Pengadaan Barang Jasa, Lahan Korupsi?

Oleh Ellyasa KH Darwis, Opindo, edisi 18, 28 agustus- 3 September 2006

ADALAH Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiqurahman Ruki, dalam Seminar Nasional bertajuk "Upaya Perbaikan Sistem Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah" yang diadakan KPK dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Jakarta, beberapa hari yang lalu mengatakan selama tahun 2005, 24 dari 33 kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan tindak pidana korupsi yang berhubungan dengan pengadaan barang/jasa pemerintah, sehingga sistem pengadaan barang harus dibenahi melalui cara yang lebih transparan.

Salah kecenderungan yang terjadi adalah selama ini penunjukan panitia pengadaan dan pimpinan proyek tidak dilakukan atas pertimbangan profesionalisme dan integritas, tetapi lebih mendasarkan pada kedekatan-kedekatan tertentu antara pimpinan proyek dengan panitia pengadaan. Dengan kata lain, pengadaan barang sarat dengan persekongkolan atau kolusi dan nepotisme. Akibatnya, terjadi pembengkakan biaya yang signifikan bagi negara.

Oleh karena itu, ketua KPK itu kemudian menegaskan bahwa perbaikan sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah mendesak untuk diperbaiki. Bentuk tindak korupsi yang ditemukan KPK dalam pengadaan barang/jasa pemerintah meliputi penggelembungan harga, perbuatan curang, penyuapan, penggelapan, pengadaan fiktif, pemberian komisi, penyalahgunaan wewenang, nepotisme, dan pemalsuan.

Kajian Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia tahun 2001 misalnya, menemukan indikasi kebocoran dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah Indonesia mencapai 10 hingga 50 persen, jumlah yang tergolong besar tentunya.

****


BELUM lama ini, Country Director Bank Dunia untuk Indonesia, Andrew Steer mengatakan Bank Dunia membatalkan penyaluran dana proyek dan meminta Indonesia mengembalikan pinjaman karena diduga terjadi korupsi di sejumlah proyek itu. Dalam suratnya kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tertanggal 27 Juni 2006, Bank Dunia meminta Indonesia mengembalikan dana pinjaman sebesar 4,7 juta dolar AS (Rp42,3 miliar).

Proyek yang dimaksud adalah Proyek Transportasi Wilayah Indonesia Timur (EIRTP) senilai 3,6 juta dolar AS dan hibah persiapan Proyek Infrastruktur Jalan Strategis (SRIP) senilai 1,1 juta dolar AS dari pemerintah Jepang. Terjadi korupsi pada proyek ini, yaitu kontrak dalam EIRTP dan satu kontrak dalam SRIP. Temuan yang dilansir Bank Dunia itu adalah adanya praktek penyuapan oleh perusahaan konsultan kepada pejabat Departemen Pekerjaan Umum dengan nila pemberian dana mencapai 356,7 ribu dolar AS (sekitar Rp3,2 miliar). “Kami telah menemukan bukti yang mendukung tuduhan atas penyuapan dan sejumlah pembayaran ilegal dari tiga kontrak proyek pemerintah di bawah kontraktor utama WSP International melalui Departemen Pekerjaan Umum,” demikian bunyi surat Bank Dunia kepada pemerintah. Bank Dunia pantas geram, dua dari ketiga kontrak itu didanai oleh kesepakatan pinjaman EIRTP. Sedangkan lainnya, didanai oleh kesepakatan hibah Policy & Human Resources Development (PHRD) dan fasilitas PPA.

Sikap Bank Dunia tegas memang membuat banyak pihak terkesima. Bagaimana tidak, ketiga proyek yang sudah dilaksanakan WSP, dengan total nilai kontrak puluhan miliar rupiah itu, dinyatakan tidak layak untuk menerima dana hibah maupun pinjaman.

Tak urung, pemerintah pun dibuat kalang kabut. Menkeu Sri Mulyani meminta segera dilakukan investigasi terhadap sejumlah proyek itu dengan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan Departemen Pekerjaan Umum untuk memproses hal itu, baik secara administratif maupun hukum. Untuk menyelidiki kebenaran temuan Bank Dunia itu.

Wapres M Jusuf Kalla, terang-terangan menolak jika pemerintah harus bertanggungjawab seraya menegaskan bahwa yang seharusnya bertanggung jawab atas dana bantuan Bank Dunia adalah perusahaan kontraktor dari Inggris. Sebab, perusahaan kontraktor Inggeris itu, yang memberikan kick back atau uang terimakasih kepada oknum aparat. Alasannya, proses tender yang dilakukan pemerintah, sudah benar-benar transpran dan sesuai dengan ketentuan. Dilakukan secara terbuka dan oleh karena itu, maka pemerintah tidak salah.

Sementara KPK meminta Bank Dunia menunggu hasil penyelidikan KPK. Alasannya, jangan sampai hanya ulah segelintir orang, keuangan negara dan rakyat yang harus menanggung akibatnya. Untuk itu, KPK membentuk tim penyelidik pada 11 Juli 2006, baru setelah itu Bank Dunia dipersilahkan untuk menjatuhkan sanksi.

****

ALMARHUM Soemitro Djojohadikusomo pernah mensinyalir bahwa kebocoran proyek-proyek yang didanai Bank Dunia di negeri ini, akibat korupsi, red tape bureaucracy, mencapai lebih 30 persen dan beberapa bantuan yang diberikan kerap salah arah.

Kalangan NGO di dalam negeri misalnya, sudah lama berteriak lantang soal terjadinya kebocoran anggaran yang didanai oleh Bank Dunia ini. Sampai-sampai, solusi yang diusulkan adalah penghapusan utang karena dana itu selama ini ditengarai dikorupsi. Dan selama ini, Bank Dunia terkesan acuh tak acuh bahkan tidak hirau sama sekali akan masalah ini. Bantuan terus saja dialirkan ke negeri ini sampai jumlahnya menggunung dan tentu rakyatlah yang harus menanggung beban tanggungannya.

Kembali ke soal indikasi korupsi tiga proyek di atas dengan sikap tegas dan keras Bank Dunia. Inilah pertama kali Bank Dunia memberikan sikap tegas dalam kasus kebocoran anggaran yang dibiayai di negeri ini.

Tidak main-main, ada dua ancaman yang dikemukakan dari masalah ini, pertama, Bank Dunia meminta pemerintah mengembalikan pinjaman EIRTP yang sudah dicairkan senilai 2.039.915 dolar AS, pinjaman PPA senilai 1.544.823 dolar AS, dan hibah PHRD senilai 1.124.594 dolar AS. Kedua, mengancam akan membatalkan sejumlah pinjaman yang belum dicairkan senilai 1.097.998 dolar AS dari pinjaman EIRTP dan 501.332 dolar AS dari fasilitas PPA.

Berkaca pada kasus ini, memang menjadi signifikan usulan ketua KPK agar pemerintah segera memperbaiki sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah agar lebih transparan, dengan demikian kasus-kasus korupsi ini tidak akan terulang lagi di masa yang akan datang.

0 komentar:

Network