Akhirnya, setelah lobby antar fraksi yang (juga) alot dan kenyal, Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Partai Politik akhirnya menyepakati keterwakilan perempuan dalam kepengurusan pusat sebanyak 30 persen.
Tentu ini satu langkah maju dalam dunia politik negeri ini. Ruang politik bagi perempuan, terbuka untuk mengatualisasikan peran dan fungsinya. Meskipun harus diakui, angka 30% itu belum mereprentasikan realitas politik kelompok perempuan. Data statistic menunjukkan bahwa lebih dari 50 % penduduk negeri ini adalah perempuan.
Jadi angka 30% itu masih jauh dari realitas politik yang terjadi secara statistic.
Sebagai buah dari proses perjuangan politik yang tentu saja sangat tidak mudah, kesepakatan politik tersebut harus disambut gembira, paling tidak untuk sementara. Harapannya, pada waktu yang akan datang akan lebih maju dan radikal lagi.
Pertanyaannya, apakah kesepakatan politik itu dengan sendirinya akan memberi ruang dan bisa dimanfaatkan kelompok perempuan untuk mengaktualisasikan aspirasi, peran dan posisi politiknya? Terus terang saya masih pesimis meski dalam hati diam-diam menaruh harap yang cukup banyak.
****
Paling tidak ada beberapa alasan. Pertama, kuoto 30% itu tampaknya hanya dipahami secara kuantitas belaka. Partai-partai politik akan menaruh 30% perempuan sekadar memenuhi tuntutan UU Partai Politik. Sementara fungsi dan perannya tetap termarginalkan. Contoh kasus yang bisa dikemukakan di sini adalah pengalaman Pemilu lalu, dapat Daftar Calon Anggota Legislative, hampir semua partai memenuhi kuoto perempuan. Hanya saja, nomor-nomor yang jadi tetap didominasi lelaki.
Kedua, main set yang berkembang hampir semua partai, masih dominant budaya patriarchy. Memandang lelaki lebih superior dibanding perempuan, itu sebabnya, secara umum main set yang berkembang adalah bahwa politik itu urusan laki-laki. Sebab politik juga diidentifikasi sebagai dunia yang keras, licik, penuh tipu muslihat.
Ketiga, sudah sejak lama kaum perempuan termarginalisasikan dan tidak memiliki akses informasi terkait masalah-masalah politik. Itu sebabnya, issue soal quoto perempuanpun sejauh yang terjadi selama ini, masih merupakan wacana dan gerakan politik yang dikembangkan oleh elit-elit perempuan. Tidak jarang kemudian, issue quoto juga kemudian dimanfaatkan oleh elit-elit belaka. Untuk itu, hendaknya, di kalangan partai sudah waktunya untuk memberi kesempatan dan mengandendakan untuk meningkatkan sumberdaya politik perempuan Dengan cara demikian, maka dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama, quoto 30 % itu tidak hanya menjadi formalitas belaka.
Jelas, quoto 30% itu belum menggambarkan aspirasi wanita dalam bidang sosial politik telah mendapat tempat walau belum semua aspek terwakili. Dari data dan fakta di lapangan jelas terlihat bahwa suara perempuan memang tidak sebanding dengan jumlah keberadaan mereka.
Kenyataan politik itu, yang kemudian menjadi perhatian dan perjuangan berbagai kalangan dari kelompok-kelompok perempuan. Tuntutannya sangat jelas dan nyata, meningkatkan jumlah wakil perempuan di lembaga legislatif, DPR RI, DPRD I, DPRD II dan di dalam partai-partai politik.
Gerakan ini, tentu tidak berdiri sendiri. Ada kaitannya dengan mainstream global yang terjadi di belahan bumi yang lain. Beberapa pertemuan internasional memang telah merekomendasikan dan menjadikan agenda bersama, untuk mendukung kampanye peningkatan representasi politik perempuan di semua level, khususnya di politik
Salah satu agenda politik dari gerakan itu adalah, mengkampanyekan dan menuntut peran serta pemerintah untuk menetapkan target minimum 30 persen untuk keterwakilan perempuan dalam kabinet dan lembaga-lembaga perwakilan, termasuk pada tingkat daerah. Arah dari gerakan ini jelas, meningkatkan kedudukan perempuan di seluruh dunia yang selama ini tidak terwakili dalam tingkatan yang tinggi dalam posisi pengambilan keputusan. Rata-rata perempuan di dunia hanya menduduki 13 persen dari kursi di parlemen nasional dan jumlah ini meningkat hanya 0,5 persen per tahun.
****
Memang kalau mau fair, idealnya antara laki-laki dan perempuan diberi kesempatan yang sama. Bertarung bebas, tetapi tentu saja, untuk sementara ini tidak mungkin dilakukan. Harus ada kepastian affirmative action dengan cara penentuan quoto.
Mengapresiasi kesepatan politik 30% perempuan itu, menyisakan PR yang harus segera ditindak lanjuti. Yaitu bagaimana partai-partai politik yang ada melakukan peningkatan kapasitas dan kompetensi sumberdaya politik perempuan.
Fajar dan kesempatan telah mulai lebar bagi perempuan untuk meningkatkan peran dan posisinya dalam percaturan politik. Sebagai capaian sementara, memang patut disyukuri, tinggal sekarang bagaimana mengawalnya agar kesepatan itu tidak berlaku semata-mata hanya formalitas.
Lebih dari itu, juga harus tercermin dalam segala proses pengambilan keputusan politik. Tentu ini bukan suatu yang mudah dan bisa dilakukan, mengingat sebagian besar partai politik yang ada dan memiliki basis dukungan kuat, masih kental dan dominant budaya patriarchy-nya. Pada sisi lain, juga masih tersentral kepada figure yang kharismatis.
Ellyasa KH Darwis
Opini Indonesia Edisi 77 3-10 Desember 2007
Oleh Seno Gumira Ajidarma The short version of this paper first published
as proceedings from 2nd International Conference on Strategic and Global
Studies ...
2 komentar:
Saya hanya ingin mengucapkan selamat, sebab saya tahu, bagi kelompok perempuan berhasilnya ketentuan ini bukan perjuangan yang mudah. Ada proses panjang yang melelahkan dari berbagai komponen kelompok perempuan.
Kita tunggu realisasinya, apakah kebijakan itu asesoris belaka atau sudah menjawab substansi persoalan.
Post a Comment