Mengerem Laju Pemekaran (?)

Pemerintah akhirnya berinisiatif untuk melakukan langkah politik guna mengerem laju pemekaran daerah. Pengereman itu dilakukan karena laju pemekaran dan pembentukan daerah otonom sebagai tidak terkendali. Sinyalemen itu dating dari Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri Mardiyanto dalam menyampaikan keterangan pemerintah itu dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR minggu lalu. Spontan saja, insiatif pemerintah itu mendapat tanggapan. Sebagian besar fraksi di DPR menyambut setuju dan hanya PDIP yang keberatan.

Bisa dimengerti alas an pihak pemerintah. Bagaimanapun pemekaran daerah perlu dilakukan kajian secara mendalam dan serius sekurang-kurangnya terhadap masalah klarifikasi persyaratan administratif, observasi lapangan, dan kajian teknis. Terlebih lagi, belakangan ini muncul arus yang bernuansa etnis dibalik upaya-upaya pemekaran daerah.

****
Sayangnya, alasan yang dikemukakan pemerintah sangat teknis dan tidak menyentuh kepada persoalan yang menyeluruh. Semata-mata hanya persoalan Pemilu 2009. Padahal dibalik pemekaran daerah itu, banyak persoalan yang lebih substansial sifatnya.
Persoalan paling mendasar dalam pemekaran pekaran daerah adalah adanya kaitan dengan soal komoditi politik yang tentu saja menguntungkan salah satu kekuatan politik di negeri ini. Jika ditelusur secara seksama, pemekaran daerah lebih banyak di luar Jawa yang menjadi kantong basis dari kekuatan politik tertentu. Tidak heran kemudian, jika kekuatan politik tertentu itu menjadi dominan dan hampir menguasai atau memenangkan dalam Pemilu 2004 yang lalu. Sebut saja misalnya Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi.

Diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, memang menjadi jawaban atau respon terhadap persoalan mudahnya upaya pemekaran daerah. Dalam PP ini memang diatur masalah syarat administrasi, teknis, dan fisik kewilayahan yang lebih berat. Akan tetapi, PP ini sampai kini masih belum mampu menahan laju pemekaran daerah. Pertanyaannya, apakah terbitnya PP No. 78 Tahun 2007 itu dengan sendirinya laju usulan pemekaran daerah. Jawabnya terletak kepada konsistensi pemerintah sendiri. Konsistensi pemerintah menjadi sangat menentukan mengingat dalam proses dan prosedur pengusulan pemekaran menjadi celah terjadinya tarikan kepentingan dalam proses pemekaran. Lebih-lebih jika menyimak selama ini ada tiga pintu yang bisa dimasuki untuk mengusulkan pemekaran suatu daerah. Yaitu melalui; Departemen Dalam Negeri, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan DPR.

Refleksi terhadap perjalanan yang selama ini terjadi, selama hampir delapan tahun pelaksanaan otonomi daerah, tidak lepas dari tarikan-tarikan kepentingan politik. Pada aras makro-nasional, kepentingan itu muncul dari kekuatan politik yang merasa dan memiliki peluang akan diuntungkan dengan adanya pemekaran daerah. Sementara pada aras lokal atau daerah itu sendiri, usulan itu lebih sering mencerminkan kepentingan elit-elit setempat dibandingkan dengan kepentingan masyarakat banyak.

Sementara itu, dari sudut pandang perundang-undangan, sering terjadi inkonsistensi yang dilakukan oleh pemerintah sendiri. Contoh kasus yang bisa disebutkan adalah PP 25/2000 tentang Pembagian Wewenang yang sangat jelas mereduksi kewenangan yang dimiliki pemerintahan daerah berdasar UU 22/2007. Demikian juga, pengambilalihan kembali bidang pertanahan yang sudah diserahkan UU 22/2007 kepada pemerintah daerah. Belum lagi persoalan yang sifatnya horizontal di daerah. Seringkali terjadi ketidak harmonisan antara satu ketentuan peraturan perundang-undangan antarsatu sektor dengan sektor lain.

*****
Jadi memang persoalannya tidak sesederhana. Pada aras paradigmatic tampaknya masih sepenuhnya terjadi perubahan dari sentralistik ke desentralistik. Sementara pada sudut sumber daya manusia, di daerah yang telah dimekarkan juga mengalami persoalan. Pada sisi lain, dari segi keuangan daerah yang telah dimekarkan kemampuannya tak ubahnya besar pasak dari pada tiang dan banyak yang mengandalkan DAU, DAK dan dana dekonsentrasi. Sementara kultur birokrasinya yang terjadi di lapisan bawah juga tidak berubah, momentum otonomi daerah tetap tidak bisa atau belum mampu meretas jarak dengan masyarakat. Pendeknya, birokrasi belum mampu mengejawantah diri sebagai pelayan masyarakat.

Dengan persoalan yang kusut seperti itu, mestinya alasan pengereman laju pemekaran daerah tidak semata-mata hanya karena persoalan menjelang Pemilu 2009. Lebih dari itu, perlu ditinjaklanjuti dengan moratorium pemekaran daerah secara sementara. Selama proses moratorium itu, penting dilakukan evaluasi secara menyeluruh dan radikal terhadap beberapa daerah yang telah dimekarkan.

Menjadi mendesak kemudian untuk merumuskan pijakan dasar atau membangun rancangan besar sebagai pijakan dalam melakukan pemekaran daerah. Pelajaran penting yang terjadi selama ini, dengan pemekaran daerah yang telah dilakukan, alih-alih meningkatkan pelayanan publik dan meningkat kesejahteraan masyarakat, sebaliknya yang terjadi malah inefiensi anggaran. Daerah yang telah dimekarkan tidak mandiri dan sangat tergantung kepada pusat melalui DAK, DAU dan dana dekonsentrasi baru.
Delapan tahun otonomi daerah telah dilakukan. Di Sumatra 26 persen dari total daerah otonom baru, Sulawesi (17 persen), Papua (15 persen), dan Kalimantan (14 persen). Selebihnya tersebar di Nusa Tenggara (5 persen) dan Maluku (7,3 persen). Sayangnya, sejauh yang sudah terjadi, pemekaraan itu lebih menojol dan baru bisa mengakomodasi kepentinngan elitnya saja. Sebaliknya masyarakat belum mendapatkan manfaat yang signifikan.

1 komentar:

Anonymous said...

sentralistik versus desentralistik. hmm, lalu bagaimana tanggapan bapak mengenai ide ygpernah dilontarkan Amien Rais soal pembentukan negara-negara bagian?

Network