Dzikir dan Bencana

Opindo, edisi 41, 11-16 Maret 2007

Pada situs resmi presiden SBY, www.presiden sby.info diberirtakan: “Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan hampir semua Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, pimpinan TNI dan Polri, serta delegasi Badan Yudikatif Republik Islam Iran yang dipimpin ketuanya, Ayatollah Seyed Mahmoud Hashemi Sharudi, hari Jumat melakukan shalat Jumat berjamah bersama masyarakat luas di Masjid Istiqlal, Jakarta. Usai shalat Jumat, Presiden SBY bersama seluruh jamaah melakukan shalat Ghaib untuk para korban yang meninggal dunia, baik meninggal akibat musibah gempa, tanah longsor, kecelakaan pesawat, kapal laut, maupun meninggal akibat yang lain.

Presiden SBY tiba di Masjid Istiqlal, dengan mengenakan baju koko dan kopiah hitam, langsung menuju ruang shalat, dimana telah menanti Wapres Jusuf Kalla serta seluruh menteri. Yang bertindak sebagai khotib adalah Nasyaruddin Umar, yang juga Dirjen Bimmas Depag, sedangkan imamnya adalah KH Habib Baidowi, imam rowatib Masjid Istiqlal. Selain shalat Ghaib, juga dilakukan doa bersama yang dipimpin KH Mustofa Bisri, yang intinya memohon pada Allah SWT agar bangsa Indonesia diberi keselamatan dan terhindar dari segala bencana”.
****

Dalam terminology agama, bencana alam dipersepsi paling tidak tiga hal. Bisa dipahami sebagai cobaan, ujian atau hukuman. Ada tiga pandangan yang berkembang di kalangan umat dalam menyikapi bencana. Bencana dianggap sebagai uqubah (hukuman), ibtila (ujian) dan tadzkiroh (peringatan). Meskipun demikian, pandangan yang lebih dominan melihat bahwa bencana alam itu sering dianggap sebagai hukuman dan ujian. Oleh karena itu selalu disikapi dengan taubat dan pasrah. Satu sikap individual yang dibarengi dengan tindakan berserah diri kepada Allah dan mohon ampun, baik dilakukan secara individual maupun kolektif dalam bentuk kegiatan ihtighosah atau dzikir.

Harus diakui, bahwa bencana itu memang fenomena alam tetapi manusia juga memiliki andil. Perubahan cara pandang keagamaan dalam memandang bencana merupakan bagian penting untuk membangun kesadaran agar masyarakat sadar pencana. Dalam khazanah pesantren, perubahan ini harus berbasis kepada masalah teologis dan fiqh.

Tidak jelas apakah apakah kegiatan presiden SBY bersama pasangannya, JK yang menghadiri dzikir nasional di Masjid Istiqlal, itu dimaksudkan untuk itu. Jika tidak keliru, kegiatan Dzikir nasional yang itu, kali kedua diselenggarakan tahun ini di Itiqlal dimaksudkan untuk memuji dan mengingat Allah.

Untuk acara ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengundang seluruh menteri dan pejabat setingkat menteri, antara lain Jaksa Agung, untuk menunaikan sholat Jumat di Masjid Istiqlal Jakarta hari ini. Selain para menteri dan pejabat setingkatnya, Presiden juga mewajibkan seluruh pejabat eselon I dan II di semua kementerian dan lembaga ikut hadir dalam acara tersebut. Tidak tangung-tanggung, undangan itu tersebut disampaikan melalui sebuah surat resmi yang ditandatangani Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi.

****
Indonesia, memang negeri paling rentan ancaman bencana karena letaknya di antara tiga lempengan benua, yaitu Asia, Amerika, dan Australia, yang secara geologis rawan dengan gempa tektonis dan gelombang tsunami. Bahkan di negeri ini juga banyak terdapat gunung berapi yang masih aktif sehingga semakin rawan dengan bencana letusan gunung berapi.
Patahan lempengan itu, bisa menimbulkan gempa tektonis, yang bisa terjadi di dasar laut dengan getaran yang besar dan dengan pergeseran tertentu, yang bisa menimbulkan gelombang tsunami.

Tentu saja, letak geografis yang potensial terjadi ancaman bencana itu, suatu yang tidak bisa ditawar dan harus diterima apa adanya. Yang bisa dilakukan oleh pemerintah, secara struktural adalah bagaimana membuat kebijakan politik yang jelas guna mengurangi resiko ancaman bahaya. Banyak kasus dalam bencana alam di negeri ini, korban jatuh bukan karena fenomena alammnya, tetapi lebih karena kondisi yang rentan.

Dengan demikian, yang harus dilakukan pemerintah adalah, jika tidak menyusun rencana strategis ke depan bagaimana cara menurunkan resiko bencananya. Pada negara-negara maju, sudah lama membuat kebijakan politik untuk mempersiapkan masyarakat hidup misalnya, masyarakat di Cologne yang terkenal dengan living with flood. Di Jepang orang sudah mempersiapkan diri apa yang harus dilakukan jika sewaktu-waktu terjadi gempa bumi. Dengan perangkat tanggap darurat yang cepat sehingga tidak banyak jatuh korban.

Di negeri ini, banyak korban jatuh saat terjadi bencana, lebih banyak karena tidak adanya pertolongan yang cepat dan segera. Pada sisi lain, banyak korban jatuh karena bencana ikutannya.

Nah pada akhirnya tulisan ini harus diakhiri dengan apresiasi apa yang dilakukan negeri ini, bahwa sebagai masyarakat yang religius itu melakukan dzikir itu suatu keharusan। Yang jadi soal justru, jika hanya semata-mata berdzikir dan melupakan langkah-langkah strategis untuk mengurangi resiko bencana dan memperkuat kerentanan masyarakat. Sebab masalah kerentanan masyarakat terhadap ancaman bahaya, oleh karena posisi negeri ini yang terletak di antara lempengan itu memang selalu potensial terjadi ancaman bencana.
Ellyasa KH Darwis

Network