Individualisasi Pendidikan

Opini Indonesia, Th II Edisi 56/25 Juni-2 Juli 2007
BELAKANGAN gencar ditayangkan iklan pemerintah tentang sekolah kejuruan dan dunia kerja. Arah iklan itu jelas, agar masyarakat menyekolahkan anak-anaknya agar mempertimbangkan skill dan kompetensi yang tengah dibutuhkan dalam dunia kerja. Tentu saja ini bukan suatu yang baru, itu hanya lagu lama dengan bungkus baru. Dulu kita mengenal adanya konsep link and match, konsep yang diusulkan agar dunia pendidikan harus relevan dengan kebutuhan tenaga kerja. Untuk itu dunia pendidikan semua diarahkan untuk kepentingan dunia kerja yang sedang dibutuhkan.

Sekali lagi isi pesan itu bukan hal baru. Sejarah pendidikan di negeri ini memang selalu dirancang untuk menjawab kepentingan-kepentingan yang sesaat. Dari untuk kepentingan mengisi pamong praja, sampai untuk dunia kerja.

Sepanjang sejarahnya, institusi pendidikan selalu dirancang untuk memenuhi kebutuhan yang sangat praktis, yakni birokrat dan tuntutan dunia kerja. Sampai sekarang, rancangan itu jika dilihat dari outnya selama ini, sama sekali tidak menunjukkan bahwa institusi pendidikan di negeri ini mampu melahirkan out put yang betul-betul siap kerja sesuai dengan bidangnya. Wajar jika sedikit sekali menghasilkan creator yang mampu menemukan serangkaian inovasi-inovasi.

****

HENRY A Giroux dalam Border Crossings: Cultural Worker and the Politics of Education yang menuliskan keprihatinannya terhadap prakteks-prakteks pendidikan yang sangat berorientasi kepada efesiensi ekonomis. Institusi pendidikan, jika awalnya institusi pendidikan diarahkan untuk kepentingan public kemudian bergeser kepada kearah yang sangat pragmatis. Pendidikan menjadi tak ubahnya mesin produksi yang mengeluarkan alumninya untuk kepentingan dunia kerja.

Seluruh proses pembelajaran dicurahkan untuk kepentingan dunia kerja. Kompetansi yang ditujupun demikian, hanya untuk kepentingan dan menjawab dunia kerja. Oleh karena itu terjadi proses individualiasasi dalam proses pendidikan, jika dahulu proses belajar mengajar merupakan proses belajar kolektive maka kini yang terjadi adalah proses belajar mengajar menjadi kegiatan yang sifatnya individual.

Di sini, terjadi proses yang sangat sistematis dalam pendidikan. Pendidikan tidak lagi melihat anak didik sebagai sebagai subyek yang yang harus dipupuk dan beri peluang untuk mengembangkan sisi humanisenya yang liberatif. Kini, dunia pendidikan memandang anak didik dengan potensi insaninya, hanya semata-mata untuk kepentingan kapitalisme semata. Bentuknya yang paling vulgar adalah tampak pada orientasinya dimana pendidikan hanya untuk menghasilkan tenaga-tenaga kerja yang siap pakai di bursa tenaga kerja. Pendeknya, bentuknya yang paling vulgar lagi adalah tampak dalam jargon dunia pendidikan siap memenuhi kebutuhan dunia kerja.


*****
PADAHAL sudah lama berkembang kesadaran dalam dunia pendidikan. Dalam perubahan social, dunia pendidikan merupakan institusi yang paling ketinggalan jaman. Tidak pernah ada institusi pendidikan yang dirancang mampu menjawab perkembangan jaman yang akan datang.

Banyaknya penganguran terdidik sekarang merupakan bukti betapa tidak mampunya dunia pendidikan menjawab persoalan jaman. Pendidikan yang dirancang semata-mata untuk memenuhi kebutuhan kerja, banyak melahirkan orang-orang yang gagap saat terjadi over stock. Saat kesempatan kerja sedikit, sementara angkatan kerja melimpah ruah. Jadi pendidikan yang semata-mata hanya diarahkan untuk kepentingan memenuhi kerja, selain melahirkan tukang-tukang, juga melahirkan produk yang kehilangan orientasi saat kesempatan kerja yang sesuai bidangnya tidak tersedia di bursa kerja.

Jadi apa yang terjadi selama ini pada dasarnya merupakan hasil nyata dari kebijakan pendidikan yang diterapkan selama ini. Anak didik disiapkan menjadi tukang, pada sisi lain proses pendidikannya sangat menekankan kepada invidulaisasi. Akibatnya, menghasilkan ---sebagaimana digambarkan WS Rendra dalam Seonggok Jagung ---orang-orang yang terasing di tengah-tengah. Orang terpelajar tetapi asing di lingkungan sosialnya dan tidak memiliki kreasi untuk menghadapi realitas kehidupan yang dihadapi.

Pendidikan yang semata-mata untuk memenuhi kebutuhan kerja merupakan proses dehumanisasi, proses reduksi yang melihat dunia pendidikan semata-mata untuk kepentingan ekonomi belaka. Wajar kemudian, jika institusi pendidikan melahirkan orang-orang yang tidak siap dengan perubahan jaman dan tidak memiliki komitment atau pemihakan terhadap masalah-masalah social budaya masyarakatnya.

Inilah proses dehumanisasi melalui institusi pendidikan, dimana pendidikan tidak diarahkan agar manusia mampu menjawab persoalan hidupnya dan dipersiapkan sebagai kawah candradimuka untuk meneguhkan proses aktualisasi nilai-nilai dasar manusia.
Pendidikan diam-diam sebagai dipandang sebagai investasi untuk kepentingan dunia kerja. Sayangnya, sebagian besar yang terjadi adalah lapangan kerja tak diraih sementara kemampuan beradaptasi dengan realitas kehidupan yang tidak terduga tidak dimiliki.

Ellyasa KH Darwis



Network