi-alibi yang justru merugikan daerah yang terkena bencana, dan menguntungkan daerah yang tidak terkena bencana karena kepala daerahnya jeli memanfaatkan situasi.

Ketua DPR Agung Laksono bereaksi keras. Ia minta Kementerian Kokesra tidak melempar isu. Jelaskan secara terbuka, dilengkapi bukti agar tidak memicu perseteruan antara DPR dan pemerintah.

Sikap anggota DPR yang ngebet meloloskan anggaran bencana, menurut Agung, juga tidak selalu bisa dimaknai sebagai percaloan. Dengan catatan, mereka murni memperjuangkan kepentingan konstituennya. Selama tidak meminta imbalan, maka tidak ada masalah.
Silang pendapat pun kemudian terjadi, Ketua Panggar DPR mengatakan bahwa antara memperjuangkan kepentingan daerah dan praktik percaloan bedanya sangatlah tipis. Sembari menenaskan bahwa pengalokasian anggaran bencana harus diajukan sendiri kepala daerah. Di sini, DPR tidak boleh ikut campur. Sebab pengeloaan dana bencana sepenuhnya oleh Bakornas dengan ketua harian Menko Kesra, sementara DPR hanya mengawasi saja.

Akhirnya issue itu pun dianggap selesai. Ketua DPR RI, Menko Kesra dan tak lupa Wakil Presiden sepakat dan kompak menegaskan tidak ada calo anggaran dalam alokasi dana percaloan dalam alokasi dana penanganan bencana.

*****
PADA posisi sekarang ini, dimana posisi legislatif cukup kuat (legislative heavy) dalam berhadapan dengan eksekutif, memang peluang anggota dewan untuk mempengaruhi eksekutif memang cukup terbuka. Dengan posisi dan peran yang dimilikinya itu, memang peluang untuk terjadinya a buse of fower sangat terbuka dan sangat mungkin. Lebih-lebih legislatif bisa menjadi penentu setiap kebijakan pemerintah, secara khusus yang terkait dengan anggaran. Pendeknya, dengan medan kuasa yang dimilikinya anggota DPR dapat menekan pemerintah menyetujui suatu mata anggaran. Broker dari daerah dan di Jakarta kemudian menumpukkan kepada jaringan di DPR. Sebab melalui jaringan DPR ini, konon, lebih pasti untuk mengusulkan perubahan, penambahan, dan persetujuan terhadap mata anggaran tertentu. Tidak hanya itu, jika pada masa lalu lobby rekanan lebih banyak ke departemen, maka sebagaimana sas sus yang berkembang selama ini, banyak proyek di departemen sudah menjadi kavling partai tertentu. Konon, rekanan-rekanan jauh-jauh hari sudah mendekati anggota dewan untuk mendapatkan jatah di departemen tertentu.

Pada sisi lain, sejak reformasi politik 1999 itu, kekuatan politik menyebar dan tidak ada lagi single majority. Konsekuensi dari menyebarnya kekuatan politik itu, membuat masing-masing anggota dewan memiliki peluang yang sama. Akibatnya memang, mekanisme check and balance sebagaimana diharapkan oleh banyak kalangan tidak terjadi dan sebaliknya, yang terjadi adalah kecenderungan untuk melakukan pengkavplingan secara bersama-sama.


Untuk itu, barangkali untuk memahami soal percaloan ini jangan dilihat dengan ucapan, tidak selamanya statemen politik yang tegas berkata tidak itu dengan sendirinya menggambarkan realitas. Seringkali statemen politik itu harus dibaca secara terbalik, dimana kata “tidak” itu artinya “ya” dan sebaliknya.

0 komentar:

Network