Memburu Harta Jarahan

Akhirnya Bank Dunia menaruh perhatian dan inisiatif juga terhadap dana hasil korupsi yang disimpan di bank-bank luar negeri. Khususnya, dana yang disimpan mantan penguasa yang diduga dari hasil korupsi untuk kemudian dikembalikan ke negara yang bersangkutan.

Inisiatif ini menarik. Selama ini, Bank Dunia tidak menaruh perhatian ke belakang. Bank Dunia lebih melihat ke depan dalam masalah korupsi. Salah satu cara yang dilakukan adalah mengaitkan klausul good governance dan good corporate governance dalam pemberian hutang baru, termasuk kepada negeri ini. Padahal, sebagaimana pernah disinyalir oleh almarhum Sumitro Joyohadikusomo, sekitar 30% dana pinjaman bank dunia yang diberikan ke negeri ini dikorupsi. Sinyalemen yang sama juga pernah dikemukakan Jeffrey Winter. Hutang itu, tentu harus dibayar. Tetapi bank dunia kala itu tak peduli, banyak aktivis kemudian mengkampanyekan tolak bayar hutang. Alasannya, dana itu dikorup dan tak sampai ke masyarakat.


Persoalan korupsi, selain menjadi perhatian di masa yang akan datang, juga merupakan PR atau hutang yang harus diselesaikan dari masa lalu. Korupsi yang terjadi pada masa lalu harus diselesaikan jika ingin di masa depan tidak terjadi lagi korupsi. Selama PR massa lalu tidak diselesaikan, maka pemberantasan korupsi ke depan juga tidak akan berjalan tuntas. Sebaliknya yang akan menjadi kecenderungan adalah tebang pilih, sekadar menunjukkan kepada publik ada penegakan hukum.

Nah persoalan pemberantasan korupsi di negeri ini berat karena PR massa lalu yang tidak terselesaikan. Selama itu pula secara psikologis dan politis akan tergadai dan tentu akan mempengaruhi ke depan.

*****
Sebuah dokumen yang dipublikasikan oleh PBB dan Bank Dunia bertajuk "Stolen Asset Recovery" yang berarti Pengembalian Aset Curian, hari-hari ini menjadi demikian popular. Dalam dokumen itu disebut mantan presiden Suharto dikaitkan dengan hilangnya aset Indonesia sebesar 15 sampai 35 miliar dollar antara tahun 1967 sampai 1998.

Tak hanya itu, mantan orang nomor satu itu juga menempati ranking pertama, disusul kemudian oleh mantan penguasa Filipina, Ferdinand Marcos, dan Mobutu Sese Seko dari Zaire di urutan kedua dan ketiga terbesar sebagai penjarah kekayaan negara. Marcos disebut menjarah sekitar 5 sampai 10 miliar dollar uang Filipina. Mobutu diperkirakan menyelewengkan sekitar 5 miliar dollar uang negaranya.

Publikasi dokumen itu oleh PBB dan Bank Dunia dalam skema program pemberantasan korupsi Stolen Asset Recovery Initiative (STAR) atau Prakarsa Pengembalian Aset Curian itu. Program PBB dan Bank Dunia untuk membantu negara-negara berkembang mendapatkan kembali kekayaan mereka yang dijarah oleh para pemimpin mereka yang korup dan diduga disimpan di berbagai negara asing. PBB dan Bank Dunia memperkirakan 25 persen dari pendapatan domestik bruto negara-negara Afrika, atau sekitar Rp 1.400 triliun, amblas dikorupsi.

Inisiatif baru ini memang suatu yang menjanjikan. Harus diakui bahwa mengembalikan kekayaan Negara yang dikorupsi kemudian disimpan di luar negeri, memang bukan suatu yang mudah. Ini butuh dukungan internasional yang kuat. Banyak factor, salah satunya adalah bahwa adanya kerahasiaan bank. Bank baru mau membuka informasi keberadaan dana yang diduga hasil korupsi setelah adanya pengajuan gugatan.

****
Program STAR merupakan bagian dari kampanye global PBB untuk mendesak negara-negara yang selama ini dijadikan tempat parkir harta curian oleh penguasa korup, agar bekerjasama mengembalikan harta curian itu. Beberapa negara yang dikenal sebagai surga bagi para koruptor memarkir harta curiannya antara lain Swiss, Caymand Island di kepulauan Karibia, dan Jersey Island, serta Singapura.

Bank Dunia dan PBB akan memfasilitasi bantuan awal dan pelatihan untuk melacak harta curian ini. Meskipun begitu, pertanyaannya akankah inisiatif bank dunia dan PBB ini akan berjalan mulus dan mampu mengembalikan asset-aset yang disembunyikan di luar negeri?

Ada dua kemungkinan. Pertama, inisiatif itu tidak akan efektif. Contoh kasus adalah soal asset recovery yang diupayakan pemerintah Filipina. Perburuan dana Marcos di luar negeri terhalang oleh system perbankan di negara tempat menyimpan itu dan lagi pula, banyak bank di luar negeri yang hidupnya tergantung dari sistem kerahasiaan bank.
Kedua, inisiatif ini akan mulus jika Bank Dunia dan PBB berhasil mempengaruhi

bank-bank di negara maju untuk lebih terbuka memberikan informasi tentang keberadaan dana yang diduga merupakan hasil korupsi.

Mampukan Bank Dunia dan PBB menekan agar bank-bank yang selama ini menjadi tempat penyimpanan pundit-pundi harta hasil jarahan itu memberi akses informasi. Wait and see….

Ellyasa KH Darwis
Opini Indonesia, edisi 69, 24-30 Sep. 2007

4 komentar:

Anonymous said...

Sebagaimana HAM, antikorupsi juga sudah menjadi hukum internasional, sudah menjadi konvensi. Wajar saja jika PBB melakukan tindakan untuk mengungkap dan mengembalikan kekayaan yang dikorup oleh mantan2 penguasa yang disembunyikan di luar negeri. Ini juga harus menjadi pelajaran, buat semua pihak terutama yang sedang dan akan memiliki kekuasaan, agar jangan bermain 'bergelap-gelap' dalam terang dalam pengelolaan aset negara.

deFranco said...

Semoga saja movement dari PBB itu bukan hanya akal2an AS aja demi mengalihkan perhatian dunia dari kegagalan perang Irak...Sekali lagi semoga itu semua benar adanya dan ada tindak lanjutnya, yah sekali2 berbaik sangka pada bonekanya AS itu juga gak papa kan...

Anonymous said...

hmm...sebuah retrospeksi buat kita, bangsa Indonesia. Pelajaran apa yang bisa diambil dari berita ini ?
1.Banyak pelaku "white collar crime" yang merasa kebal hukum tapi ngga sadar - sadar juga...
2.Hukuman kurungan berapa lamapun, gak akan mengembalikan aset negara.
3. kita harus belajar dari sistem hukum di Hongkong yang mengharuskan pelaku koruptor mengembalikan aset - aset yang telah "diambilnya" tanpa memberikan hukuman pidana.
4. lembaga independen seperti ICW, milik mas Teten MAsduki harus sering2 melakukan investigasi ke badan2 publik...kalo perlu di publish besar2an ke luar negeri...
5. Kita sebagai rakyat, harus terus menjadi oposisi yang proaktif terhadap kebijakan2 pemerintah yang kesannya "melenceng"

Anonymous said...

Jika betul apa yang dikemukakan oleh Bank Dunia dan PBB itu, maka bagaimana dengan kinerja KPK, kepolisian dan kejaksaan kita. Mengapa institusi penegak hukum kita tidak memiliki data, justru pihak lain?

Network