Pelanggaran HAM Berkurang?

Opini Indonesia, Th. II, ed. 054, 11-17 Juni2007
Adalah Hina Jilani, Wakil Khusus Sekjen PBB yang mengatakan bahya meski kekerasan terhadap para pembela HAM berkurang, tidak berarti kerja penegakan HAM di Indonesia membaik. Dalam pengamatannya, penegakan HAM di Indonesia mulai membaik. Jumlah laporan kekerasan terhadap pembela HAM pada 2003 mencapai 13 kasus dan pada 2004 terdapat 14 kasus. Penurunan terjadi pada 2005 bahwa yang dilaporkan hanya tujuh kasus, pada 2006 hanya dua kasus, dan pada 2007 hingga kemarin baru tercatat tiga kasus.

Tak luput dari catatan, dibalik apresiasi menurunnya kekerasan terhadap pembela HAM, Jilani juga mencatat ganjalan dalam penanganan kasus kematian munir yang sampai saat ini belum jelas. Soal lainnya, adalah terkait penerapan syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Aceh selama ini memang menjadi perhatian dunia internasional terkait soal issue HAM. Hal yang sama, juga di Papua. Dua daerah itu memang selama ini banyak dilaporkan adanya pelanggaran HAM. Di Aceh ada keprihatinan karena meningkatnya penggunaan hukum syariah di NAD dan pengaruhnya yang merugikan terhadap perempuan. Para perempuan mengeluh bahwa secara tak seimbang mereka menjadi sasaran dari pemeriksaan dan sweeping kesusilaan,

Sementara di Papua, memang sering ada laporan-laporan tentang eksekusi ekstrayudisial, penyiksaan dan perlakuan buruk, penggunaan kekuatan secara berlebihan dalam menghadapi para pengunjuk rasa, dan gangguan terhadap para pembela HAM.

****
Statemen Jina di atas tentu suatu yang menggembirakan, pada sisi yang lain juga bisa menjadi cambuk agar masalah-masalah pelangaran HAM yang selama ini masuk katagori dark number, seperti kasus Munir, Trisakti dan Semanggi yang selama ini menjadi PR besar dalam sejarah penanganan HAM. Tentu banyak kasus-kasus yang akan panjang kalau di pajang di sini.

Selama ini memang harus diakui problem yang cukup akut dalam masalah penanganan HAM terletak pada sisi normatif dan implementasi dilapangan. Ada dua hal penting yang terjadi, pada satu sisi, Lembaga-lembaga HAM menjadi mesin birokrasi, belum bisa mendorong promosi dan perlindungan HAM. Pada sisi lain, pemerintah juga kurang mendukung fungsi lembaga HAM dan tidak tercatat telah menjalankan kebijakan yang berperspektif HAM. Jadi persoalan norma dan implementasi menjado soal yang saling kait mengait satu sama lain.

Belum terselesaikannya berbagai pekerjaan rumah pelanggaran HM masa lalu itu bukan karena ketiadaan norma hukum, melainkan karena masing-masing institusi kenegaraan dan pemerintah tidak mampu untuk mengimplementasikan norma yang telah ada. Tampak ada tidak kesamaan pandangan institusi kenegaraan dalam masalah HAM. Masalah HAM belum menjadi perspective yang menjadi mainstream dalam setiap implementasi kebijakan. Itu sebabnya, maka masalah HAM masih tampak sebagai suatu yang parsial atau berdiri sendiri.

Tidak heran kemudian, apabila sampai saat ini negeri ini masih tergadai oleh persoalan masa lalu yang tidak kunjung bahkan naga-naganya, menunjukkan tidak akan bias selesai. Banyak pelaku pelanggaran HAM pada masa lalu yang dibebaskan dengan alas an tidak terbukti melakukan kejahatan yang disangkakan kepadanya. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), yang diharapkan bisa menjadi wahana dan mekanisme penyelesaian kasus-kasus pelanggaran di masa lalu tidak jadi dibentuk, sebab payung hukumnya (UU) oleh MK dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi.

Masalahnya memang mendasar. Kendala utama dalam menangani pelanggaran HAM adalah ketiadaan kepastian hukum. Pelaku pelanggaran HAM terus menikmati adanya pembebasan dari sanksi hukum/impunitas atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.

Tampaknya, kita akan terus tergadai dengan persoalan-persoalan pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu. Kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), meski ada dasar dalam Undang-undang Pemerintahan untuk didirikannya Pengadilan HAM bagi NAD, untuk mengadili para pelaku pelanggaran di masa mendatang. Namun UU itu tidak memiliki ketetapan untuk membawa para pelaku pelanggaran HAM di masa lalu ke pengadilan.

***
Sejak reformasi politik 1998, negeri ini cukup produktif terhadap berbagai hukum yang terkait HAM. Koreksi terhadap hukum yang melanggar HAM dilakukan sejak perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sampai ratifikasi kovenan internasional. Kemudian dari rencana aksi nasional telah tertera sejumlah keinginan pemerintah di bidang HAM. Dari sisi konsistensi dalam pemroduksian hukum, boleh jadi produksi hukum HAM adalah yang paling konsisten dan progresif dibandingkan dengan hukum lainnya.

Persoalannya kemudian adalah realitas empiriknya. Hukum HAM tampaknya terjebak pada apa yang disebut positivisme hukum. Hukum seakan menjadi alat untuk memanipulasi persepsi masyarakat soal kondisi HAM. Hukum menjadi instrumen untuk diplomasi internasional.

Konstitusi menjamin hak berorganisasi dan hak memeluk agama. Tetapi, dalam praktik pemeluk agama minoritas tetap merasa tidak aman. Mereka dikejar-kejar seakan tidak punya hak hidup. Dan, aparat negara hanya menjadi penonton. Demikian juga soal kebebasan berorganisasi dan berpikir diakui dalam teks. Namun, ketika hak itu mau diekspresikan, teks itu seakan kehilangan makna. Sekelompok orang bisa menjadi hakim terhadap kelompok lain. Lagi-lagi aparat negara hanya menjadi penonton.

Jadi memang tetap menunjukkan kesenjangan. Kesenjangan antara teks hukum dan implementasi teks, kesenjangan antara hak sipil dan politik dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Ellyasa KH Darwis



Network