Aristokrasi Demokrasi

Opini Indonesia, Thn II.Edisi 058/9-15 Juli 2007

Proses transisi demokrasi yang tengah berjalan di negeri ini, sejak reformasi politik 1998 lalu, oleh beberapa kalangan ditengarai tengah menjurus kepada apa yang disebut sebagai aristokrasi demokrasi. Tengaranya tampak beberapa elit politik acapkali mengaitkan dirinya dengan silsilah leluhurnya. Proses sristokrasi ini, dilakukan oleh para elit politik untuk mendapatkan dukungan pemilih atas dasar silsilah atau darah biru yang mengalir dalam dirinya.

Sinyalemen itu muncul dalam Bedah Buku Bangsawan dan Kuasa: Kembalinya Para Ningrat di Dua Kota, karya AAGN Ari Dwipayana SIP MSI Di Yogyakarta beberapa hari yang lalu. Secara pragmatis, memang harus diakui, dengan mengaitkan darah birunya elit politik akan mendapat legitimasi kultural sehingga masyarakat pemilih yang sebagian besar masih feodal, akan mendukungnya.

Fenoma ini tentu saja tidak hanya terjadi pada elit politik nasional. Setiap pemilihan bupati/walikota, gubernur, atau bahkan pemilihan kepala desa, asal usul darah biru selalu menjadi legitimasi untuk mempengaruhi pemilih. Jangankan di negeri ini, dalam kadar serta intensitas tertentu, di negara maju sekalipun seperti di AS soal darah biru masih menjadi perhatian meski tidak menjadi basis legitimasi seperti di negeri ini. Klan-klan politik memang sudah menjadi tradisi dan hampir-hampir menjadi kesadaran publik.

Jika kecenderungan ini terus berkembang, memang sangat membahayakan dalam upaya mewujudkan demokrasi yang liberatif di negeri ini. Feodalisme yang dipupuk terus dan hidup-hidupkan oleh elit politik, meneguhkan feodalisme politik di negeri ini. Langkah elit politik seperti itu juga bisa diartikan sebagai upaya untuk mempertegas dirinya secara trah sebagai individu yang unggul dan oleh karena itu menjadi wajar dan sah jika dirinya tampil sebagai pemimpin.

Dalam konteks politik Jawa misalnya, seseorang yang akan memimpin harus mendapatkan ndaru/pulung mendapat legitimasi dari langit. Seseorang yang mendapat pulung/ndaru merupakan mahluk istimewa yang tentu saja dengan sendirinya direstui oleh penguasa langit untuk tampil menjadi pemimpin negeri.
****

Pertanyaannya kemudian, mengapa para elit politik negeri ini cenderung memanfaatkan trah untuk mendapatkan legitimasi atau memperteguh posisi politiknya di hadapan rakyat? Terhadap pertanyaan ini, sekurang-kurangnya terdapat beberapa penjelasan yang satu sama lain saling terkait.

Pertama, menyangkut kosmologi politik masyarakat. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih berada di desa dan sangat kental dengan kesadaran kosmologis seperti itu. Darah biru, asal usul, harus diakui memang masing menjadi alasan dan pertimbangan dalam menentukan sah atau tidaknya seseorang untuk menjadi pemimpin. Pada PILPRES yang lalu, sangat jelas bahwa elit politik selalu mengaitkan hubungan darah yang dimilikinya. Taufik Kiemas perlu membuat silsilah yang menghubungkan dirinya dengan penguasa adat Minang. Tim kampanye Amien Rais dikaitkan dengan silsilah Prabu Brawijaya dari Majapahit, dan Megawati dengan penguasa Bali melalui neneknya. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Akbar Tandjung, dan Wiranto menerima anugerah gelar pangeran dari Keraton Surakarta.

Kedua, kecenderungan itu juga dipersubur dengan penafsiran kebijakan otonomi daerah yang dimanfaatkan untuk kembali membangkitkan tradisi dan jargon-jargon budaya keraton lokal yang feodalistis.

Ketiga, pada tataran politik demokrasi yang berjalan masih sangat prosedural yang tentu saja secara substansi masih jauh. Demokrasi yang prosedural seperti ini, di mana hanya elit-elit saja yang memiliki kesempatan untuk tampil di panggung politik, tentu dengan segala modal sosial yang dimilikinya menutup peluang orang yang tidak punya trah. Sebab ia bukan siapa-siapa dalam konteks politik.
******

Sejauh yang terjadi selama ini, memang apa yang terjadi pada budaya politik yang dikembangkan para elit memang masih jauh dari diskursus demokrasi yang liberatif. Kontestasi politik lebih ditentukan oleh darah biru, hubungan kedekatan, atau patronase politik yang dirintis. Kontestasi politik tidak ditentukan oleh adanya kualitas perdebatan, dan rasionalitas politik. Kondisi seperti ini memang tidak memberi ruang kepada masyarakat awam yang berbekal knowledge-based society dan yang lebih menentukan economic-based society. Kekuatan kapital sangat menentukan untuk dapat tampil dalam kancah politik di negeri ini.

Oleh karena itu menjadi sangat wajar jika demokrasi yang terjadi di negeri ini tanpa mencerminkan formulasi tiga hal. Yaitu konstituensi, integritas dan kompetensi. Demokrasi yang aritokrasi seringkali menafikan unsur kompetensi dan integritas politik. Salah satu wujud nyata dari aristokrasi politik adalah issue politik sangat ditentukan oleh elit, jadi elit membawa isu tertentu.

Akhirnya, aristokrasi demokrasi yang dikembang dan dimanfaatklan para elit politik, membuat potensi kesadaran politik rakyat tidak tergali. Demokrasi kemudian tak ubahnya sebuah pajangan yang diambil dari sistem politik modern, tetapi aktor, budaya dan nilai-nilai yang dikembang masih berpangkal kepada budaya lama.

Ellyasa KH Darwis

Network