Kebenaran ilmiah/akademis dengan kebenaran social atau politis memang belum tentu selalu sejalan. Masalah yang secara akademis, keilmuan, dibangun dengan basis teori dan methologi yang teruji dan secara akademis juga sudah teruji, belum tentu secara sosial atau politik itu akan diterima.
Mengapa demikian? Sebab realitas sosial-politik yang dominan pada dasarnya merupakan cermin dari tatanan dominasi dan hegemoni kelompok yang menduduki status quo. Oleh karena itu, memang menjadi wajar jika alergi atau emoh menerima kritik. Kritik dianggap sebagai bagian dari upaya untuk menyerang, menjatuhkan kewibawaan maupun posisi. Atau sekurang-kurangnya, kritik itu dianggap sebagai upaya untuk menggerogoti, mendelegitimasi moral politik kelompok yang sedang berkuasa.
Kelompok status quo memang biasanya alergi terhadap kritik, siapapun orangnya, sebab mereka bisa mendefinisikan kebenaran sendiri. Kalangan yang mengkritik biasanya dijuluki sebagai orang yang tidak tahu urusan tetapi ikut bicara. Lebih sengit lagi, biasanya menstigma sebagai orang yang tidak terakomodasi kepentingannya sehingga ia lantang mengkritik. Pendeknya, kritik meski dibungkus dengan baju akademis sekalipun, tak lebih sebagai sarana untuk mengartikulasikan ketidaksukaan.
****
Tampaknya itu atmospir politik yang terjadi minggu ini, saat mencermati bagaimana reaksi petinggi Partai Golkar terhadap disertasi Akbar Tanjung yang bertajuk “Partai Golkar dalam Pergolakan Politik Era Reformasi: Tantangan dan Respons”.
Disertasi yang dipertahankan di Universitas Gajah Mada, minggu lalu itu, salah satu pointnya menyatakan bahwa partai Golkar sekarang ini tidak punya main set ke depan. Pragmatis, berorientasi kepada kepentingan jangka pendek. Hanya mengambil untung saja. Gaya berpolitik seperti itu disebut sebagai gayanya saudagar. Padahal dalam berpolitik, main set, visi, merupakan suatu yang penting agar tetap dalam garis perjuangan. Sebab berpolitik itu bukan semata-mata untuk meraih kekuasaan, tetapi ada hal yang paling mendasar yaitu platform politik yang menjadi garis perjuangan partai.
Kritik itu terkait dengan posisiolitik Partai Golkar yang kini berada pada garis pendukung pemerintah. Padahal sebelumnya ia tidak menanam dalam proses politik saat mengusung rejim politik yang sekarang. Bukan hanya itu, Golkar malah mengusung calon lain. Prakteknya, kini Golkar berada pada posisi partai pendukung pemerintah. Posisi ini yang disebut Akbar Tanjung sebagai bagian inkonsistensi elit Partai Golkar, padahal dalam Munas telah menegaskan akan berperan sebagai pengimbang pemerintah.
Oleh karena posisi itu, partai Golkar dalam dilemma. Jika pemerintah berjalan baik, tetap saja Golkar tidak akan mendapat andil sebagai pihak yang menanam saham politik. Sebaliknya, jika tidak sesuai dengan harapan masyarakat, maka bisa dipastikan Partai Golkar akan terkena pengaruhnya ke depan.
Bisa jadi, Golkar kini mirip dengan jaman Orde Baru. Ia menjadi secara politis memang telah menduduki posisi sebagai bagian dari penguasa, tetapi bukan penentu kebijakan. Sebaliknya, sering harus menjadi benteng politik sekaligus perpanjangan tangan rezim.
*****
Apakah meski dikemukakan dalam dunia akademis, apa yang ditulis Akbar Tanjung itu tidak ada yang lepas kepentingan? Dalam ilmu social sudah lama diakui bahwa tidak ada yang netral dalam setiap teori. Tidak ada yang objective dalam penelitian social, lebih pada penulisan desertasi yang menggunakan analisis kualitatif seperti disertasinya Akbar Tanjung. Semua tergantung cara pandang, posisi ideologis, paradigma yang dianut. Tidak ada kebenaran tunggal dalam ilmu-ilmu social. Dikalangan dunia akademis, sejauh bisa dipertahankan dan diuji konsistensinya dalam menerapkan metodologi keilmuan, maka tidak masalah. Sah-sah saja adanya.
Yang jadi soal kemudian adalah jika tanggapannya salah tafsir seperti yang berkembang belakangan ini. Sebagaimana tampak pada argument yang dikemukakan Ketua Umum DPP Partai Golkar Jusuf Kalla. Ia tampak salah mengartikan sebutan “saudagar’ dalam sebutan Akbar Tanjung. “Saudadar” yang dimaksud bukan profesi, tetapi lebih untuk menyebut gaya atau karakter politik. Jadi tidak relevan membantah tesis Akbar Tanjung dengan menyebut-nyebut banyak pimpinan politik dari pengusaha seperti yang dikemukakan JK di media.
Jadi disertasi memang sebaiknya dijawab dengan disertasi, thesis dengan antithesis. Jadi biar teruji secara akademis. Yang jadi soal kemudian adalah, thesis di jawab dengan reaksi politis. Apalagi dengan argument dan contoh-contoh yang tidak relevan.
Ellyasa KH Darwis
Tabloid Opini Indonesia, edisi 67/10-16 Sept 2007
Oleh Seno Gumira Ajidarma The short version of this paper first published
as proceedings from 2nd International Conference on Strategic and Global
Studies ...
1 komentar:
Golkar memang kehilangan mind set politik. Main set itu dibangun oleh Akbar Tanjung dan wajar saja jika AT gerah. Dan wajar pula jika elit Golkar kini juga gerah dengan kritiknya AT.
Post a Comment