Menunggu Sikap SBY

Opindo, edisi 35, 29 Januari-4 Pebruari 2007

Di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang terpuruk, Presiden SBY mengeluarkan PP No. 37 Tahun 2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD yang cukup kontroversial. Dengan PP itu, memungkinkan anggota dewan menerima tunjangan komunikasi dan operasional dengan menggunakan pagu maksimal. Satu hal yang tak lazim, PP itu berlaku surut surut (per Januari 2006), maka akhir tahun 2006 atau awal tahun 2007 ini mereka akan menerima rapelan tunjangan tambahan tersebut selama satu tahun.

Berbagai protes dilakukan, dari cara-cara yang santun sampai menyebut PP itu sebagai wahana legal untuk ‘merampok’ uang rakyat. Pada saat yang sama, kinerja anggoda DPRD juga banyak dipertanyakan. Hitung-hitungannya, tanpa tambahan tunjangan itupun, rata-rata anggota dewan sudah hidup serba berkecukupan. Bandingkan dengan angka kemiskinan masyarakat yang tetap melonjak tinggi.

Bisa dibayangkan, dengan adanya PP 37 2006 itu, dari bermacam-macam pos .Dari tunjangan operasional hingga tunjangan komunikasi efektif, satu orang anggota DPRD akan mendapat tambahan penghasilan hingga Rp 80 juta. Artinya, untuk seluruh anggota DPRD di seentero Nusantara maka dana yang dikeluarkan mencapai Rp 1,2 triliun. Tentu dana itu, sebagaimana disebutkan dalam PP N0. 37 itu, akan diambil dari anggaran pendapatan dan belanja daerah yang bersangkutan.

Beberapa LSM secara tegas mengkritisi PP 37 2006 itu sebagai bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pertama, PP tersebut melanggar Undang-Undang No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Undang-Undang (UU). Pasal 5 UU tersebut, antara lain menyatakan, sebuah PP atau UU harus mempunyai asas kejelasan tujuan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan. Demikian juga Pasal 6 UU menentukan, setiap peraturan perundang-undangan harus seimbang, sesuai dan selaras antara kepentingan individu dan masyarakat.

Kedua, PP tersebut menggelapkan pajak legal. Dalam PP tersebut diatur selain negara (APBD) harus membayar tunjangan komunikasi ke DPRD, juga membayar pajak penghasilan tambahan (tunjangan komunikasi) DPRD.

Ketiga, PP tersebut memiskinkan masyarakat karena bertentangan dengan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pasal 167 UU No 32 Tahun 2004 menyatakan, keberadaan pemerintah daerah bertujuan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Pasal 3 UU Keuangan Negara menyatakan, anggaran negara dikeluarkan dengan bertanggung jawab.

****
Selain itu, banyak juga hal yang membuat peraturan itu terasa tak patut. Pertama, pos pendapatan terasa mengada-ada. Pos tunjangan komunikasi efektif Rp 9 juta per orang, misalnya, diberikan agar anggota Dewan semakin lancar berkomunikasi. Tidak jelas komunikasi dengan siapa yang dimaksudkan dan pada saat yang sama juga, tidak ada mekanisme yang diatur untuk memastikan agar uang itu benar-benar dipakai sesuai dengan peruntukannya.

Kedua, PP itu berlaku surut. Anggota DPRD akan ketiban dana karena mendapat rapelan pendapatan. Diperkirakan, banyak daerah yang akan terengah-engah memenuhi amanat peraturan ini. Bisa dipastikan banyak daerah yang akan terganggu agenda kegiatan yang sudah dianggarkan di APBD. Dalam itung-itungan, memang beberapa daerah yang cukup mandiri seperti DKI Jakarta Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Jawa Tengah, kabupaten/kota Kutai Kertanegara, Bengkalis, Siak, Surabaya, dan Kota Rokan Hilir. Mungkin tidak akan ada masalah.

Daerah selain yang disebutkan di atas, sudah pasti akan terganggu agenda kegiatannya. Daerah-daerah yang PADnya sedikit, tentu akan menjadi persoalan. Sebut saja misalnya Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatera Utara, mereka harus membayar tunjangan Rp 3 miliar padahal cuma memiliki PAD Rp 1 miliar. Hal yang sama juga akan dialami oleh daerah lain yang nyata-nyata kemampuan keuangannya rendah, seperti Sulawesi Barat, Maluku Utara, Bengkulu, Sulawesi Tenggara, Bangka Belitung, juga kabupaten/kota Padang Panjang, Fakfak Barat, Blitar, Kabupaten Lembata, dan Tumohon.

*****
PARAHNYA, dengan anggota DPRD sendiri tampaknya gelap mata dalam memandang gemerincing tunjangan. Tak peduli dengan aspirasi masyrakat yang menolak PP itu, mereka justru bersikukuh agar pemerintah konsisten untuk memberlakukan regulasi PP 39/2006 yang mengatur pemberian tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional bagi anggota dan pimpinan DPRD itu.

DPRD yang tergabung Asosiasi Pimpinan DPRD Provinsi Seluruh Indonesia (APDSI), Asosiasi Dewan Kabupaten Seluruh Indonesia (Adkasi), dan Asosiasi Kota DPRD Seluruh Indonesia (Adeksi), dalam pertemuannya dengan Mendagri M Ma'ruf, di Jakarta, Jumat (19/1), kembali mendesak agar PP No 37 Tahun 2006 itu diterapkan.

Alasannya, klise diperlukan fasilitas dan tunjangan lainnya yang disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah, jika efektivitas kerja dewan hendak diperbaiki. Argumen yang tak layak didengarpun keluar, menjadi anggota DPRD itu memerlukan ongkos politik yang besar, karena diperlukan biaya besar untuk meraih dukungan masyarakat dalam pemilihan.

Kini semua berpulang kepada SBY. Kini pemihakan dan kebijakan politik SBY ditunggu. Dengan kondisi objektif kemampuan keuangan daerah yang sebagian besar lemah dan secara hukum PP No. 37 2006 itu bertentangan dengan ketentuan UU yang lain, maka sebaikanya jangan hiraukan suara anggota DPRD yang kompak menuntut realisasi tunjangan dan sebaliknya cabut saja PP No. 37 Tahun 2006 itu. Pak SBY, rakyat masih banyak yang menderita dan angka kemiskinan belom berhasil dikurangi secara signifikan. Jadi cabutlah PP itu demi perasaan keadilan masyarakat।
Ellyasa KH Darwis

Network