Kemenangan Nurlaela dan RUU BHP

Pengadilan Tinggi Jakarta memenangkan Nurlaela (50}, mantan guru SMP Negeri 56 yanng dipidakan karena nekad mengajar saat gedung sekolah SMPN 56 diruislag. Bukan hanya itu, statusnya sebagai PNS pun kemudian dicabut oleh Gubernur Sutiyoso. Kegigihannya itu dilandasi oleh semangat dan kenyakinannya untuk membela dunia pendidikan agar tidak dikalahkan oleh kepentingan bisnis.

Tentu kepentingan bisnis mengalahkan dunia pendidikan tidak akan berhenti dengan menangnya Nurlaela di Pengadilan Tinggi Jakarta. Kemenangan itu boleh jadi hanya akan menjadi symbol bahwa masih ada guru yang melawan keputusan politik yang mengalahkan kepentingan pendidikan untuk kepentingan bisnis. Pendapat atau kenyakinan politik seperti dimiliki Nurlaela untuk sekarang ini merupakan narasi budaya pinggiran sementara kepentingan bisnis telah menjadi narasi budaya dominan. Arus budaya metropolitan yang terus dikembangkan di kota ini, menempatkan kepentingan publik, termasuk kepentingan pendidikan menjadi suatu yang subordinate dengan kepentingan bisnis. Oleh karena itu, selalu bisa dikalahkan.

Kemenangan Nurlaela dengan sendirinya tidak membatalkan ruislag SMP Negeri 56. Akan tetapi Nurlaela telah memberikan pelajaran kepada kita semua, bahwa kepentingan dunia pendidikan harus dibela dan hukum telah membuktikan dirinya tidak bersalah.

****
Pada saat Pengadilan Tinggi Jakarta memutus Nurlaela tidak bersalah. Rencana Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) sedang dikritisi olah banyak kalangan, termasuk ke DPR. Membaca draft RUU BHP itu, maka kesan bahwa dunia pendidikan akan diarahkan seolah-olah mengelola bisnis, tidak terhindarkan. Muatan RUU BHP mengkonfirmasi fakta yang sudah berkembang selama ini, dimana uang menjadi penentu. Hanya kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki sumberdaya modal yang kuat saja yang dapat menikmati pendidikan yang memadai.

Lembaga pendidikan, kemudian tak ubahnya lembaga bisnis. Sebagaimana bisnis pada umumnya, maka PMA pun boleh masuk ke dalam lembaga pendidikan kita. Kelak, jika Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, maka pihak asing akan sangat terbuka untuk masuk dan terlibat dalam pendirian institusi pendidikan. Dalam pasal 2 RUU BHP (Badan Hukum Pendidikan) disebutkan secara tegas pihak asing bersama BHP Indonesia diperkenankan mendirikan lembaga pendidikan dengan modal sampai 49%.

Semua kalangan tentu mafhum, untuk penyelenggaraan kualitas/mutu pendidikan memang dibutuhkan modal, dana dan skill yang memadai. Modal tentu saja menjadi elemen penting yang akan menentukan tercapai tidaknya visi, missi dan tujuan pendidikan. Pertanyaannya kemudian, jika belum-belum sudah dibuka peluang pihak asing bersama BHP Indonesia boleh mendidirikan lembaga pendidikan dengan modal sampai 49% tanpa mempertimbangkan apakah visi pendidikan nasional kita. Jadi seolah-olah masalah pendidikan hanyalah masalah kelangakaan dana, sementara konsepsi pendidikannya sendiri, tidak menjadi perhatian.

Salah satu kritik yang paling mendasar dari RUU BHP adalah ketidakjelasakan konsep visi dan misi pendidikan. Dalam penjelasan hanya disebutkan bahwa system pendidikan nasional disusun berdasarkan visi pendidikan nasional, tak ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan visi pendidikan nasional. Muatan RUU BHP lebih menitik beratkan kepada masalah-masalah teknis pengelolaan pendidikan. Tampak jelas juga, jika RUU BHP ini disyahkan maka akan berkurang tanggaung jawab pemerintah terhadap masalah pendidikan. Sebaliknya, swasta baik dalam negeri maupun asing, diperkenankan untuk masuk dalam bisnis lembaga pendidikan. Sudah pasti pendidikan untuk semua, akan semakin jauh terjangkau.

Jika demikian halnya, maka konsepsi demokrasi pendidikan yang selama ini didengung-dengungkan, maknanya akan berubah menjadi kalangan atau orang tua yang kuat secara ekonomi saja yang memiliki kesempatan untuk memilih dan menyekolahkan anaknya. Jadi kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dengan mutu yang tinggi dengan sendirinya sudah dibatasi oleh sekat-sekat status kelas social ekonomi orang tua murid.


*****
Spirit dibalik perjuangan Nurlaela adalah agar dunia pendidikan tidak dikalahkan oleh kepentingan bisnis. Yang jadi soal kini, masalah mengalahkan dunia pendidikan demi kepentingan bisnis tidak lagi dalam wujud fisik sebagaimana kasus ruilag SMP Negeri 56.

Spirit dalam RUU BHP jauh lebih dari itu, sekolah tidak lagi menjadi wahana untuk mencari ilmu pengetahuan, mengasah skill agar anak didik mampu menjawab persoalan hidupnya kelak. Sebaliknya, ilmu pengetahuan atau mengajarkan ilmu pengetahuan adalah komoditi. Mendidik anak-anak agar berkembang aras knowledge, attitude dan psychomotor-nya adalah masalah bisnis. Di sini tidak berlaku pepatah any scientific knowledge is public knowledge.

Adakah ini pertanda bahwa pemerintah hendak cuci tangan dari tanggungjawab konstitusionalnya, mencerderdaskan kehidupan bangsa serta tanggung jawab untuk menyiapkan generasi mendatang melalui pendidikan agar bangsa ini tetap eksis di masa depan.
Tabloid Opini Indonesia, edisi 66/3-9 Sept 2007

Ellyasa KH Darwis

1 komentar:

Anonymous said...

Kehormatan untuk yang berhak. Ia tidak berhak dicopot statusnya karena ia menentang kebijakan bosnya yang secara kemanusiaan lebih memihak kepada modal.

Network