TNI Jangan Set Back


Oleh Ellyasa KH Darwis (Opindo, edisi 22, 25 September-1 Oktober 2006)

ADALAH Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi pengarahan dan pembekalan kepada sekitar seribu perwira tinggi dan perwira menengah Tentara Nasional Indonesia di Markas Besar TNI Cilangkap, Jakarta, Rabu 20/9 kemarin. Terkait dengan politik, Presiden minta anggota TNI berhenti bermain politik praktis yang menjadi roh reformasi. Secara tegas ia meminta TNI untuk meneruskan, mensukseskan reformasi dan jangan mundur. Sebab demokrasi harus tetap mekar. Oleh karena itu, TNI harus berhenti bermain politik praktis, menghormati hukum dan hak asasi manusia.

Tentu, ini bukan hal yang baru, sebelumnya pokok-pokok pikiran itu pernah disampaikan pada hari ulang tahun TNI. Kala itu, SBY 5 memerintahkan agar TNI melanjutkan reformasi dan menghormati demokrasi. Perintah ini disampaikan karena Presiden melihat masih adanya godaan kepada pimpinan TNI untuk berpolitik. Dengan tegas Presiden menggarisbawahi agar TNI jangan; mundur, tergoda, set back dan terus ke depan dengan bekal pelajaran dari masa lalu.

Stamemen SBY itu sangat penting mengingat publik selama ini masih menunggu arah dari perjalanan reformasi TNI secara hati-hati. Salah satu kekuatiran yang kental adalah, belum rampungnya reformasi internal di tubuh militer akan membuat sifat-sifat kekuasaan militer yang otoritatif dan mendominasi ranah sipil kembali hadir dalam kehidupan sekarang ini.
****

HARUS diakui, langkah penghapusan dwifungsi ABRI seiring reformasi yang ditempuh TNI sejak tahun 1999 sejauh ini memang telah mengantar TNI menjadi sosok yang lebih ramah di mata publik. Tentu citra ini berkebalikan dengan era sebelumnya, dimana kedekatan TNI dengan rezim otoritarian Orde Baru yang represif dan condong berpihak kepada penguasa kian. Citra itu kini memudar setelah serangkaian pembenahan internal dilakukan.

Secara sistematis, langkah-langkah strategis telah dilakukan TNI untuk menjauh dari dunia politik praktis.. Pertama-tama, di tingkat institusional, kebijakan itu dimulai dengan langkah penghapusan perwakilan anggota TNI di DPR hasil Pemilu 2004. Lalu, penutupan secara bertahap komando-komando teritorial di berbagai wilayah serta pembenahan bisnis yang dijalankan atau terkait institusi militer melengkapi langkah reformasi kelembagaan.

Kemudian, secara bersamaan pada tingkat kewilayahan, perlahan-lahan peranan militer dalam kiprah sosial masyarakat berkurang jauh. Peranan komando rayon militer (koramil) dalam menjalankan pengawasan dan perizinan terhadap masyarakat tak lagi dilakukan. Menyurutnya berbagai peran militer dalam kehidupan sosial itu membangkitkan kepercayaan masyarakat terhadap niat baik TNI mengevaluasi diri.

Langkah sistematis itu, jelas secara pelan-pelan membuat citra TNI membaik di mata masyarakat. Meskipun sebelumnya, terdapat tudingan-tudingan keterlibatan anggota TNI dalam berbagai kerusuhan di Poso, Ambon, Papua, dan pelanggaran HAM berat di Timor Timur. Citra negatif itu pelan-pelan hilang sejalan dengan terjadinya perubahan kebijakan TNI yang tak lagi terlibat di kancah politik praktis, dan pada sisi lain, ditunjang juga dengan membaiknya situasi politik nasional.

Meskipun demikian, diam-diam masih berkembang kekhawatiran terhadap kembalinya peranan TNI yang akhir- akhir ini kian masif dalam ranah ”sipil”, yakni di luar urusan pertahanan negara. Kekhatiran itu tetap ada di alam bawah sadar masyarakat, dan dalam kadar serta intensitas tertentu, kekhawatiran itu bahkan relatif agak meluas, termasuk kepada orang yang semata berlatar belakang militer (bukan militer aktif).
***

MESKIPUN demikian, harus diakui bahwa arah pergerakan reformasi Tentara Nasional Indonesia saat ini sudah berjalan dan TNI sendiri melalui para petingginya juga dinilai lebih terbuka terhadap berbagai masukan, baik dari lembaga swadaya masyarakat maupun pengamat, terkait perbaikan di masa datang. Meskipun demikian, sebagian pengamat politik mengatakan bahwa dalam kondisi baik itu masih ada sejumlah problem. Masih ada sebagian kalangan militer dan sipil yang bersikap konservatif dan menganggap keterlibatan militer berpolitik praktis adalah hak yang sudah diperoleh dari lahir dari institusi militer.

Meminjam terminologi Samuel P Huntington, tampaknya SBY ingin menegaskan kembali apa yang disebut sebagai kontrol obyektif sipil atas militer (objective civilian control). Ini agaknya arah yang dituju oleh reformasi internal TNIsebagaimana yang diamanatkan dalam UU TNI. Situasi eksternal yang berkembang, memang tidak memungkinkan lagi TNI berpolitik praktis. Masalah krucial sekarang adalah penggunaan hak politik (hak pilih) para anggota TNI untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum. Hak itu didasari legitimasi bahwa semua komponen bangsa, baik sipil maupun militer, memilikinya tanpa diskriminasi.

Tentu saja bila hak tersebut digunakan, ada risiko khusus terjadinya konflik politik militer karena aspirasi politik berbeda. Risiko ini ditanggung Panglima TNI, artinya ia harus mampu menjaga netralitas dan stabilitas internal TNI. Kalangan TNI tidak boleh terpancing dengan tawaran-tawaran politik yang langsung atau tidak langsung muncul dari partai-partai politik yang tengah berlaga di kompetisi politik nasional dan lokal.

Yang juga perlu dibenahi, selain menata mentalitas (agar tidak militeristik), juga cara berpikir kalangan TNI. Sudah bukan zamannya TNI berpikir lebih super ketimbang (politisi) sipil, seperti kerap dilegitimasikan pejabat militer Orde Baru. Kalangan TNI perlu memahami dan tidak usah terpancing dinamika politik sipil dan pemerintahan.

0 komentar:

Network