Masih Menjadi Subordinasi?

Birokrasi dan politik, masih belum setara. Birokrasi masih menjadi subordinasi dari politik. Oleh karena itu, wajar jika banyak pihak khususnya kekuatan-kekuatan politik yang ada masih berniat dan henti-hentinya ingin menanamkan pengaruh atau bahkan menguasasi birokrasi.


Siapapun tentu berniat memiliki pengaruh di birokrasi. Lebih-lebih jika mengingat bahwa hampir semua keuangan Negara ada di birokrasi. Pada situasi sekarang ini, dimana prinsip good dan clean governance belum terimplementasikan secara total, maka banyak pihak khususnya kekuatan politik yang berlomba-lomba untuk mengambil uang Negara untuk kepentingan politiknya.

Apa yang terjadi selama ini, banyaknya anggota legislatife, kepala dinas, bupati dan bahkan gubernur dan mantan menteri yang tersandung kasus korupsi, merupakan konfirmasi dari kecenderungan di atas.

****
Sepuluh tahun sudah reformasi politik berjalan. Akan tetapi banyak pihak masih mengeluhkan lemah dan lambatnya proses reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi masih lambat, kemajuannya tidak terlalu menggembirakan, Masih saja birokrasi dikooptasi elit politik. Wajar jika kemudian terjadi korupsi kebijakan yang tentu saja merugikan rakyat banyak dan merusak system tata Negara.

Memang tidak mudah mereformasi birokrasi. Selama hampir tiga puluh tahun, birokrasi pada jaman Orba menjadi birokrasi yang berpolitik ( bureaucratic polity ), menjadi alat, mesin dan perpanjangan tangan dari regim politik yang berkuasa. Jika pada era Orba birokrasi menjadi bagian perpanjangan tangan regim politik yang berkuasa, maka pada era sekarang ini, birokrasi menjadi perpanjangan tangan elit politik yang berkuasa sesuai dengan tingkatan dan daerah masing-masing.

Mestinya memang, birokrasi bebas dari campur tangan politik. Tidak menjadi perpanjangan tangan atau menjadi bagian dari atau memiliki hubungan-hubungan politik dengan kekuatan partai politik tertentu. Sebab salah fungsi penting dari birokrasi ini adalah melakukan pelayanan public secara prima. Fungsi ini hanya mungkin dan bisa dilakukan apabila secara kelembagaan tidak memiliki interest-interest politik tertentu baik secara terbuka maupun diam-diam.

Tentu kita masih ingat apa yang terjadi pada era Orde Baru. Birokrasi menjadi mesin kekuatan yang penting dan menopang kukuhnya regim politik yang berkuasa. Demikian kokoh, kuat dan sentralnya kekuatan yang dimiliki, membuat pengaruh dan sebagai mesin politik sangat efektif. Implikasinya kemudian, fungsi pelayanan public menjadi tidak maksimal, pilih kasih dan tidak ada transparansi publik.

Apa yang terjadi sekarang ini, tentu tidak se ektrim pada era Orbe Baru. Elit politik yang mengkooptasi birokrasi tidak tunggal dan monoton sesuai dengan tingkatan dan siapa elit politik yang berkuasa. Jadi pada tingkat kabupatan/kota, provinsi dan pusat, sangat berbeda. Inilah era dimana kooptasi birokrasi dilakukan secara menyebar dan hampir semua kekuatan politik yang memiliki wilayah, daerah dan kavling masing-masing dalam mengkooptasi birokrasi.

Tentu saja, semua dilakukan tidak secara terang-terangan. Akan tetapi bisa dirasakan dan dilihat oleh kasat mata. Contoh paling banal bagaimana birokrasi dikooptasi oleh elit politik adalah saat PILKADA atau PILGUB. Incumbent atau kandidat yang didukung oleh incumbent, memanfaatkan program departemen untuk melakukan sosialisasi, pencitraan maupun penggalangan dukungan.

****

Reformasi birokrasi yang lambat itu, semua terjadi karena masalah reformasi birokrasi di negeri ini lebih dominant masalah politiknya. Kekuatan politik tampaknya belum memiliki niat untuk melakukan percepatan terhadap reformasi birokrasi. Penentuan-penentuan posisi eselon masih ditentukan oleh unsure kedekatan dan refresentasi yang tentu saja hal ini terkait dengan masalah politik.

Pangkal soalnya memang tidak adanya pemisahan antara system politik dan system birokrasi. Sistem birokrasi yang tidak netral dan tidak professional, seperti yang masih terjadi sekarang ini, akan melanggengkan terjadinya korupsi di tingkat kebijakan. Padahal korupsi di tingkat kebijakan selain tentu saja merugikan rakyat juga akan merusak system tata Negara. Kecenderungan yang terjadi selama ini, kebijakan yang koruptif itu dilegitimasi oleh kebijakan politik secara formal, sehingga pelakunya tidak bisa disentuh oleh hukum.

Interaksi antara politik dan birokrasi selama ini memang tidak tuntas. Akibatnya gagasan untuk menetralisasi birokrasi hanya berhenti pada tataran formal, sementara prakteknya sangat jelas terjadi dam masih tidak netral. Selama tidak ada ketegasan dan niat politik untuk menyelaraskan politik dan birokrasi, untuk memperjelas fungsi dan peran serta batas-batas wilayah garapannya, memang akan terus terlangsung seperti yang terjadi selama ini.

Selama masalah ini tidak diselesaikan secara tegas, maka masalah korupsi tidak bisa diturunkan rankingnya di negeri ini. Nah tentu ini menjadi tugas dari orang nomor satu di negeri ini untuk melakukan akselerasi dari reformasi birokrasi.

Ellyasa KH Darwis

1 komentar:

Anonymous said...

setuju, ini akibat reformasi yang tidak total. setengah hati. Akibatnya kepentingan politik mempengaruhi dan menentukan ranah-ramah birokrasi yang seraharusnya apolitis....

Network