Memperjuangkan "Kata Bencana"

Opindo, edisi 47 23-29 Maret 2007

Adalah Wakil Ketua DPR Zaenal Ma'arif yang mengatakan bahwa pemerintah tidak bisa mengelak kalau lumpur yang telah menenggelamkan ribuan rumah dan merusak infrastruktur bukan sebagai bencana nasional. Pemerintah jangan setengah-setengah seperti sekarang ini.

Statemen itu tentu bukan hal yang baru, elit politik Jakarta sudah lama secara merdu dan lantang menyuarakan masalah ini. Dengan demikian, maka masalah yang dihadapi oleh masyarakat tidak berlarut-larut seperti sekarang ini. Oleh karena itu, pemerintah harus segera menetapkan lumpur Lapindo sebagai bencana nasional maka persoalannya tidak akan berlarut-larut. Kalau bencana lumpur Lapindo sebagai bencana nasional, DPR bisa lebih longgar dalam hal anggaran penanganan melalui APBN sebagaimana dimaui oleh pemerintah.

Hanya saja, yang tidak bisa mengerti adalah stamennya kemudian yang mengatakan meskipun dengan ditetapkannya sebagai bencana nasional bukan berarti PT Lapindo Brantas terbebaskan dari kewajibannya. Lapindo tetap wajib dimintai pertangungan jawab baik secara perdata maupun pidana. Tidak ada kamus PT Lapindo bisa lepas tangan kalau masalah ini ditetapkan sebagai bencana nasional. Mereka tetap akan menyelesaikan permasalahan yang muncul akibat dari proses eksplorasi perusahaannya.
Pernyataan ini tentu aneh, bagaimana mungkin kalau masalah itu sudah dianggap bencana lantas Lapindo masih dimintai pertanggungjawaban. Bukanlah jika statusnya sudah dinyatakan sebagai bencana nasional, maka dengan sendirinya PT Lapindo Brantas akan lepas dari tanggungjawab dan semua diambil alih atau menjadi kewajiban Negara. Akan terbentang nasib korban lumpur Lapindo yang minggu kemarin berjuang menuntut ganti rugi kepada Lapindo, kemudian karena alas an bencana nasional, maka jelas tidak akan mendapatkan ganti rugi apa-apa. Dan juga tidak masuk akal, jika statusnya sudah dinyatakan sebagai bencana Nasional, maka PT Lapindo masih akan dimintai tanggungjawab secara pidana maupun perdata. Ini statemen yang sungguh-sungguh susah dimengerti dari seorang wakil ketua DPR RI.

Pernyataan itu memang seolah-olah memihak korban lumpur Lapindo, yang sekian lama hidup tidak menentu penuh ketidakpastian. Jikapun kemudian pemerintah menjadikan hal sebagai bencana, maka jelas, masyarakat akan tambah menderita karena kerugian harta benda yang selama ini perjuangkan tidak akan diganti oleh Negara.
*****

Bukan rahasia lagi jika PT Lapindo sudah lama menginginkan agar masalah Lumpur Lapindo itu didorong untuk menjadi bencana Nasional. Tentu kita masih ingat, banyak akal yang dilakukan oleh pemilik saham PT Lapindo Brantas untuk lari dari tanggungjawab. Awalnya, berawal dari rumor adanya spin off (dijual) PT Lapindo Brantas. Medco dan Santos yang mempunyai 32 persen penyertaan modal sudah hengkang dari Energi Mega Persada yang mempunyai pertambangan di blok Brantas. Kini, Lyte Limited yang seratus persen milik kelompok Bakrie menguasai saham tersebut.
Sudah lama juga beredar rumor bahwa persoalan lumpur Sidoarjo ini, memang tak dibuat agar Lapindo bisa menyelesaikan dengan cepat sehingga pemerintah pun merespon dengan mengeluarkan Keppres dan membuat Timnas Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo (PSLS).

Sementara Timnas Bekerja, secara politik terus terjadi gelilya untuk mendorong kejadian ini menjadi bencana nasional. Persoalan meluapnya kolam-kolam penampung lumpur, dan amblesnya tanggul-tanggul penahan lumpur terus saja terjadi. Rusaknya sarana dan prasarana tarnsportasi, dan beberapa media dengan gencar memberitakan tak tertanganinya persoalan lumpur Sidoarjo ini dengan benar. Tampaknya memang dirancang sedemikian rupa agar publik maklum agar masalah Lapindo memang harus dijadikan sebagai bencana nasional.
**

Upaya kea rah itu memang sudah berjalan di DPR. Tampaknya memang tidak berjalan mulus, ada dua faksi yang berseberangan. Pada satu sisi setuju kalo masalah Lapindo itu dijadikan bencana nasional, faksi yang lain menolak. Debatnya sama, Kalau pemerintah menetapkan lumpur Sidoarjo sebagai bencana nasional, di mana tanggung jawab Lapindo Brantas?. Kelompok yang setuju mengatakan bahwa meskipun ditetapkan sebagai bencana nasional, tidak berarti Lapindo lepas tanggung jawab begitu saja. Akhirnya, rapat hari Rabu (29/11/2006) itu berakhir dengan kata-kata ”bencana nasional” ditiadakan.

Meskipun demikian upaya mendorong ke arah itu tak henti. Banyak tokoh politik yang masih lantang menyuarakan agar Lapindo menjadi bencana nasional. Bagi Lapindo, sangat jelas, apabila ditetapkan sebagai ”bencana nasional”, maka anggung jawab akan diambil pemerintah.

Yang lebih mengejutkan lagi, sekarang pemerintah justu memberikan dana talangan. Ini tentu sangat tidak wajar, dan tidak masuk akal, bagaimana mungkin pemerintah menalangi swasta di tengah-tengah membengkaknya defisit anggaran berjalan.

Tampak di sini ada upaya main tarik ulur. Ada upaya-upaya agar masyarakat maklum bahwa masalah Lapindo memang harus dijadikan bencana nasional. Jika itu terjadi, maka korban lumpur persis seperti digambarkan pepatah lama. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Pada sisi yang lain, pihak Lapindo Brantas akan menarik napas lega. Di sini setiap ucapan akan sangat jelas dimana pemihakannya. Bukankah begitu Pak Zainal Maarif?

Ellyasa KH Darwis

Network