Kembalinya Oligarkhi Politik

Kepentingan elit politik acapkali mewarnai dan menentukan orientasi politik sebuah partai. Memegang kepemimpinan sama artinya memiliki privelege untuk mengatasnamakan kepentingan dirinya dalam bungkus kepentingan partai yang dipimpinnya. Oleh karena itu, sangat susah untuk melihat satu mind set sebuah partai politik di negeri ini, karena semua ditentukan oleh kepentingan orang nomor satunya. Oligarki politik tampaknya masih bercokol dan memiliki akar yang dalam di benak para elit politik negeri ini.


Tesis itu segera melintas dalam benak pikiran saya, saat elit Partai Golkar memberi isarat partai itu tidak akan melakukan konvensi untuk mencari calon presiden menjelang pemilu 2009. Mudah diduga dan diraba dibalik dibekukannya mekanisme konvensi untuk menjaring calon presiden, satu tradisi dan terobosan politik yang jitu yang dilakukan oleh Partai Golkar pada tahun 2004 lalu. Kepentingan politik orang nomor satu untuk maju ke Pilres mendatang, ingin aman, ingin lancar dan tidak perlu capai-capai untuk bertarung dengan peserta konvensi. Hasilnya bisa tragis, seperti yang dialami oleh Akbar Tanjung yang kalah oleh Wiranto.

Konvensi Partai Golkar, dengan segala kekurangan dan kritik yang dialamatkan saat menggelar konventasi tahun 2004 lalu, bagaimanapun merupakan suatu terobosan, dan relative memberi harapan untuk kehidupan politik di negeri ini. Ada pendidikan politik, meskipun itu tampak masih seolah-olah, sebab aturan main dalam konvensi itu jauh dari intrument-intrument demokrasi.
***
Nah sekarang, JK sebagai orang pertama di partai berlambang beringin itu memutuskan tidak akan menggelar konvensi lagi untuk memilih calon presiden 2009. Kepentingan dibalik itu sangat jelas, ia tidak ingin ada pesaing. Tidak ingin capai-capai mengkuti konvensi.

Sebagai bentuk ketidaksiapannya itu, ia mengambil kebijakan yang tidak populer. Konvensi Pemilihan Calon Presiden dihilangkan dari agenda. Padahal konvensi itu, menjadi icon politik Partai Golkar, satu kebijakan politik yang kemudian mampu merubah citra partai. Dari partai yang sebelumnya korporatis dan oligarkis, menjadi partai yang leading dalam issue demokrasi. Konvensi itu juga dianggap sebagai salah satu terobosan yang cukup menjanjikan dalam konteks pengembangan demokrasi di negeri ini.

Itu komentar dan analisis yang dikemukakan oleh para pengamat melihat kebijakan menghapuskan konvensi. Kebijakan itu juga dianggap sebagai melupakan sejarah, melupakan terobosan politik yang menyelamatkan Partai Golkar saat mendapatkan tekanan secara fisik maupun politik dari kelompok masyarakat dan mahasiswa saat jatuhnya kekuasaan otoriter Orde Baru hingga menjelang Pemilu 2004.

Dengan konvensi, Partai Golkar yang dulunya dilekatkan dengan kekuasaan otoriter berhasil membalik opini publik, menjadi salah satu pelopor demokrasi melalui konsep terobosan yang dikenal sebagai Konvensi Pemilihan Calon Presiden Partai Golkar. Terobosan itu, nyaris ditiru oleh partai lain, meski tidak sama persis sebuah partai politik mencoba melakukan semacam pemilihan pendahuluan, mirip Konvensi Partai Golkar-untuk menentukan calon presiden.
****
Jadi kebijakan menghapuskan konvensi Pemilihan Calon Presiden yang dilakukan olah DPP Partai Golkar sekarang ini, adalah merupakan penugasan dan penegasan dari budaya politik yang tidak berubah pada era reformasi sekarang ini.

Pertama, elit politik sesungguhnya yang tidak terlalu siap untuk secara konsisten menjalankan dan menganut prinsip-prinsip demokrasi. Politik masih diartikan sebatas saya mendapat keuntungan apa dari setiap kebijakan atau aturan main yang dibuat. Jika aturan main itu mengancam kepentingan dirinya, maka dengan kekuasaan yang dimilikinya, akan diubah.

Kedua, prinsip-prinsip dan nilai-nilai demokrasi sering dipangkas dengan alasan efektititas. Jadi lebih mementingkan hasil dari pada proses yang berjalan dan menjadikan proses perjalanan masa lalu, dengan segala kekurangannya, sebagai pelajaran untuk perbaikan pada masa yang akan datang.

Ketiga, terjadi peneguhan kembali elitisasi politik. Masalah-masalah kebijakan politik partai, hanya akan ditentukan oleh DPP-nya atau lebih parah lagi seringkali oleh individu yang menjadi ketua umumnya. Dengan alasan keputusan dan kebijakan partai, rakyat diminta untuk menerima tanpa reserve dan bagi komponen-komponen atau faksi-faksi dalam partai yang menolak dan menentang, akan diberlakukan hukum besi politik. Biasanya tindakan yang dilakukan adalah pemecatan.

Keempat, seringkali terjadi kepentingan atau interest politik pemimpinnya dimanifulasi sedemikian rupa sebagai kepentingan ideologis partainya. Untuk membangun dukungan, kemudian yang dikembangkan di akar rumput adalan sentimen dan solidaritas buta kepada anggota atau simpatisannya.

Oligarkhi politik barangkali akan semakin subur. Moga-moga partai-partai politik yang lain akan ada yang menggantikan terobosan yang pernah dilakukan Partai Golkar, dengan aturan main dan proses yang lebih demokratis tentunya.

Ellyasa KH Darwis
Versi Cetaknya dimuat OpiniIndo
Edisi 76 26-November-2 Desember 2007

2 komentar:

SHALEH said...

Begitulah orang ketika sudah merasa enak dengan sesuatu...dia akan berusaha untuk menghilangkan kesenangan orang...:)

Ros Marya Yasintha said...

Prihatin membaca tulisan ini.. Para pemimpin kita mendahulukan kepetingan pribadinya.. Sewaktu berkampanye kepentingan rakyat kecil adalah segala-galanya...
haaahhhhhhhhhh...inilah nasib rakyat kecil..

Network