‘Setinggi Langit, Setinggi Bukit’

Jika dalam perang dikenal strategi untuk melumpuhkan lawan, maka yang harus diserang adalah jantung pertahanannya. Dengan demikian maka sekali serang lawan akan jatuh, mengibarkan bendera putih tanda menyerah. Demikian halnya dalam politik. Strategi politik yang jitu adalah menyerang titik lemah lawan. Menjadikan titik lemah sebagai amunisi untuk menyerang.

Dengan cara demikian maka ada tiga hal yang terjadi, pertama, akan sibuk melakukan pembelaan diri. Kedua, lawan tidak sempat melakukan konsolidasi diri untuk menghimpun kekuatan yang dimiliki sehingga basisnya dengan mudah bisa diambil. Ketiga, pihak yang menunjukkan kelemahan lawan politik akan mengambil point, mendapatkan popularitas. Citra dirinya naik dan memegang kepememimpinan moral politik.

Strategi itu, tampaknya tengah dijalankan oleh PDIP sebagaimana cermin dalam berbagai pandangan fraksi PDIP di DPR dan terakhir tampak dari statemen politik ketua umumnya.


*****
“Janji setinggi langit dan capaian setinggi bukit,” kalimat puitis itu meluncur dari mantan Presiden Megawati Sukarnoputri di hadapan peserta Rakernas (Rapat Kerja Nasional) II dan Rakornas (Rapat Koordinasi Nasional) PDIP minggu lalu. Ungkapan itu merupakan sindiran terhadap kinerja pasangan SBY-JK, rival politik dalam Pilpres 2004 lalu. SBY-JK, seperti kita tahu, berhasil meraup dukungan pemilih menggunguli dirinya berkat janji-janji politiknya dan sekaligus memberikan harapan kepada masyarakat untuk kehidupan yang lebih baik. Jargonnya yang terkenal kala itu “Bersama Kita Bisa.”

Tidak hanya itu, SBY juga disebut sebagai ‘nakhoda kapal yang bimbang’ untuk mengambil keputusan-keputusan politik yang strategis. Banyak kalkulasi yang dilakukannya, oleh karenanya sering kehilangan momentum. Sudah begitu, sang nakhoda itu, malah sibuk menabur pesona untuk kepentingan Pilpres mendatang. Bagi Mega, juga umumnya pendukung PDIP, harusnya SBY kini membuktikan janji-janjinya politiknya yang disampaikan kepada rakyat bukan melakukan politik tebar pesona.
Pemerintahan SBY-JK disebut sebagai berjalan di tempat. Salah satu dasar yang dipakainya adalah angka kemiskinan dan pengangguran yang selama kepemimpinan SBY-JK tak kunjung turun. Meningkatnya Anggaran Pendapatan dan Pengeluaran Negara (APBN) tetapi tidak ada korelasi dengan perubahan kesejahteraan warga. Masalah ini tidak akan dapat diselesaikan pemerintahan SBY-JK, sampai habis massa jabatannya.

*****
Jika dicermati, pilihan-pilihan kata yang digunakan oleh ketua umum PDIP itu memang sangat tajam, keras menusuk, meski bernada puitis. Ada empat kata kunci yang dikemukakan Megawati dalam kritiknya terhadap pemerintahan SBY. “Sibuk Tebar Pesona”, “Nakoda Yang Bimbang”, “Janji Setinggi Langit Pencapaian Setinggi Bukit”, dan “Sampai akhir jabatannya SBY tak akan mampu merealisasikan janjinya”.

Jika dirumut, kalimat-kalimat Megawati itu dikemukakan secara bertahap. Kalimat sibuk tebar pesona merupakan kalimat yang sering diucapkan sebelumnya, khususnya oleh petinggi-petinggi PDIP setiap kali menyikapi kebijakan SBY. Kemudian kalimat Nakoda Yang Bimbang, meskipun tidak sering muncul, tetapi seringkali keluar dari petinggi PDIP lewat bahasa lain seperti pemimpin yang tidak tegas. Kalimat itu muncul seringkali ketika SBY dituntut oleh banyak kalangan untuk memutuskan kebijakan politik yang harus dilakukan secara cepat dan segera.

Sementara kalimat “Janji Setinggi Langit dan Capaian Setinggi Bukit”, serta kalimat “Sampai akhir jabatannya SBY tak akan mampu merealisasikan janjinya” merupakan idiom terbaru yang tampaknya, untuk saat ini dan pada masa yang akan datang, akan menjadi jargon atau labeling yang akan diberikan PDIP kepada pemerintahan SBY.

Jelas, dari kalimat-kalimat yang muncul, Megawati dan PDIP-nya tengah melakukan kerja politik untuk melakukan proses delegitimasi moral kepemimpinan SBY. Melalui kritiknya yang tajam itu, ia tengah merebut kepemimpinan moral-politik untuk menandingi kepemimpinan politik resmi yang sedang berkuasa sekarang. Tentu saja targetnya tidak untuk menjatuhkan pemerintahan SBY sekarang, tetapi untuk kepentingan Pilpres 2009.

Mengapa Megawati perlu dan harus melakukan itu? Dari berbagai hasil survey menunjukkan, meskipun popularitas SBY belakangan menurun tetapi posisinya masih leading. Ia masih bertengger pada urutan paling atas dibandingkan Megawati sekalipun. Statemen-statemen politiknya merupakan upaya untuk mempengaruhi opini publik. Atau dengan kata lain, publik yang selama ini memberikan kepercayaan, mandat kepada SBY harus mengoreksi atau mengalihkan dukungannya pada Pilpres mendatang.
Ellyasa KH Darwis

Mingguan Opini, edisi 68 17-23 Sep. 2007


1 komentar:

Anonymous said...

Tampaknya memang suhu politik akan semakin meningkat. Manuver-manuver akan semakin banyak. Semoga saja semua manuver yang dilakukan tidak mengganggu stabilitas politik.

Network