'Dewi Keadilan' dan Korupsi

Opini Indonesia, Th. II, ed. 053, 4-10 Juni2007
Pepatah Latin kuno, “nec curia deficeret in justitia exhibenda” (pengadilan adalah istana di mana Dewi Keadilan bersemayam untuk menyemburkan aroma keadilan tiada henti). Tampaknya tinggal pepatah. Lembaga peradilan tak lagi tempat bersemayam Dewi Keadilan. Korupsi di lembaga peradilan biangnya

Adalah Todung Mulya Lubis, Ketua Dewan Pengurus Transparansi Internasional Indonesia (TII), yang mengatakan bahwa berbagai kasus suap yang terjadi di lembaga peradilan Indonesia 100 persen dimulai dari permintaan lembaga itu sendiri. Jadi, lembaga peradilan itu sendiri ‘proactive’ atau beriniasitif untuk meminta untuk ‘mengamankan ‘ jalan bagi orang yang sedang mengalami masalah hukum. Pertanyaannya kemudian mengapa hal itu terjadi? Salah satunya, adalah karena adanya campur tangan politik lembaga eksekutif maupun legislatif.
.


Sinyalemen itu, tentu saja sejalan dengan laporan yang dikeluarkan Global Corruption belum lama ini. Ada ada 32 negara, tentu termasuk di dalamnya Indonesia, yang sebagian besar hakimnya terlibat korupsi. Polanya dan kepentingannya sangat jelas, suap yang diberikan itu untuk tujuan yang sangat jelas, mempercepat atau memperlambat proses peradilan. Bukan hanya itu, suap itu juga dilakukan untuk menerima atau menolak permintaan banding serta mempengaruhi rekan sesama hakim. Tentu di sini, memang tidak semata-mata masalah intervensi politik, tetapi hal itu juga terjadi karena mentalitas para penegak hukum itu sendiri.

Jelas dalam konteks penegakkan hukum, di sini para penegak hokum memiliki otoritas dan juga kekuasaan untuk menentukan diteruskan atau tidaknya proses peradilan. Di sinilah, posisi pentingnya, yang seringkali disalah gunakan untuk kepentingan sesaat baik karena tekanan politik atau karena kepentingan pragmatis yang bersifat material.

Data hasil penelitian tahun 2006, yang dilansir Global Corruption, secara eksplisit menemukan kasus korupsi di sejumlah badan negara. Seperti dalam tubuh Polri yang mengalami tingkat korupsi sebesar 78 persen, badan perpajakan sebesar 76 persen, Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebesar 84 persen, pihak keimigrasian sebesar 90 persen dan bea cukai sebesar 95 persen.


*****
Belum Lama ini Transparansi International yang berbasis di Berlin, merilis temuannya dan dalam laporan itu menyebutkan bahka tingkat korupsi di lembaga peradilan Indonesia masuk kategori paling tinggi di dunia. Indonesia dalam tingkat korupsi di Lembaga Peradilan sejajar dengan yang terjadi di Albania, Yunani, Meksiko, Moldova, Maroko,Peru,Taiwan, dan Venezuela.

Di Negara-negara yang lembaga peradilannya tinggi tingkat korupsinya, sedikitnya tiga dari sepuluh warga negaranya dilaporkan menyuap untuk mendapat keadilan atau hasil yang ‘adil’ dalam pengadilan. Dari temuan ini menunjukkan bahwa sistem peradilan di Indonesia masih sangat korup dan bobrok. Banyak pencari keadilan di daerah punya pengalaman buruk mengenai perilaku hakim di daerah yang meminta suap.

Fakta itu menunjukkan bahwa upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintah selama ini belum membawa perubahan siginifikan. Kasus korupsi di banyak intansi pemerintah masih saja terjadi selama dua tahun terakhir ini, tak terkecuali lembaga peradilan yang diharapkan menjadi pilar penting dalam penegakan hukum perkara korupsi. Lembaga peradilan di Indonesia bahkan masih menempati posisi yang tertinggi sebagai institusi yang korup.

Untuk itu, menjadi penting bagi pemerintah dalam rangka menegakkan lembaga peradilan. Harus secepatnya diambil langkah-langkah strategis untuk memotong dan menjamin tidak terjadinya kasus suap menyuap dilingkungan lembaga peradilan di negeri ini. Secara pelan dan pasti, korupsi menggerotogi sendi-sendi sistem yudisial. Pada saat yang sama, konsep keadilan bagi semua tertutup karena rakyat kebanyakan tidak lagi memiliki akses dan bila berperkara bias dikalahkan dengan kekuatan uang.

*****
Sudah lama berkembang pepatah di kalangan masyarakat yang mengatakan ada uang maka beres perkara. Sudah lama juga berkembang pendapat umum bagi kalangan yang punya uang dan sedang punya perkara, tutup dulu sebelum masalah berkembang lebih jauh. Sudah lama juga berkembang pendapat jangan membuat perkara kalau tidak punya uang.

Ungkapan itu, tentu bukan suatu yang berkembang tanpa dasar. Tetapi juga sangat jelas dari ungkapan itu, bahwa sesungguhnya telah terjadi proses peminggiran yang luar biasa keadilan bagi yang tidak bersalah. Korupsi telah meminggirkan konsep keadilan untuk semua sebab lembaga itu , sebagaimana tampak dalam temuan survey, justru lebih banyak memihak yang memiliki uang. Parahnya lagi, kekuatan politik baik eksekutive maupun legislative sering melakukan intervensi. Jadi memang peradilan hanya menjadi unjuk kekuatan kalangan yang punya akses semata.

Tentu kita masih bermimpin pengadilan adalah istana di mana Dewi Keadilan bersemayam untuk menyemburkan aroma keadilan tiada henti. Untuk itu memang harus dilakukan secara serius upaya pencegahan agar korupsi dan intervensi politik tidak bias masuk ke lembaga peradilan di berbagai level.

Menjadi tugas pemerintah untuk memastikan agar law enforcement bisa ditegakkan dari titik yang paling awal, yaitu dari lembaga peradilan itu sendiri. Penegak hukum agar konsisten tidak melakukan penyalahgunaan jabatan. Penegak hukum dari oknum polisi, jaksa dan hakim, agar bisa bertindak sebagai bagian dari Dewi Keadilan. Dengan istananya yang megah, anggun dan mampu menjadi penyayom dan penegak keadilan bagi masyakat yang lemah dan tidak punya uang.

Ellyasa KH Darwis







Network