Hukuman selain untuk memberikan pelajaran kepada pelaku juga dimaksudkan untuk warning bagi yang belum melakukan. Jadi setiap keputusan hakim yang dijatuhkan memiliki dua dimensi, dimensi hukuman bagi pelaku juga pada sisi lain untuk membuat efek jera. Dengan demikian, diharapkan tidak akan ada lagi yang kena sangsi hukum pada kasus yang sama.
Ideal memang, akan tetapi meski sudah sekian banyak yang kena sangsi hukum akan tetapi tidak dengan sendirinya kejahatan yang sama berhenti. Selalu saja terulang dan silih berganti terjadi. Tak ubahnya dihukum satu kemudian tumbuh seribu. Kasus-kasus kejatahan selalu saja tidah kunjung berhenti dan parahnya, yang berbeda hanya modus dan polanya. Makin lama makin canggih saja. Meski substansinya tetap sama, kejahatan tetap terjadi meski sudah sekian banyak orang yang masuk hotel prodeo.
Diantara kejahatan yang berubah modus dan polanya adalah korupsi. Wajar kemudian apabila negeri ini rankingnya cukup tinggi. Sebab kejahatan korupsi ini tak ubahnya kota cina, makin dibongkar makin banyak saja kotakanya. Sekali lagi, dengan perubahan modus dan pola yang berbeda.
****
Pertanyaannya mengapa korupsi masih saja terjadi, bukankah pemberantasan korupsi menjadi agenda utama dan menjadi jargon setiap pemimpin dan calon pemimpin negeri ini?
Sementara kalangan mengatakan, korupsi terus saja terjadi disebabkan oleh upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan selama ini belum sampai menimbulkan efek jera hingga tingkat lembaga. Dengan demikian, oleh karena tidak menimbulkan efek jera, maka korupsi akan potensial terjadi pada masa yang akan datang. Pasti, sangat gawat situasinya jika kondisinya seperti ini.
Pangkal soal yang membuat pemberantasan korupsi tidak menimbulkan efek jera adalah kecenderungan yang oleh banyak pihak disebut sebagai tebang pilih. Pelaku yang ditindak hanya kalangan tertentu saja, yang menjadi target politik. Atau kalau tidak, pelaku yang ditindak adalah mereka yang tidak memiliki perlindungan hukum dan politik. Pelaku yang memiliki relasi dengan dukungan politik, tentu tidak akan tersentuh. Tidak terjamah tangan-tangan hukum.
Korupsi akan berhenti tentu saja jika efek jera sudah efektif. Sudah mempengaruhi dan menjadi kesadaran bagi semua kalangan. Untuk itu tentu saja bukan suatu pekerjaan yang mudah, semudah perkataan atau membalik telapak tangan. Meski hal itu tentu saja bukan suatu yang susah. Formulasinya sangat sederhana dan simple. Tetapkan asas nondiskriminasi secara ketat dan konsisten untuk menindak siapapun yang melakukan tindak kejahatan korupsi.
Pada sisi lain, yang sering terjadi juga pemberantasan yang dilakukan masih secara simbolik dan tidak tuntas kepada setiap jaringan yang terlibat. Sampai sekarang, masih minim pemberantasan korupsi di tingkat paling atas sampai ke akar-akarnya. Beberapa waktu lalu memang ada sejumlah perwira tinggi kepolisian yang dipenjara karena korupsi, hanya saja banyak kalangan yang menyebutkan upaya itu belum efektif menimbulkan efek jera karena penuntasan kasus itu tidak dilakukan secara menyeluruh.
***
Adalah Robert Klitgaard yang mengatakan bahwa kejahatan korupsi merupakan tindakan melawan hukum yang dilakukan dengan perhitungan untung rugi. Ia menyebutnya sebagai kejahatan kalkulasi. Kejatan seperti ini tentu dilakukan hanya dan oleh orang memiliki akses dan memegang posisi. Dengan formulasi untung rugi iru, maka apabila keuntungan melakukan korupsi lebih besar daripada kerugian yang mungkin didapat. Sejauh yang terjadi selama ini, kesan dari banyak kalangan, pemberantasan korupsi tidak mampu mengembalikan atau mengambil semua ‘keuntungan’ yang diambil pelaku. Lihat saja, sampai detik ini dana negara yang diselamatkan masih relative kecil.
Beberapa negara yang gigih memberantaskan korupsi, belakangan ini memang serius menciptakan efek jera. Banyak cara yang dilakukan, ada yang menerapkan hukuman mati bagi pelaku, ada juga yang menerapkan menjatuhkan vonis tiga kali penjara seumur hidup bagi pelaku korupsi tanpa ada kesempatan memperoleh pengampunan atau remisi maupun grasi.
Jelas dengan efek hukuman yang berat itu akan menimbulkan efek jera. Pelaku tidak memiliki waktu untuk menikmati kekayaan hasil korupsinya selama hayat di kandung badan. Jelas, hukuman yang berat akan menjadi hantu bagi siapapun yang memiliki kesempatan untuk melakukan kejatahatan korupsi. Bagi yang akan melakukan, harus mengkalkulasi secara matematis keuntungan dan kerugian yang akan didapatkan selama hidupnya. Hukuman yang berat, jelas akan mengerem tindakan orang untuk melakukan tindak korupsi. Dengan demikian, hukuman yang berat juga bisa sebagai langkah untuk mempersempit ruang gerak bagi yang berniat melakukan korupsi.
Nah sejauh yang terjadi selama ini, kita memang belum menemukan adanya hukuman pelaku kejahatan korupsi yang divonis berat. Mungkin baru satu dan bahkan satu-satunya, tuntutan jaksa yang sangat keras pada pelaku kejajatan korupsi yaitu pada kasus korupsi BNI yang menyeret Dicky Iskandar Dinata. Jaksa mendakwa dengan hukuman mati meski kemudian ditolak oleh hakim. Efek jera pada untuk pelaku korupsi memang masih menjadi mimpi. Banyak kasus-kasus dengan tuduhan melakukan korupsi akan tetapi banyak yang bebas dari jerat hukum.
Ellyasa KH Darwis
Oleh Seno Gumira Ajidarma The short version of this paper first published
as proceedings from 2nd International Conference on Strategic and Global
Studies ...
2 komentar:
Iya kenapa pelaku korupsi semakin hari semakin banyak saja, apa karena selama ini hukuman yang dijatuhkan sangat ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera?
wah..sepertinya korupsi di pemerintahan atau organisasi sudah jadi hal yang lumrah di Indonesia...mungkin kalo ga korupsi ga keren kali ya :|
Post a Comment