Kekecewaan Beringin

Hubungan Partai Golkar dengan SBY selalu diwarnai ketegangan dan tarikan-tarikan kepentingan politik. Partai Golkar, yang menguasai kursi terbanyak di DPR kerap meminta kompensasi atas dukungan politiknya dalam mem back-up kebijakan-kebijakan Presiden SBY di DPR. Akan tetapi pada sisi lain, Partai Golkar acapkali tidak puas dan merasa kepentingan politiknya sering dirugikan oleh SBY. Ancaman akan menarik dukungan terhadap kabinet SBY pun, sudah menjadi langgam dan digunakan dalam setiap negosiasi politik. Sejauh yang terjadi selama ini, tekanan dan ancaman itu memang relatif berhasil untuk menegosiasikan kepentingan politiknya.

Tekanan politik Partai Golkar terhadap SBY kembali meninggi. Pemantiknya Keputusan Menteri Dalam Negeri Mardiyanto yang menetapkan Thaib Armaiyn-Abdul Gani Kasuba sebagai pemenang pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara. Keputusan Mendagri dinilai Partai Golkar melenceng dari aturan main. Kembali kartu truf dimainkan partai Golkar, dengan mewacanakan penarikan dukungannya terhadap SBY jika Mendagri bersikukuh tidak mau merevisi keputusannya. Wacana itu ditindak lanjuti pada tataran praksis politik dengan memboikot rapat kerja Komisi II DPR dengan Mendagri.

Hubungan SBY dengan Partai Golkar, memang tak selalu seiring jalan. Partai Golkar kerap memainkan pressure politik untuk menekan kebijakan-kebijakan politik SBY. Masih hangat dalam ingatan, saat pembahasan RUU Pemilu. Dalam beberapa pasal penting, Fraksi Partai Golkar (FPG) secara tegas menempatkan posisi yang berseberangan dengan keinginan pemerintah. Contoh lain yang bisa ditunjuk adalah, dalam pemilihan calon gubernur Bank Indonesia (BI) beberapa waktu lalu, FPG juga berada dalam kelompok kekuatan yang menolak calon usulan presiden.

Demikian juga pada saat pembentukan Unit Kerja Presi­den untuk Pengelolaan Program dan Reformasi (UKP3R) SBY. Golkar meradang sebab JK sebagai wakil presiden tidak diajak bicara. Konon rumor yang beredar kala itu, pembentukan UKP3R sebagai jawaban yang menyakitkan atas desakan Golkar agar SBY me-reshuffle kabinet seraya menambah jatah pos Golkar di kabinet.

****.

Apakah ini merupakan tengara akan berakhirnya perjodohan politik SBY-JK atau Partai Demokrat dengan Partai Golkar? Apakah ketegangan ini merupakan indikasi kelak SBY-JK akan tidak seiring jalan dalam politik, menjelang Pemilu 2009? Dengan demikian, Partai Golkar tidak terikat etika politik tertentu yang disepakati bersama dengan SBY?

Sebagian kalangan, mengatakan bahwa apa yang dilakukan Partai Golkar hanya sebatas manuver dan tekanan terhadap SBY belaka. Ancaman penarikan dukungan, tentu sudah merupakan lagu lama dan selalu digunakan untuk menegosiasikan kepentingan politiknya. Akan tetapi, sebagian kalangan mengatakan bahwa ketegangan yang terjadi belakangan adalah suatu yang sudah diduga sebelumnya. Koalisi Partai Golkar dengan SBY akan renggang dan akan mencapai puncaknya dan diprediksi menjadi titik awal dari ketegangan situasi politik dalam negeri, berkaitan dengan Pemilu dan Pilpres 2009.

Dengan demikian, Keputusan Mendagri Mardiyanto yang memenangkan Thaib Armayn-Gani Kasuba dalam Pilgub Maluku Utara hanyalah pemantik dan atau pemicu keretakan hubungan partai itu dengan pemerintah. Sejumlah elite partai beringin bahkan mengancam akan menarik dukungannya dari Kabinet Indonesia Bersatu. Keputusan Mendagri makin meretakkan hubungan Golkar dengan pemerintah, yang sebe­lumnya memang sudah renggang. Kerenggangan itu tercermin dalam beberapa pembahasan kebijakan pemerintah di parlemen, yang tak selalu mendapat dukungan penuh Golkar.

Sebaliknya, acapkali peme­rintah membuat kebijakan yang tidak populer, maka partai Golkar menjadi bumper. Partai Golkar selama ini menjalankan fungsi dan peran tak ubahnya pemadam kebakaran kebijakan pemerintah.Berkali-kali Partai Golkar mematahkan upaya-upaya politik di parlemen yang mempertanyakan kebijakan pemerintah di DPR. Akan tetapi, tampaknya, Golkar merasa tidak mendapatkan keuntungan politik yang sebanding dengan dukung­an yang diberikan. Banyak kebijakan politik yang strategis, khususnya yang menyangkut Pilkada, dianggap tidak menguntungkan Golkar. Sebut saja misalnya, masalah penyelesaian Gubernur Lampung yang meskipun secara hukum jagonya Partai Golkar yang menang, akan tetapi tidak bisa dieksekusi. Dalam Rapim Golkar setahun lalu, seluruh DPD Golkar mendesak agar SBY menyelesaikan kasus Lampung. Akan tetapi masalah itu tidak kunjung diselesaikan sampai berlarut-larut.

****

Hubungan Golkar dengan SBY, memang selalu diwarnai hubungan tarik ulur. SBY sering ditekan oleh Partai Golkar pada satu sisi. Pada sisi lain, SBY juga tidak selalu memenuhi tuntutan dan tekanan Partai Golkar. Derajat kepuasan Partai Golkar dalam Koalisi Kabinet Bersatu, memang tampaknya tidak terpenuhi. Banyak kepentingan-kepen­tingan strategis terkait dengan kader Golkar, tidak dipenuhi atau dipuaskan oleh SBY.

Pertanyaannya kemudian, apakah dengan demikian ketidakpuasan Partai Golkar terhadap SBY sudah mencapai ubun-ubun? Terlalu pagi untuk menjawabnya. Mungkin ada baiknya kita cermati perkembangan politik yang akan datang.

Kita memang harus jeli membacanya. Selama ini ancaman mencabut dukungan terhadap Kabinet SBY, sudah sering dilakukan. Ancaman itu menjadi bagian untuk menaikan daya tawar politiknya. Bagaimanapun juga masalah Maluku Utara belum dikeluarkan Keppres-nya. Pada titik ini, ancaman Partai Golkar menjadi mudah ditebak arahnya.. Fraksi Partai Golkar di DPR tidak lagi diharuskan mendukung pemerintahan SBY-JK. Membebaskan wakil-wakilnya untuk mendukung angket atau interpelasi. Jika wakil-wakil Partai Golkar dibiarkan bebas menyampaikan sikap politiknya, memang akan mempengaruhi peta persilatan politik di negeri ini. Konstelasi politik di DPR akan berubah dan sudah barang pasti, akan membuat suhu politik meningkat.

Partai Golkar tahu persis. Selama ini mereka memang berhasil dan efektif mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik SBY melalui wacana penarikan dukungan. Ketergantungan SBY terhadap Golkar di legislatif demikian tinggi, dan selama ini cukup konsisten mengawal kebijakan-kebijakan publik yang tidak populis di legislatif. Sebagai benteng, Partai Golkar tentu terkena imbas politik. Akan tetapi yang harus dicatat juga adalah, Partai Golkar bukanlah partai pengusung, tidak menjalonkan SBY-JK pada pilpres lalu. Apabila sekarang mendukung dan menjadi bumper setiap kebijakan, hanyalah persoalan etis politik belaka.

Galibnya memang tidak etis jika SBY membuat kebijakan yang tanpa mempertimbangkan kepentingan Partai Golkar. Idealnya memang ada komunikasi kedua belah pihak sebelum dikeluarkan keputusan, termasuk di dalamnya adalah masalah Pilkada Maluku Utara. Mengapa? Sebab tidak etis juga apabila, terutama Golkar, selalu menggunakan wacana ancaman mencabut dukungan dalam setiap momen yang pada saat kepentingan politiknya tidak terpenuhi. Semakin sering dan kencang Partai Golkar mewacanakan penarikan dukungan, semakin tidak populer juga di mata pemilih.

Akan tetapi semua ini masalah politik. Masalah kepentingan. Pilkada Maluku Utara adalah perbenturan politik Partai Golkar dan Partai Demokrat. Kita harus menunggu keputusan SBY, apakah akan memihak Partai Golkar atau memihak kepenting­an Partai Demokrat. Barangkali ini dilema SBY di penghujung duetnya dengan JK.

2 komentar:

Anonymous said...

Saya ingin menunggu apa benar PG akan menarik dukungan dari SBY. Soalnya ini bukan hal baru, banyak kalangan menduga semua itu hanya move politik...

Anonymous said...

Ya, kekecewaan akan meretakkan hubungan Golkar dengan pemerintah, yang sebelumnya memang sudah renggang. Kerenggangan itu tercermin dalam beberapa pembahasan kebijakan pemerintah di parlemen, yang tak selalu mendapat dukungan penuh Golkar. Saya termasuk orang yang tidak nyakin, itu hanya ancaman, sebab Golkar memang wataknya selalu nempel pd kekuasaan...

Network