Pemberantasan Korupsi dan Rekomendasi Panja

Opindo, edisi 26, 23-29 Oktober 2006
RAPAT Paripurna Panitia Kerja Penegakan Hukum dan Pemerintahan Daerah DPR, meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan teguran kepada Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh. Dalam rekomendasi itu Jaksa Agung dinilai tidak mampu memimpin dan mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan dalam penanganan kasus korupsi anggota DPRD dan kepala daerah, yang masih didasarkan pada Peratuan Pemerintah (PP) Nomor 110 Tahun 2000.

Data dari Departemen Dalam Negeri memang menunjukkan, sepanjang tahun 2004 hingga 2006, telah dikeluarkan izin pemeriksaan untuk 67 kepala daerah dan wakil kepala daerah, serta 1062 anggota DPRD. Dari sejumlah itu, Kejagung telah melakukan proses hukum untuk 265 perkara dengan jumlah tersagka, terdakwa dan terpidana sebanyak 967 orang anggota DPRD.

Dalam menangani kasus itu, Kejagung masih terus menggunakan PP Nomor 110 Tahun 2000 yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). Karenanya, jajaran pimpinan Kejagung dinilai tidak tegas dalam melaksanakan dua surat edaran Jampidsus yang meminta para Kejaksaan Tinggi di seluruh Indonesia tidak menggunakan PP tersebut dalam menangani kasus korupsi anggota DPRD.

Pada bagian yang sama, Presiden diminta menegur Jaksa Agung dan sekaligus meminta Presiden untuk menginstruksikan Jaksa Agung dan Kapolri Jenderal Pol. Sutanto untuk melakukan pemberantasan korupsi secara adil. Presiden juga diminta menginstruksikan kepada para pembantunya di bidang penegakan hukum yaitu Jaksa Agung dan Kapori agar dalam pemberantasan korupsi dilakukan secara adil. Tidak tebang pilih atau diskriminatif, proporsional dan dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip negara hukum.

Kalangan DPR memberi argumen, rekomendasi itu dikeluarkan menyusul banyaknya laporan dan pengaduan dari masyarakat tentang praktek penegakan hukum terhadap anggota DPRD dan kepala daerah yang tidak adil dan diskriminatif.

****

DENGAN dikeluarkannya rekomendasi itu, Panja berkesimpulan bahwa penegakan hukum dalam penanganan terhadap kasus-kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh anggota DPRD dilakukan secara tidak fair, tebang pilih atau diskriminatif, tidak proporsional dan melanggar prinsip-prinsip negara hukum, terutama prinsip kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law) dan prinsip penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum.

Untuk itu, ada dua hal yang secara tegas direkomendasikan kepada presiden. Pertama, Meminta Presiden RI untuk mengintruksikan kepada pembantunya dibidang penegakan hukum, yaitu kepada Jaksa Agung RI dan Kepala Polri agar dilaksanakan secara adil, tidak tebang pilih atau diskriminatif,proporsional, dan dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip negara hukum, serta mengeluarkan izin pemeriksaan terhadap kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.

Kedua, meminta Presiden RI agar dapat segera memberikan rehabilitasi dan pemulihan nama baik beserta segenap hak-haknya atas kerugian yang diderita oleh anggota DPRD dan Kepala Daerah akibat penggunaan PP Nomor 110 Tahun 2000, PP Nomor 105 Tahun 2000, serta Surat Edaran Mendagri.

***
TERHADAP rekomendasi itu, kalangan NGO yang diwakili Indonesia Corruption Watch (ICW), secara tegas meminta agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menolak rekomendasi Panja Penegakan Hukum dan Pemerintah Daerah (gabungan Komisi II dan Komisi III DPR RI) untuk memberikan rehabilitasi dan pemulihan nama baik anggota DPRD yang diduga terlibat kasus korupsi.

Penting dikemukakan alasan ICW di sini, pertama, rekomendasi tersebut tidak mengarah pada upaya perbaikan dan peningkatan profesionalisme aparat penegak hukum dalam menangani korupsi. Akan tetapi lebih menonjol sebagai upaya untuk menghambat atau menghentikan proses hukum dalam penuntasan kasus korupsi terhadap politisi daerah.

Kedua, Berdasarkan data Kejaksaan terdapat 265 perkara tindak pidana korupsi dengan jumlah tersangka/terdakwa/terpidana sebanyak 967 anggota DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota. Dari data tersebut 67 perkara dijerat dengan PP 110 Tahun 2000, 198 perkara dijerat dengan PP 105 Tahun 2000 dan Surat Edaran Mendagri Nomor 161/3211/SJ tanggal 23 Desember 2003, dan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 dan Permendagri Nomor 2 Tahun 1994.

Ketiga, Pemberian rehabilitasi dan pemenuhan hak-hak anggota DPRD tidak dapat diberikan secara serta merta atau langsung oleh Presiden. Berdasarkan pasal 14 ayat 1 Amandemen UUD 45 menyebutkan Presiden memberikan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA. Dengan demikian harus ada konsultasi terlebih dahulu antara Presiden dengan MA.

Pertanyaanya, apakah predisiden akan menindaklanjuti rekomendasi DPR itu? Itu yang kita belum tahu. Paling tidak ada tiga hal yang penting untuk dipertimbangkan sebagai dipaparkan oleh ICW kepada presiden SBY untuk menolak atau mengabaikan sama sekali rekomendasi itu. Pertama, diminta menolak rekomendasi Panja Penegakan Hukum dan Pemerintah Daerah (Gabungan Komisi II dan Komisi III DPR RI) khususnya dalam memberikan rehabilitasi dan pemulihan nama baik anggota DPRD yang diduga terlibat kasus korupsi. Karena rekomendasi tersebut inkonsisten dengan kebijakan pemerintah dalam memberantas korupsi.

Kedua, mendesak agar Jaksa Agung RI dan Kapolri untuk terus melanjutkan proses hukum dalam kasus korupsi yang melibatkan anggota DPRD dan Kepala Daerah yang saat ini masih dalam tahap penyelidikan dan penyidikan.

Ketiga, mempercepat keluarnya izin pemeriksaan yang diajukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan terhadap kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana korupsi।Ellyasa KH Darwis

0 komentar:

Network