Membaca Fenomena Golput

W.arga Jakarta yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) ternyata cukup tinggi, mendekati angka 33,65%. Angka ini mendekati perolehan suara pemenang. Sinyalemen tingginya angka Golput, jauh-jauh hari sudah lantang dikemukakan oleh LP3ES dan NDI. Jadi, tingginya angka Golput, merupakan konfirmasinya.

Tingginya prosentase, membuat legitimasi hasil PILKADA Jakarta menjadi minimalis. Banyak tafsir yang kemudian berkembang membaca hasil PILKADA ini. Sejauh yang terjadi selama ini, memang belum ada penelitian yang bisa mengkonfirmasi alasan sekitar 35% warga Jakarta tidak menggunakan hak pilihnya dalam PILKADA. Yang jelas-jelas mencuat di publik, sebagian dari mereka tidak menggunakan hak pilihnya karena tidak terdaftar sebagai pemilih dalam tahap pendaftaran pemilih. Jadi memang ada masalah-masalah yang sifatnya structural yang membuat sebagian masyarakat Jakarta di-golputkan karena tidak terjaring dalam proses pendaftaran pemilih dalam PILKADA. Akan tetapi, faktanya, kecenderungan pemilih yang telah terdaftar yang tidak menggunakan hak pilihnya cukup tinggi. Di salah satu TPS misalnya, angka warga Jakarta yang terdaftar dan tidak menggunakan hak pilihnya mencapai 50,6%.


****
Golput memang bisa diartikan sebagai suatu protes terhadap mekanisme dan system yang berjalan. Pada era Orde Baru, Golput dipandang sebagai perlawanan terhadap system yang dalam bahasa seluroh disebut sebagai demokrasi “warung padang”. Golput sebagai perlawanan terhadap masalah-masalah yang sifatnya structural dan sifatnya gerakan moral politik.

Jika dengan membaca dengan kerangka itu, ada dua hal yang bisa dielaborasi lebih lanjut dari fenomena tingginya angka golput dalam Pilkada. Pertama, Golput dalam Pilkada Jakarta bisa dibaca sebagai prostes terhadap hegemoni dan oligarki partai politik. Partai politik dalam mengusung calon sangat kental dengan nuansa politik dagang sapi dan tidak memberi ruang aspirasi masyarakat pemilih kepada partai politiknya. Partai politik merumuskan kepentingannya sendiri tanpa konfirmasi kepada pendukung dalam mengusulkan calon dalam kontestasi politik PILKADA.

Jika bacaan ini benar, maka tingginya angka Golput itu harus menjadi pekerjaan rumah bagi partai-partai politik di Jakarta untuk secepatnya kembali memikirkan formulasi agar konstituennya bisa kembali merepat.

Kedua, Golput juga bisa ditafirkan sebagai manifestasi sikap kritis yang menghendaki adanya perubahan system politik dalam electoral law dan electoral process. Pada Pilkada Jakarta, momentumnya adalah keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan UU Pemerintahan Daerah terkait item calon perorangan. Seperti kita tahu, menjelang pelaksanaan PILKADA Jakarta, secara bersamaan keluar keputusan MK yang melapangkan jalan adanya calon perorangan dalam PILKADA. Seperti diketahui, menjelang pelaksanaan PILKADA, kandidat-kandidat yang tidak mendapatkan kendaraan politik kemudian menggunakan peluang politik dengan adanya calon perorangan dalam PILKADA, meski keputusan MK itu belom operasional.

Ketiga, mencuatnya angka golput itu juga bisa dibaca bahwa masyarakat Jakarta yang tidak peduli terhadap politik cukup tinggi. Masyarakat yang tidak hirau, tidak peduli dengan arah kebijakan politik DKI Jakarta lima tahun yang akan datang cukup tinggi. Dengan membaca penoma golput dari sudut pandang ini, maka bisa diartikan bahwa tingkat apatisme politik masyarakat Jakarta terhadap masalah politik sangat rendah. Tentu apatisme politik seperti itu terkait dengan perjalanan politik selama ini, dimana tingkat partisipasi masyarakat politik yang tinggi seetelah reformasi, tetapi tidak ada korelasinya dengan membaiknya tarap kehidupan masyarakat. Politik dengan demikian, hanya menjadi urusan elit belaka dan tidak memiliki hubungan dengan masalah-masalah nyata yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.

*****

Jadi memang tidak ada penjelasan tunggal untuk menganalisis tingginya angka Golput dalam Pilkada Jakarta. Banyak variable yang harus dilihat secara seksama dan hati-hati. Meskipun demikian, satu hal penting yang harus dicatat adalah, bahwa tingginya angka Golput itu merupakan sinyal bahwa ada jarak yang cukup menganga antara kebijakan elit politik dan aspirasi yang berkembang pada tingkat basis pemilih. Partai politik bicara kepentingannya sendiri dan kemudian masyarakat mengekspresikan sikapnya sendiri.

Apakah dengan demikian tingginya angka Golput itu merupakan cermin dari kinerja partai politik itu sendiri? Tampaknya demikian. Sebab partisipasi politik masyarakat pada dasarnya mencerminkan gambaran dari seberapa jauh partai politik telah menjalan peran dan fungsinya sebagai wahana instutusi politik rakyat. Angka Golput yang tinggi, jelas menggambarkan kinerja partai-partai politik dalam memobilisasi basis dukungan. Lebih-lebih jika dilihat, pada momen PILKADA DKI, pada dasarnya juga merupakan pemetaan positioning politik menjelang Pemilu 2009.

Oleh karena itu, tingginya angka Golput itu kemudian menjadi pekerjaan rumah bagi partai politik menjelang Pemilu 2009. Partai-partai politik harus sadar bahwa terjadi perubahan sikap politik yang cukup besar pada tingkat arus bawah. Jika Golput itu merupakan cerminan dari apatisme politik masyarakat Jakarta, maka ada waktu dua tahun, partai-partai politik selain PKS untuk mengaca diri. Segera berbenah untuk melakukan konsolidari politik di berbagai lini agar simpati dan partisipasi politik masyarakat Jakarta kembali tumbuh.

Tentu saja, mengembalikan kepercayaan politik masyarakat bukan pekerjaan simsalabin. Diperlukan kerja-kerja sistematis dan terorganisir dengan mengakomodasi aspirasi politik basis pendukung.

Ellyasa KH Darwis
Mingguan Opini, edisi 63 13-20 Agustus 2007

Network