Naiknya Anggraran Legislasi DPR

Oleh Ellyasa KH Darwis (Opindo, edisi 15, 7-13Agustus 2006)


ANGGARAN DPR untuk pembahasan rancangan undang-undang diusulkan naik sekitar tiga kali lipat. Jika pada tahun anggaran 2006 ini anggaran DPR untuk membahas setiap RUU dipatok sekitar Rp 560 juta, mulai tahun 2007 nanti anggarannya diusulkan naik menjadi Rp 1,7 miliar.

Salah satu alasan yang dikemukakan adalah, kenaikan anggaran untuk pembahasan RUU itu untuk memandirikan DPR dalam melaksanakan fungsi legislasi. Alokasi peruntuhkan dana 1,7 miliar itu adalah untuk persiapan naskah akademik RUU, mengundang pakar dan narasumber, serta penyerapan aspirasi, sosialisasi, dan juga untuk honor anggota DPR.

Alasan lain, yang dikemukakan dengan kenaikan itu adalah agar DPR bisa membahas RUU lebih baik dan sesuai dengan aspirasi rakyat. Secara bertahap memang terjadi peningkatan anggaran DPR untuk pembahasan RUU. Pada 2005 anggaran DPR untuk pembahasan setiap RUU masih sebesar Rp 324 juta. Bukan hanya anggaran pembahasan RUU, secara keseluruhan anggaran DPR 2007 pun diusulkan naik 10-15 persen. Pada tahun anggaran 2006 total anggaran DPR mencapai Rp 1,1 triliun. Kenaikan anggaran ini, akan berlaku efektif mulai tahun depan, 2007. Ditegaskan lagi, dengan naiknya anggaran itu, kelak DPR tidak lagi menggantungkan anggaran kepada pemerintah dalam pembahasan RUU.

Memang, kenaikan anggaran DPR itu, ternyata jika dibandingkan anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk mempersiapkan sebuah RUU, relatif lebih kecil. Seperti diketahui, setiap kali pembahasan RUU, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 2,5 miliar.

Pertanyaannya kemudian, jika anggaran DPR sudah dinaikan apakah pada saat bersamaan anggaran pemerintah untuk pembahasan RUU harus juga masih sama. Ini suatu yabf belum jelas. Harusnya memang, dengan naiknya anggaran DPR, maka anggaran pemerintah harus turun. Jika tidak maka jelas akan terjadi pemborosan semata.

Jika demikian adanya, maka memang DPR harus lebih mandiri dan meningkatkan kinerja. Kasus yang terjadi saat pembahasan RUU Pemerintahan Aceh, dimana anggota DPR untuk "meminta" tambahan lagi dari pemerintah, harus tidak berulang lagi. Pada saat bersamaan, masih dalam satu tarikan napas, inisiatif DPR harus meningkat. Jika tidak, permintaan kenaikan anggaran itu hanya akan menguatkan citra DPR dengan strategi buruknya untuk menambah anggaran untuk segala jenis kegiatan dengan berbagai alasan.
PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan) misalnya pernah memberikan catatan tajam atas kualitas kuantitas legislasi yang dihasilkan DPR. Selama kurun waktu Mei-Juli 2006 hanya menghasilkan 4 UU dari target 43 RUU prioritas yang harus diselesaikan. Total selama tahun ini, Januari-Juli 2006, baru 12 UU yang dihasilkan. Padalahal, tak urang, tahun ini DPR memiliki beban harus menyelesaikan 76 RUU. 43 buah RUU yang baru dan 32 RUU limpahan dari tahun 2005.


Dari segi proses, masih menurut kritik PSHH, publik masih saja dipinggirkan dalam pembahasan RUU di DPR. Publik harus puas hanya terlibat dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang tidak pernah jelas tindak lanjutnya. Atau diperbolehkan melihat dan mendengar beberapa rapat Pansus yang hampir tidak pernah mengambil keputusan penting. Begitu pembahasan mulai serius dan substantif, biasanya di tingkat Panja, publik tidak lagi bisa mengikutinya. Alasan para legislator untuk ketertutupan ini, Tata Tertib DPR menyatakan bahwa Rapat Panja pada dasarnya bersifat tertutup, kecuali jika dinyatakan terbuka (Pasal 95 ayat (2)).


****

KRITIK itu jelas terarah kepada ketidakmampuan mayoritas anggota dan kekuatan politik yang ada di DPR menangkap aspirasi yang berkembang di tingkat publik. Salah satu kritiknya adalah, lembaga perwakilan rakyat, tidak mampu menangkap suara yang berkembang di tingkat publik menjadi pertimbangan utama bagi DPR dalam merumuskan substansi undang-undang.

Banyak produk legislatif yang lebih mementingkan aspirasi partai dengan kalkulasi politik jangka pendek dibandingkan dengan aspirasi publik yang berkembang. Tidak heran kemudian jika apa yang berkembang dimasyarakat dan yang berkembang di legislatif selalu tidak sejalan. Akibatnya, banyak UU yang saat dirumuskan gagal mengapresiasi dan menangkap aspirasi publik untuk dituangkan dalam undang-undang. Contohnya, sekedar menyebut contoh soal semata, saat legislatif membahas undang-undang bidang politik-UU Partai Politik, UU Pemilihan Umum Legislatif, UU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dan UU Susunan dan Kedudukan Anggota Legislatif.

Pada sisi yang bersamaan, ada kecenderungan yang mengindikasikan anggota legislatif rendahnya komitmen individu untuk terlibat pada tiap tingkat pembahasan. Contoh nyata yang bisa dikemuakan di sini adalah seringkali sidang paripurna sebagai tahap keputusan akhir sebuah produk hukum yang penting,. hanya dihadiri sekitar 52 persen anggota DPR, sebagaimana pada kasus tahun 2003 lalu saat pengesarahan UU Pilpres dan Wapres.

Kritik lainnya, selama ini DPR terjebak dalam daur rutinitas politik tanpa kerangka kerja yang jelas. DPR sebagai lembaga legislatif mestinya menyusun cetak biru perundang-undangan yang menjadi acuan pelaksanaan fungsi legislasi yang diembannya. Yang dilakukan selama ini, hanya sebatas rencana kerja legislasi DPR selama lima tahun, tanpa disertai target yang jelas dan bisa menjadi bahan untuk mengevaluasi kinerjanya. Dengan adanya kerangka yang jelas, maka akan bisa melahirkan produk perundang-undangan yang sinergis dan integratif satu sama lain.

****

Catatan penting lainnya, agaknya penting untuk dikutip catatan kritis dari Syamsuddin Haris. Di mana peneliti LIPI itu, UU hasil DPR hampir selalu berpotensi tambal-sulam. Pengaturan hukum simpang-siur, tumpang-tindih, bahkan bertentangan dengan UU yang masih berlaku. Padahal, naskah akademik sebagai kerangka pikir yang mendasari penyusunan RUU mutlak diperlukan, tidak hanya sebagai acuan bagi materi pasal dan ayat, tetapi juga dalam rangka menghindari pengaturan yang tambal-sulam.

Untuk itu, ia mengusulkan pentingnya mereformasi pola dan sistem kerja DPR. Diakui atau tidak, dewasa ini mekanisme kerja DPR masih mewarisi pola era Orde Baru. Meski secara formal DPR bekerja melalui komisi, badan, dan panitia, kenyataannya semua alat kelengkapan Dewan masih dalam kendali dan subordinasi fraksi-fraksi. Padahal, peran fraksi—yang notabene bukan alat kelengkapan DPR—mestinya hanya sebatas koordinasi dan fasilitasi. Ironisnya, para politisi DPR justru ”menikmati” kondisi kehilangan kedaulatan ini dalam rangka menghindari tanggung sebagai wakil rakyat.

Jadi, masihkah DPR layak meminta anggaran naik jika produk UU dan kinerjanya masih seperti sekarang ini?

0 komentar:

Network