Suraji dan PILPRES 2009

Saya dan Suraji tak saling kenal. Saya ‘mengenal ‘Suraji lewat sebuah media on line saat musim kampanye lalu. Ia sedang jualan ES di GBK Senayang dan kemudian ditanya wartawan. Sikapnya tentang PILPRES 2009, menarik saya. Ucapannya yang juga dijadikan judul berita, “siapapun presidennya saya tetap penjual es”. Bagi saya, Suraji boleh jadi merupakan representasi dari masyarakat kecil kebanyakan yang tidak menaruh harapan apapun terhadap proses politik yang sedang berjalan pada tataran elit. Siapapun presidennya, tak akan merubah dirinya.

Jika benar bacaan saya tentang Suraji, maka diam-diam ada yang tidak beres dalam proses politik yang tengah terjadi di negeri ini. Pertama, sebagaimana ditunjukkan sikap Suraji, tampak jelas bahwa selama proses kampanye para capres dan cawapres telah gagal membangun komunikasi politik dengan masyarakat kecil. Tawaran dan gagasan program yang ditawarkan oleh masing-masing pasangan, tidak mampu menggerakan orang semacam Suraji untuk tumbuh dan berkembang optimismenya pada saat terjadinya proses perubahan politik di level elit. Jargon ‘suaramu menentukan nasib bangsa’ tak mampu menggerakan dirinya. Profesi sebagai penjual es, di ibu kota pula yang sering menjadi sasaran penertiban trantib, tidak menjadi bagian dari proses politik.

Kedua, bisa jadi tawaran program yang masing-masing pasangan sangat abstrak tak mampu meresap dan menggerakan Suraji. Jika demikian persoalannya, jelas orang semacam Suraji memang tak tersentuh. Aspirasinya merasa tidak terwakilili, dengan demikian maka ia tidak merasa menjadi bagian dari proses politik Pemilihan Presiden. Bagi orang semacam Suraji, atau kalangan masyarakat kecil kebabanyak, tentu tidak membutuhkan dan tidak mau tahu soal visi misi, tak mau peduli soal strategi pembangunan, dan lain sebagainya. Baginya adalah yang penting ‘saya akan mendapatkan apa jika salah satu dari tiga pasangan itu yang terpilih”. Sayang, lagi-lagi harus disayangkan, pasangan Capres yang ikut kontestasi politik tampaknya tak pernah mendapatkan perhatian dan sentuhan.

Ketiga, narasi politik tampaknya tetap merupakan narasi elit. Persoalan akses kalangan terdekat di seputar masing-masing pasangan. Merekalah yang akan naik naun atau turun daun, sejalan dengan proses politik yang terjadi. Dengan demikian, sikap Suraji bisa dimaknai sebagai perlawanan, tak hirau dengan persoalan elit. Suatu sikap yang mungkin layak dibilang sebagai ‘saminisme’ politik. Bahasa lain mungkin sebagai apatisme politik. Sikap yang tentu saja tidak tumbuh dan berkembang dengan sendiri, tetapi sebagai refleksi pengalaman diri yang selama ini dikecewakan atau diabaikan aspirasi-aspirasi politiknya.


****
Kalangan ekonomi bawah, atau dalam bahasa yang lebih ideologis wong cilik,, kaum mustadafin. Dalam terminology yang lebih heroic dan sering digunakan rakyat. Memang sering menjadi jargon yang enak didengar dan siapapun pasti akan tergerak jika disentuh dengan sentiment ini. Rakyat merupakan jargon yang ideologis dan memang demikian seharusnya. Siapapun yang memimpin negeri, tak boleh melupakan rakyat. Sebab suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei), do’a rakyat akan cepat diterima dibandingkan doa penguasa. Rakyat pula (yang miskin dan tertindas) akan lebih dahulu masuk syurga dibandingkan dengan orang kaya dan penguasa. Demikian juga politik, tujuan politik yang paling mulia adalah tak lain untuk mensejahterakan rakyat tanpa kecuali. Sila Kelima dalam Pancasila kita pun sangat indah dan luhur: “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.”

Dalam wacana dan praksis politik pun kata rakyat, wong cilik, kaum mustadafin sangat kental. Wajar jika para politisi, dari berbagai level, sangat membutuhkan dukungan rakyat. Kita pun menyaksikan, selama musim kampanye Pilpres 2009, setiap pasangan hampir berlomba-lomba merubut simpati rakyat dengan program-program jargon yang sangat memikat hati. Layaknya ratu adil saja, semua masalah seolah-olah akan bisa dituntaskan dengan cepat dan segera apabila terpilih menjadi orang nomor satu di negeri ini.

Memukau memang. Lebih-lebih hampir setiap hari di mesia elektronik pikiran dijejali dengan iklan-iklan pencitraan, kesadaran kita sebagai rakyat sedang dicuci. Dijejali informasi yang sama memukai secara terus menerus tiada henti. Empati masyarakat terus disentuh dari sudut yang paling dalam secara lembut, empatinya digedor-gedor dan hasratnya untuk memilih terus dibarakan. Jaminan akan aman kehidupannya, juga terus disosialisasi.

“Siapapun presidennya saya tetap jualan es” seperti yang dikatakan Suraji merupakan jawaban dan sekaligus gambaran dari model komunikasi politik yang dikembangkan elit yang tidak nyambung dengan masyarakat kaum bawah. Elit politik mewacanakan narasi politiknya sendiri, sementara masyarakat juga asyik dengan narasi politiknya sendiri. Salah satu narasi politiknya, bisa jadi diekspresikan dengan cara tidak memberikan suara. Angka Golput, setelah Pemilu 1999 indikasinya terus meningkat dari Pemilu ke Pemilu. Pada PILPRES 2009 ini, tampaknya juga demikian, belum ada angka pasti memang. Akan tetapi mencermati beberapa TPS yang sepi, menggambarkan antusiasme masyarakat terhadap politik menurun tajam.

****
PILPRES 2009 dipastikan usai dengan satu putaran. Akan tetapi menurut saya ada ‘PR’ besar yang harus segera dituntaskan terkait sikap masyarakat. Ucapan Suraji harus direnungkan dalam-dalam. Ungkapan itu menggambarkan bahwa di kalangan masyarakat kecil, rakyat, kaum mustadafin sedang tumbuh dan berkembang bahwa politik dipersepsi sebagai sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan diri sendiri sebagai rakyat. Politik tidak memiliki kaitan dengan nasib dan kehidupan masa depan yang lebih baik.

Bisa jadi sikap Suraji itu mewakili pandangan yang paling banal dalam politik. Politik itu persoalan siapa mendapatkan apa. Bisa jadi, pengalaman selama ini menunjukkan bahwa yang mendapatkan apa-apa itu hanya lingkaran elit belaka, sementara rakyat seperti dirinya hanya diambil legitimasinya belaka. Suaranya diberikan saat Pemilu, setelah itu dilupakan sama sekali aspirasi politiknya.

Sebagai pihak yang tidak punya interest langsung terhadap siapapun yang jadi dalam PILPRES 2009 ini, kecuali kepentingan yang lebih substansial, pasangan SBY-Budiono memiliki tugas yang berat dan tidak mudah. Pertama-tama, mengembalikan apatisme politik masyarakat yang mulai meningkat sebagai implikasi dari menumpuknya kekecewaan politik terhadap elit politik selama ini. Kedua, saya kira pasangan SBY-Budiono harus meningkatkan sense of urgency-nya yang selama ini dianggap sebagai titik lemah dalam kepempimpinannya. Hal-hal yang menyangkut nasib orang kecil harus segera diselesaikan secara cepat dan integratif. Ketiga, kesan tebang pilih dalam memberantas KKN harus dihilangkan. Elit politik atau pejabat public yang terindikasi KKN harus diselesaikan secara serius. Ketidakpercayaan politik masyarakat, berdasarkan survey Transparansi Internasional Indonesia, selama ini karena persepsi masyaraklat terhadap lembaga politik masih tinggi. Wajar kemudian apabila membuat modal sosial demokrasi masyarakat menjadi rendah. Saya kira di tangan anda, SBY-Budioyono, yang terpilih secara mutlak dalam satu putaran untuk membuat orang semacam Suraji (dan kawan-kawanya) untuk tumbuh dan berkembang harapan politiknya. Tugas yang tak mudah memang tetapi saya nyakin pasti bisa. Lanjutkan,., [*]

2 komentar:

Anonymous said...

membaca seluruh blog, cukup bagus

jack said...

maju trus om......

Network