DKP & Dana Asing Dalam Pilpres 2004

Opini Indonesia, Th. II, ed. 052, 28 Mei-3 Juni 2007

Pilpres 2004, menyisakan teka-teki yang terus menggelinding layaknya bola salju. Kian hari kian besar dan kian menjadi issue hangat dalam wacana dan praktek politik di negeri ini belakangan ini. Ditengarai tim sukses capres-cawapres dalam Pilpres 2004 lalu menerima aliran dana dari DKP dan dari pihak asing.

Tengara pertama, meluncur dari pengakuan mantan menteri kelautan dan Perikanan. Mantan menteri yang tengah menjadi pesakitan itu menegaskan bahwa kucuran dana nonbujeter DKP yang dialirkan ke sejumlah parpol dan tim sukses para calon presiden (dalam Pemilu 2004) itu selalu didahului proposal. Dana nonbujeter DKP mengalir mengalir ke tim sukses Capres dan Cawapres. Tim Sukses Amin-Siswono, menerima sebesar Rp 225 juta. Mega Centre sebagai bagian tim sukses Megawati memperoleh aliran dana Rp 300 juta. Tim sukses pasangan calon terpilih SBY-JK juga mendapatkan aliran dana Rp 225 juta. Tak hanya itu, ICW mencatat Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang selama ini getol mempromosikan diri sebagai partai yang bersih itu juga mendapatkan dana Rp 300 juta.


Tak lama kemudian berkembang rumor adanya sumbangan pihak asing dalam PILPRES 2004 lalu. Dana itu ditengarai mengalir ke beberapa tim Capres dan Cawapres peserta Pemilihan Presiden pada tahun 2004. M. Amin Rais sendiri mengakui kalau dirinya ditawari dana dari sebuah foundation asing saat menjadi Capres itu. Selama ini memang di warung kopi politik beredar secara bisik-bisik akan adanya bantuan pihak asing yang masuk rekening Capres dan Cawapres pada Pilpres 2004 lalu. Sejuah ini memang tidak jelas siapa yang dimaksud sebagai pihak yang menerima sumbangan asing dalam Pilpres 2004 lalu. Pengakuan Amin Rasis, mengkonfirmasi sinyalemen yang selama ini berkembang di masyarakat luas.

Sejauh ini, terhadap sinyalemen aliran dana pihak asing itu, semua capres dan cawapres kompak membuat bantahan. Semua Capres dan Cawapres melalui orang-orangnya secara kompak dan padu saling bersahutan mengatakan bahwa pihaknya masing-masing tidak menerima aliran dana bantuan dari pihak asing.

****
Dalam wacana dan praktek politik di negeri ini, oleh banyak kalangan baik para pengamat, indonesianist, maupun para aktivis politik sudah lama berkembang semacam adagium politik. Dalam mengkaji apa yang terjadi dalam kancah politik maka bukan kata-kata itu yang harus dipahami secara mentah-mentah. Kata “tidak” sering berarti “iya”. Jadi yang harus dibaca adalah pesan sebaliknya dari apa yang muncul di permukaan.

Bahasa politik memang kadang-kadang harus dipahami bukan secara leksikal, tetapi harus ditelusur dibalik makna itu sendiri. Komunikasi politik di negeri ini memang tidak bisa dibaca secara mata telanjang, tetapi realitas seringkali dibungkus sedemikian rupa sehingga menyembunyikan fakta yang terjadi. Jadi fakta dikemas sedemikian rupa sehingga apa yang sesungguhnya terjadi seolah-olah tidak terjadi. Kita ingat jaman dulu, pejabat Negara mengatakan tidak aka ada kenaikan BBM, tetapi tak selang berapa lama terjadi kenaikan BBM. Contoh lain adalah yang minggu-minggu ini terjadi, pemerintah dengan tegas mengatakan persediaan minyak goring cukup tetapi faktanya di pasar barang itu langka dan harganya melambung.

Kita jadi ingat pepatah lama, bahasa menunjukkan bangsa. Adakah wacana politik yang berkembang belakangan ini menunjukkan jati diri kita sebagai bangsa? Tentu tidak, sebab itu hanya terjadi di kalangan politisi saja. Hanya saja memang secara umum, sebagaimana dikatakan Wilhelm von Humboldt (1767-1835), bahasa suatu bangsa merupakan jiwa bangsa itu sendiri dan jiwa mereka adalah bahasa mereka. Bahasa merupakan bagian yang tak terpisahkan dari segala aspek kehidupan sosial manusia. Sebagai arena pertarungan politik, bahasa merupakan tempat bertemunya berbagai kepentingan kelompok manusia yang saling tarik menarik, saling mendominasi, hegemoni atau hegemoni tandingan, menguasai atau melawan oleh satu kelompok terhadap kelompok lain.

Nah, dalam konteks aliran dana DKP dan sinyalemen adanya aliran dana asing dalam Pilpres 2004, yang terjadi tentu saja adalah satu pertarungan antar berbagai faksi-faksi yang terjadi di elit atas. Tidak heran kemudian, apabila masing-masing saling membuat bantahan dan apologi sebagaimana dalam kasus dana DKP dan sinyalemen adanya aliran dana asing.

****

Lepas dari persoalan di atas, satu yang jelas-jelas telah menjadi agenda hukum adalah bagaimana menyelesaikan secara hukum sesuai ketentuan yang berlaku soal aliran dana DKP pada satu sisi, dan investigasi sinyalemen adanya aliran dana asing dalam Pilpres 2004 lalu. Jika benar aliran dana DKP itu, maka jelas merupakan pelanggaran aturan yang serius. Sebab, menurut pasal 28 UU 31 Tahun 2002, bantuan Rp 300 juta untuk parpol itu sudah melampaui batas aturan yang ditentukan dalam pendanaan partai politik.

Tetapi kayaknya semua bisa ditebak ujungnya. Belum-belum Ketua DPR RI, Agung Laksono sudah wanti-wanti agar kita tidak usah menyibukkan diri melacak adanya aliran dana asing dalam Pilpres 2004. Alasannya sebagai bangsa kita harus menatap ke depan dan jangan berorientasi kepada masa lalu dengan membongkar masalah yang jika benar sudah terjadi. Demikian halnya denngan soal aliran dana DKP. Jauh-jauh hari elit politik partai terkemuka mengatakan bahwa pengusutan kasus itu lebih kental aroma politiknya.

Jadi memang kita kadang bisa dibikin bingung. Bahasa politik seringkali harus dibungkus rapi dan multitafsir, tetapi kadang-kadang dikemukakan sangat vulgar tanpa basa-basi. Tetapi kadang-kadang dibungkus halus dan sangat sopan.

Tetapi yang jelas-jelas tidak dimengerti adalah sinyalemen yang harus melupakan apa yang telah terjadi pada masa lalu, dan diminta untuk menatap ke depan. Tampaknya kita sedang diminta untuk memiliki memory yang pendek, sehingga agar melupakan masa lalu dan menatap ke depan. Jelas sinyalemen seperti itu bukan wacana politik lagi, adakah ini pertanda bahwa masalah sinyalemen adanya aliran dana asing hanya akan dilupakan?

Ellyasa KH Darwis

0 komentar:

Network