Mengevaluasi Otonomi Daerah

Adalah Menteri Dalam Negeri Mardiyanto menjanjikan akan melakukan evaluasi atas daerah-daerah hasil pemekaran. Mantan Gubernur Jawa Tengah itu menegaskan, diperlukan sikap lebih arif dan hati-hati dalam menyikapi aspirasi daerah mengenai pemekaran. Untuk itu, pemerintah sudah siap untuk melakukan sosialisasi ketentuan undang-undang mengenai penghapusan dan penggabungan daerah yang dinilai tidak mampu menjalankan otonomi.


Seperti diketahui bersama, sampai kini setelah dilakukan pemekaran, negeri ini memiliki 33 provinsi dan 471 kabupaten/kota. Tampaknya ke depan, pemerintah tidak akan begitu saja memberikan political will untuk merestui pemekaran daerah. Pemerintah akan bersikap lebih selektif dalam menimbang kelayakan sebuah calon daerah. Sikap itu akan dilakukan setelah pemerintah juga akan merampungkan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.

Kecenderungan yang terjadi berdasarkan evaluasi sementara yang dilakukan, daerah otonomi baru yang berdiri sejak tahun 1999 lalu, dinilai belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyakarat di wilayah secara siginifikan. Sebaliknya, banyaknya jumlah daerah otonomi memunculkan masalah, terutama soal efektifitas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, karena tujuan dari pembentukan daerah otonomi adalah meningkatkan pelayanan publik.

****
Banyak faktor yang mempengaruhi, baik faktor ekonomi, politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, aspek manajerial serta pertimbangan teknis lainnya harus menjadi kriteria yang terukur untuk menilai kelololsan pembentukan suatu daerah otonomi. Kecenderungan yang terjadi selama ini pembentukan daerah otonomi baru seringkali menimbulkan berbagai permalasahan, seperti sengketa batas, perebutan lokasi ibukota, dan konflik politik.

Banyak kasus, setelah dimekarkan, tingkat kesejahteraan rakyatnya dan pelayanan pada masyarakat justru semakin tidak lebih baik. Menurut sebuah sumber, 40 persen dari daerah yang dimekarkan tersebut justru rakyatnya tidak lebih sejahtera.

Evaluasi memang suatu yang penting. Sejak kurang lebih enam tahun pelaksanaan otonomi daerah, belum pernah dilakukan evaluasi oleh Departemen Dalam Negeri sehingga tidak belum ada evaluasi pada satu sisi, pada sisi lain juga Depdagri belum memiliki ukuran keberhasilan. Akan tetapi fakta dilapangan jelas menunjukkan bahwa pelaksanaan otonomi daerah itu telah berhasil sesuai yang diharapkan.

Kini pemerintah tengah menyusun rancangan PP tentang pedoman evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah (EPPD), pemerintah menyiapkan perangkatnya. Pendapatan dan alokasi pembiayaan dalam APBD merupakan salah satu objek evaluasi. Ada 61 pasal ditambah lampiran setebal 20 halaman itu cukup ambisius. Secara normatif, tujuan PP tersebut adalah mendukung pencapaian tujuan otonomi daerah. Yakni, untuk menjamin agar kewenangan yang didelegasikan kepada daerah berjalan efektif. Namun, tidak tertutup kemungkinan muncul sejumlah motif empiris yang bernuansa kepentingan pemerintah yang kuat.

Ada tiga hal yang mau dievaluasi, Pertama, evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah (EKPPD). Kedua, evaluasi kemampuan penyelenggaraan otonomi daerah (EKPOD). Ketiga, evaluasi daerah otonom baru (EDOB). Masing-masing memiliki peruntukan yang berbeda. Hanya, ujung tombak pelaksanaan seluruh evaluasi itu terletak pada EKPPD.

Kegiatan EKPPD dengan demikian, untuk mengukur kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hasilnya, akan menjadi dasar upaya peningkatan kinerja daerah. Sedangkan EKPOD dilakukan untuk menilai kapasitas daerah dalam mencapai tujuan otonomi. Yaitu, pencapaian kesejahteraan masyarakat, kualitas pelayanan publik, dan daya saing daerah. Sementara,

EDOB secara spesifik dilakukan pada daerah hasil pemekaran. Tujuannya, memonitor perkembangan kelengkapan aspek-aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah baru.
Menilik pada draft yang diusulkan pemerintah, tampak jelas bahwa hasil evaluasi akan menjadi rekomendasi bagi pelaksanaan EKPOD atas dasar peringkat prestasi daerah. Bagi daerah-daerah yang dikategorikan berprestasi rendah selama tiga tahun berturut-turut, akan dilakukan EKPOD. Hasil EKPOD yang buruk bisa menyebabkan daerah dihapus dan digabung. Artinya, eksistensi daerah otonom akan berakhir bila EKPOD-nya minus.

****
Melakukan Evaluasi Terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah, memang suatu langkah yang tepat. Lebih-lebih jika dilihat realitasnya bahwa tidak korelasi yang signifikan antara Otonomi Daerah dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, yang terjadi pada sebagian besar daerah hasil pemekaran, tingkat kesejahteraan rakyatnya dan pelayanan pada masyarakat justru semakin terpuruk.

Pada tataran elitnya semakin makmur, sementara masyarakat semakin terburuk. Kesenjangan sangat nyata terjadi. Pada sisi lain, pemekaraan wilayah juga sudah dimanfaatkan oleh kalangan elite, baik lokal maupun nasional, yang mencari keuntungan dari pemekaran wilayah.

Oleh karena itu, evaluasi pelaksanaan Otonomi Daerah merupakan suatu yang tepat dan nicaya adanya. Bahkan jika perlu, pemerintah harus meninjau ulang usulan pemekaran dan segera melakukan tindakan kepada daerah hasil pemekaran yang semakin terpuruk.

Ellyasa KH Darwis
Opini Indonesia, edisi 78 10-16 Desember 2007

2 komentar:

Bambang Mugiarto said...

Kebijakan melakukan evaluasi merupakan suatu yang tepat, apalagi jika dilihat selama pelaksanaan Otonomi Daerah dan pemekaran beberapa wilayah, kesejahteraan rakyat tidak tercapai dan sebaliknya, menjadi ajang elit-elit Jakarta untuk pulang kampung. Evaluasi hendaknya tidak berujung pada resentralisasi.

Anonymous said...

Jangan sampe sentralisasi. Memang otonomi daerah kita terlalu cepat, terlalu ekstrim. Ibaratnya dari bandul kanan langsung ke bandung kiri. Inggris saja memerlukan waktu 100 tahun ko untuk melakukan otonomi.

Network