Opindo, Edisi 46, 16 -22 Maret 2007
Adalah Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda berharap Perjanjian Ekstradisi RI-Singapura yang optimis perjanjian itu akan dapat diselesaikan secara politik di tingkat menteri sebelum 2008, sehingga hal itu tidak perlu langsung dibawa ke tingkat kepala negara. Kita tahu, perjanjian ekstradisi dengan Singapura itu merupakan satu hal yang penting dalam pemberantasan korupsi di negeri ini. Mengingat banyak tersangka korupsi yang kemudian lari dan bersembunyi di negeri berlambang Singa itu.
Upaya membangun perjanjian itu, bukan suatu yang mudah. Pembicaraan kea rah itu dilakukan dilakukan sekitar 30 tahun, tapi selama ini pemerintah Pemerintah Singapura masih mempersulit terwujudnya perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Pelan tapi pasti, upaya kearah itu sedang berlangsung dan kini tinggal menyisakan bebarapa pasal crucial yang masih harus secara sabar dan telaten dibicarakan kedua belah pihak.
Salah satu ganjalan untuk mewujudkan perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura adalah perbedaan pada jenis dan catatan kejahatan (list crime). Indonesia menginginkan open list, artinya tidak perlu ada ketentuan kejahatan tertentu sedangkan Singapura menginginkan fix list yang menggariskan perlunya ditentukan kejahatan tertentu.
Dengan list crime itu pula, Singapura menginginkan agar orang yang bisa diekstradisi adalah mereka yang dihukum minimal dua tahun. Sementara pemerintah RI menginginkan untuk mereka yang dihukum satu tahun. Soal lain, yang juga harus didiskusikan lebih lanjut adalah masalah pemberlakukan asas double criminality Indonesia dan Singapura belum sepakat terhadap ketentuan ini, walaupun secara prinsip sama-sama mengakui bahwa perjanjian ini menganut prinsip double criminality.
****
Tampaknya, Singapura, negeri yang disebut-sebut sebagai Negara yang bebas korupsi itu memang punya niat untuk menyelesaikan masalah ini bersama. Meski pada prakteknya, tidak bisa dilakukan semudah membalik telapak tangan. Syukurlah, perundingan antara RI-Singapura mengenai Perjanjian Ekstradisi masih menyisakan dua pasal dari total 19 pasal. Tujuh belas pasal sudah selesai. Dua pasal itu, lebih pada masalah teknis sebetulnya, teknis hukumnya, antara lain, tentang retroaktif. Walaupun Singapura juga tidak serta merta menolak, tapi dalam perundingan beberapa lama, itu yang dinegosiasikan.
Perjanjian Ekstradisi antara RI-Singapura menyita perhatian publik karena jika kesepakatan itu dapat disetujui maka pemerintah Indonesia akan memiliki kesempatan untuk melacak para koruptor dan asetnya di negara kota itu. Jauh-jauh hari Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh sudah mengincar 12 orang koruptor yang lari ke Singapura untuk segera diekstradisi guna mempertanggungjawabkan perbuatannya. Satu dari yang diincar itu adalah Agus Anwar, terdakwa korupsi dana BLBI sebesar Rp 1,98 triliun yang kini bermukim di Singapura. Agus Anwar dkk, diincar untuk segera diekstradisi.
Tidak hanya itu, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh juah-jauh haru sudah membuat komisi atau tim untuk menangani kasus korupsi oleh koruptor yang belum berhasil ditangkap karena melarikan diri ke luar negeri. Tim itu bertugas menelusuri para terpidana atau tersangka korupsi yang bersembunyi di luar negeri dan mencari bukti kuat di tubuh atau instansi tempat pelaku korupsi guna mempermudah menyeret para koruptur itu ke pengadilan atau pejara.
***
Sudah bukan rahasia lagi bahwa alotnya Pemerintah Singapura juga akibat mereka belum melihat ada keuntungan yang bisa diambil dari perjanjian tersebut. Apalagi, para koruptor tersebut membawa uang yang tidak sedikit ke negerinya. Sementara, suatu perjanjian ekstradisi tentunya menganut asas mutual, sama-sama membutuhkan. Hal ini yang tidak terlihat. Tidak ada good will (kemauan politik) dari Singapura, makanya bertahun-tahun seakan Indonesialah yang terlihat mengiba, meminta perjanjian tersebut.
Sementara dengan negara-negara tetangga lainnya Indonesia tidak mengalami kendala dalam menyusun perjanjian ekstradisi ini. Lihat saja dengan Australia yang memiliki sistem hukum berbeda dengan Indonesia, kita sudah memiliki perjanjian ekstradisi sejak 1999. Kemudian dengan Malaysia, sudah terealisasi sejak 1974. Sedangkan dengan Filipina pada tahun 1976, dan dengan Hong Kong tahun 2001.
Jadi jika sekarang ini ada niat baik dari Singapura sendiri, itu tidak lepas dari citra internasional juga. Negara yang terkenal oleh komunitas internasional sebagai Negara yang bebas korupsi itu, tidak mau disebut sebagai Negara yang melindungi koruptor dari negeri ini.
Tampaknya, Singapura tidak mau disebut-sebut sebagai Negara yang melindungi koruptor. Makanya, mau membuka pembasan soal ini. Hanya saja memang sangat alot, mengingat Singapura tidak bisa memetik manfaatkan langsung dari perjanjian ini.
Barangkali salah satu menggerakkan adalah Negara Singa itu tidak mau disebut sebagai Negara yang memetik keuntungan dari pelaku korupsi di negeri ini.
Kita tahu, ada beberapa negara yang menghalalkan segala uang influx dari manapun asal-usulnya seperti Mauritus, Bahamas, Nassau, Panama, Vanuatu, Bermuda. Dana hasil korupsi ex Indonesia diinvestasikan dengan sangat aman. Kelak, jika situasi aman dan peluang terbuka, uang itu akan kembali masuk ke negeri ini sebagai investasi. Apabila apabila masuk dalam banking system maka uang tersebut akan tercuci (money loundry) alias halal. Tampaknya, Singapura memang tak ingin disejajarkan dengan Negara itu. Tentu tidak, sebab Singapura adalah Negara yang bebas korupsi.
Ellyasa KH Darwis
Adalah Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda berharap Perjanjian Ekstradisi RI-Singapura yang optimis perjanjian itu akan dapat diselesaikan secara politik di tingkat menteri sebelum 2008, sehingga hal itu tidak perlu langsung dibawa ke tingkat kepala negara. Kita tahu, perjanjian ekstradisi dengan Singapura itu merupakan satu hal yang penting dalam pemberantasan korupsi di negeri ini. Mengingat banyak tersangka korupsi yang kemudian lari dan bersembunyi di negeri berlambang Singa itu.
Upaya membangun perjanjian itu, bukan suatu yang mudah. Pembicaraan kea rah itu dilakukan dilakukan sekitar 30 tahun, tapi selama ini pemerintah Pemerintah Singapura masih mempersulit terwujudnya perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Pelan tapi pasti, upaya kearah itu sedang berlangsung dan kini tinggal menyisakan bebarapa pasal crucial yang masih harus secara sabar dan telaten dibicarakan kedua belah pihak.
Salah satu ganjalan untuk mewujudkan perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura adalah perbedaan pada jenis dan catatan kejahatan (list crime). Indonesia menginginkan open list, artinya tidak perlu ada ketentuan kejahatan tertentu sedangkan Singapura menginginkan fix list yang menggariskan perlunya ditentukan kejahatan tertentu.
Dengan list crime itu pula, Singapura menginginkan agar orang yang bisa diekstradisi adalah mereka yang dihukum minimal dua tahun. Sementara pemerintah RI menginginkan untuk mereka yang dihukum satu tahun. Soal lain, yang juga harus didiskusikan lebih lanjut adalah masalah pemberlakukan asas double criminality Indonesia dan Singapura belum sepakat terhadap ketentuan ini, walaupun secara prinsip sama-sama mengakui bahwa perjanjian ini menganut prinsip double criminality.
****
Tampaknya, Singapura, negeri yang disebut-sebut sebagai Negara yang bebas korupsi itu memang punya niat untuk menyelesaikan masalah ini bersama. Meski pada prakteknya, tidak bisa dilakukan semudah membalik telapak tangan. Syukurlah, perundingan antara RI-Singapura mengenai Perjanjian Ekstradisi masih menyisakan dua pasal dari total 19 pasal. Tujuh belas pasal sudah selesai. Dua pasal itu, lebih pada masalah teknis sebetulnya, teknis hukumnya, antara lain, tentang retroaktif. Walaupun Singapura juga tidak serta merta menolak, tapi dalam perundingan beberapa lama, itu yang dinegosiasikan.
Perjanjian Ekstradisi antara RI-Singapura menyita perhatian publik karena jika kesepakatan itu dapat disetujui maka pemerintah Indonesia akan memiliki kesempatan untuk melacak para koruptor dan asetnya di negara kota itu. Jauh-jauh hari Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh sudah mengincar 12 orang koruptor yang lari ke Singapura untuk segera diekstradisi guna mempertanggungjawabkan perbuatannya. Satu dari yang diincar itu adalah Agus Anwar, terdakwa korupsi dana BLBI sebesar Rp 1,98 triliun yang kini bermukim di Singapura. Agus Anwar dkk, diincar untuk segera diekstradisi.
Tidak hanya itu, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh juah-jauh haru sudah membuat komisi atau tim untuk menangani kasus korupsi oleh koruptor yang belum berhasil ditangkap karena melarikan diri ke luar negeri. Tim itu bertugas menelusuri para terpidana atau tersangka korupsi yang bersembunyi di luar negeri dan mencari bukti kuat di tubuh atau instansi tempat pelaku korupsi guna mempermudah menyeret para koruptur itu ke pengadilan atau pejara.
***
Sudah bukan rahasia lagi bahwa alotnya Pemerintah Singapura juga akibat mereka belum melihat ada keuntungan yang bisa diambil dari perjanjian tersebut. Apalagi, para koruptor tersebut membawa uang yang tidak sedikit ke negerinya. Sementara, suatu perjanjian ekstradisi tentunya menganut asas mutual, sama-sama membutuhkan. Hal ini yang tidak terlihat. Tidak ada good will (kemauan politik) dari Singapura, makanya bertahun-tahun seakan Indonesialah yang terlihat mengiba, meminta perjanjian tersebut.
Sementara dengan negara-negara tetangga lainnya Indonesia tidak mengalami kendala dalam menyusun perjanjian ekstradisi ini. Lihat saja dengan Australia yang memiliki sistem hukum berbeda dengan Indonesia, kita sudah memiliki perjanjian ekstradisi sejak 1999. Kemudian dengan Malaysia, sudah terealisasi sejak 1974. Sedangkan dengan Filipina pada tahun 1976, dan dengan Hong Kong tahun 2001.
Jadi jika sekarang ini ada niat baik dari Singapura sendiri, itu tidak lepas dari citra internasional juga. Negara yang terkenal oleh komunitas internasional sebagai Negara yang bebas korupsi itu, tidak mau disebut sebagai Negara yang melindungi koruptor dari negeri ini.
Tampaknya, Singapura tidak mau disebut-sebut sebagai Negara yang melindungi koruptor. Makanya, mau membuka pembasan soal ini. Hanya saja memang sangat alot, mengingat Singapura tidak bisa memetik manfaatkan langsung dari perjanjian ini.
Barangkali salah satu menggerakkan adalah Negara Singa itu tidak mau disebut sebagai Negara yang memetik keuntungan dari pelaku korupsi di negeri ini.
Kita tahu, ada beberapa negara yang menghalalkan segala uang influx dari manapun asal-usulnya seperti Mauritus, Bahamas, Nassau, Panama, Vanuatu, Bermuda. Dana hasil korupsi ex Indonesia diinvestasikan dengan sangat aman. Kelak, jika situasi aman dan peluang terbuka, uang itu akan kembali masuk ke negeri ini sebagai investasi. Apabila apabila masuk dalam banking system maka uang tersebut akan tercuci (money loundry) alias halal. Tampaknya, Singapura memang tak ingin disejajarkan dengan Negara itu. Tentu tidak, sebab Singapura adalah Negara yang bebas korupsi.
Ellyasa KH Darwis