Stabilitas Politik Paska Keputusan MK

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pasal-pasal dalam UU Pemerintahan Daerah yang hanya memberikan kesempatan kepada partai politik atau gabungan partai politik untuk mengajukan calon dalam PILKADA dan menutup calon perorangan sebagai bertentangan dengan UUD. Oleh karena itu, pasal itu dibatalkan dan sebagai implikasinya, sekarang calon perseorangan memiliki hak konstitusional yang sama untuk mengajukan diri dalam PILKADA.


Terhadap keputusan itu, sekurang-kurangnya berkembang tiga pendapat. Pertama, kalangan yang menolak. Kelompok ini berpandangan calon independen akan membuat sistem politik tidak stabil karena tidak didukung oleh partai politik. Jika calon perorangan terpilih, akan susah membuat kebijakan politik.

Kedua, kelompok yang menyambut gembira. Argumen yang dikemukakan, sejauh yang tampak dipermukakan terkait soal adanya oligarkhi partai, politik dagang sapi yang sering dilakukan oleh parpol dalam menentukan calon. Diskursus yang berkembang dari kelompok ini, mengarah kepada posisi calon perorangan itu menggantikan posisi partai politik. Tidak hanya itu, wacana yang berkembang kini juga mengarah kepada kemungkinan munculnya calon perorangan dalam PILPRES.

Ketiga, kelompok yang berpandangan kritis. Ia tidak menyalahkan MK, tetapi memberi catatan jika agar dalam menyusun tatacara, protokol atau mekanisme calon perorangan, spiritnya harus dilandasi dan menempatkan partai politik sebagai bangunan dasar demokrasi. Jangan sampai adanya calon perorangan membuka penafsiran untuk menafikan posisi dan peran partai politik, seperti yang berkembang belakangan ini.

*****
Memang, mayoritas dari kalangan partai politik, keberatan bahkan menolak keputusan MK yang memberi peluang calon perorangan untuk ikut dalam kontestasi politik dalam PILKADA, dianggap sebagai antistruktur dan antiorder, khususnya dalam konteks bangunan demokrasi dimana partai politik sebagai salah satu elemennya.

Diperbolehkannya calon perorangan tanpa melalui jalur partai politik atau gabungan partai politik, akan merusak tatanan dan mekanisme demokrasi yang sudah berjalan, dimana mekanisme suksesi politik melalui partai politik dan Pemilu.

Menjadi dilema memang. Pada satu sisi, setiap orang memang memiliki hak konstitusional yang sama untuk ikut dalam kontestasi politik dalam PILKADA. Hak untuk dipilih dan memilih itu memang hak normatif yang diatur dalam deklarasi umum PBB tentang HAM, Konvensi tentang Hak Sipil dan Politik, dan UU 45. Ini agaknya, argumen yang dikemukakan MK dalam mengeluarkan keputusan itu.

Dari sudut pandang hak sipil dan politik ini, memang tidak ada persoalan dan memang dalam situasi apapun tanpa terkecuali, hak-hak sipil dan politik tidak boleh dibatasi. Negara bahkan berkewajiban untuk mempromosikan, menghormati dan melaksanakan hak-hak politik warga negara.

Pada sisi lain, keputusan itu akan memporakporandakan bangunan yang mengarahkan kepada stabilitas politik. Pemilihan Umum merupakan wahana yang santun untuk menyelesaikan konflik politik secara damai. PILKADA hanya memilih eksekutif, yang tentu saja kalau sudah terpilih akan bekerja dengan legislative untuk secara bersama-sama membuat keputusan politik. Dilemanya kemudian, bagaimana kestabilan politik akan tercipta jika calon perorangan yang terpilih sementara dirinya tidak memiliki basis pendukung partai politik. Dengan demikian, meski secara normatif calon perseorangan harus diberi kesempatan yang sama, tetapi di balik itu, ada masalah yang lebih mendasar yang harus dipikirkan bersama, yakni masalah kestabilan politik.

Idealnya memang, bangunan tatanan politik harus mampu mengapresiasi dan menyerap dua prinsip sekaligus. Pada satu sisi, hak konstitusional setiap warga negara tanpa terkecuali bisa terjamin hak politiknya untuk dipilih dan memilih, disamping itu juga saat hak untuk dipilih bisa diformulasikan sedemikian rupa sehingga tetap berorientasi dan senantiasa menuju ke arah terciptanya kestabilan politik. Tidak ada manfaatnya setiap orang dijamin hak-haknya untuk dipilih jika kemudian menghasilkan ketidakstabilan politik jika kelak sudah terpilih.

******
Tentu saja keputusan MK tidak bisa dibatalkan. Keputusan itu dilihat dari sudut hak-hak politik warga Negara, dari UUD, HAM maupun konvensi hak sipil dan politik sudah sejalan. Lagi pula, UUD juga tidak menyebutkan bahwa kepala daerah harus dipilih melalui partai politik.

Yang perlu dipikirkan adalah sekarang, bagaimana Pemerintah dan DPR menyusun UU Pemerintah Daerah yang baru. Atau kalau tidak pemerintah segera mengeluarkan PERPU untuk mengisi kekokosongan hukum ini. Masalah mendesak yang menjadi agenda pemerintah yaitu menyusun PERPU tata cara atau mekanisme calon independen.

Ada dua prinsip dasar yang harus menjadi pertimbangan pemerintah dalam menyusun PERPU. Pertama, adanya calon perorangan jangan sampai merusak bangunan demokrasi dengan partai politik sebagai basisnya. Kedua, calon perorangan itu betul-betul merupakan alternatif.

Untuk itu, salah satunya, dalam verifikasi calon perorangan harus diperlakukan sekurang-kurangnya sama dengan verifikasi terhadap partai politik. Atau kalau tidak, lebih berat persyaratan yang ditetapkan. Ini dilakukan semata-mata untuk menjaga apakah calon perorangan itu memiliki basis konstituensi yang besar atau tidak. Sebab kalau tidak, adanya kesempatan calon perorangan bisa hanya menjadi politik dagang sapi calon saja. Dengan demikian, petualang-petualang politik tidak memiliki kesempatan untuk bermain pada ruang politik yang tersedia.

Ellyasa KH Darwis
Opini edisi 62, 6-12 Agustus 2007

0 komentar:

Network