Instansi Berkembang Tak Terkendali

Opindo, Edisi 48, 30 April - 6 Mei 2007

Adalah Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara atau Menneg PAN Taufiq Effendi mengakui, sejak diberikan keleluasaan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000, lembaga di daerah tumbuh tak terkendali. Bahkan, ada kabupaten atau kota yang memiliki 40 instansi pemerintahan atau dinas. Pertumbuhan instansi pemerintah itu hampir terjadi pada seluruh unsur dan aspek sehingga membuat kondisi obyektif birokrasi pemerintahan menghadapi masalah serius.

Salah satu aspek yang menghadapi persoalan serius itu adalah di bidang kelembagaan (organisasi birokrasi). Di tingkat daerah, sejak diberikan keleluasaan diskresioner untuk membentuk dinas/instansi berdasarkan PP No 84/2004, pertumbuhan jumlah dinas/instansi lepas kendali. Sebelum adanya PP itu, jumlah dinas/instansi di daerah rata-rata 11 unit. Tetapi, sekarang berkembang menjadi rata-rata 25 lembaga, bahkan ada kabupaten/kota yang membentuk dinas/instansi sebanyak 40 unit. Pembentukan lembaga tidak lagi berdasarkan prinsip pengorganisasian yang rasional dan obyektif, tetapi untuk mengakomodasi kepentingan elite lokal dan organisasi pemerintahan daerah.

Parahnya lagi, pertimbangan dalam pembentukan instansi itu lebih cenderung untuk kepentingan akomodasi. Jadi nunsa dan kepentingan untuk memberi tempat siapa pejabat yang belum kebagian tempat, kemudian dibentuk dinas/instansi dengan mencari-cari tugas yang sesuai dengan pejabat itu, sangat kelihatan.

Sedangkan di tingkat pemerintah pusat, hingga kini terbentuk 52 lembaga ad hoc yang dinamai dewan, komisi, dan badan sebagai wujud ketidakpercayaan dan ketakmampuan lembaga yang secara fungsional bertanggung jawab menangani sektor tugas tertentu. Lembaga ini menduplikasi tugas departemen atau lembaga yang ada dan akan membebani APBN.

*****
Meskipun banyak instansi dibuat, tidak dengan sendirinya pelayanan public kemudian bisa berjalan maksimal. Salah satu persoalan yang dikeluhkan oleh banyak kalangan adalah lambannya biroraksi.

Ada tiga persoalan yang tampaknya menjadi persoalan. Pertama, Efektifitas. Struktur kelembagaan dan kinerja birokrasi cenderung tidak efektif. Dalam konteks instansi di daerah, hal ini terkait dengan persoalan banyak instansi yang terkadang tumpah tindih dan menjadikan mata rantai pelayanan sangat berliku. Padahal pada saat ini, yang dibutuhkan adalah pelayanan yang satu atap dan itu tentu saja membutuhkan instansi yang efektif.

Kedua, implikasi dari banyaknya instansi yang dibuat untuk mengakomodasi orang yang belum kebagian posisi itu, tentu saja berimplikasi kepada besarnya anggaran. Bertambahnya instansi, dengan sendirinya akan menambah alokasi anggaran belanja daerah untuk operasional dan program instansi yang dimaksud. Persoalan ketiga, terkait dengan soal etos kerja. Banyak instansi tidak dengan sendirinya akan menambah kualitas yang meningkat. Banyak soal yang sering jadi ironi. Misalnya, data soal kesehatan antara hasil sensus yang dilakukan biro statistic dengan yang dikeluarkan dinas kesehatan, selalu berbeda. Contoh lain soal keluarga yang masuk katagori miskin, seringkali data yang dimiliki masing-masing instansi berbeda-beda.

Inilah salah satu akibat yang ditimbulkan kalau pembentukan instansi didaerah tidak dirancanng secara matang. Tidak mempertimbangkan unsur efektitas dan efesiensi sesui dengan kebutuhan masyarakat. Pada dasarnya, pembentukan instansi atau lembaga atau dinas, merupakan alat untuk menjamin agar fungsi pelayanan publik berjalan secara cepat dan mudah.

Tampaknya memang mainset dari elit politik di tingkat daerah masih belum berubah. Demikian juga dalam soal cara pandang dalam menempatkan eksistensi diri, yang lebih menempatkan diri sebagai “priyayi” atau pamongpraja pada jaman dulu dibandingkan fungsi sebagai pelayan kepentingan masyarakat.

****

Tentu saja, jika mau ditilik lebih jauh, sumbernya terjadinya amat tekait dengan kelemahan yuridis UU Pemerintahan Daerah yang tidak meletakkan peran Pemerintah Daerah, DPRD dan masyarakat secara seimbang namun tersentral pada Pemerintah Daerah dan DPRD, sehingga kebijakan yang diproduk hanya untuk melayani kepentingan dan ambisi pribadi atas nama Pemerintah daerah dan DPRD sementara kepentingan masyarakat yang seharusnya diprioritaskan diabaikan bagai angin lalu saja. Ironinsinya, hal ini terjadi pada era otonomi daerah.

Padahal, secara teroritik maksud dan tujuan Otonomi Daerah adalah mendekatkan satuan-satuan pengambil kebijakan dengan masyarakat sehingga antara masyarakat dengan pengambil kebijakan terjadi saling interaksi untuk merumuskan kebutuhan dan kepentingan bersama dalam pengambilan kebijakan.

Tampaknya memang apa yang diharapkan itu masih jauh dari harapan. Realitasnya, di lapangan, banyaknya instansi di daerah itu memang terkait dengan konteks politik lokal. Pelayanan publik, partisipasi masyarakat, dan pelayanan birokrasi yang efektif dan efesien, bisa jadi masih merupakan mimpi indah yang tak kapan akan terjadi.

Sebab pada tataran operasionalnya, kebijakan itu sangat terkait dengan kepentingan politik elit lokalnya. Kecenderungan yang mengemuka sekarang ini adalah, munculnya atau banyak instansi di daerah itu terkait dengan akomodasi politik di tingkat lokal. Lebih-lebih pada saat PILKADA Langsung seperti sekarang ini, yang tentu saja, selain menjadi kontestasi elit politik lokal juga menjadi ajang kontestasi birokrat di daerah untuk menduduki jabatan-jabatan penting di daerah.

Hal ini yang tidak dilihat dan dicermati oleh Adalah Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara atau Menneg PAN Taufiq Effendi. Jadi pak Menteri, tidak semata-mata untuk memberi kursi tapi juga balas politik karena dukungan saat PILKADA.


Ellyasa KH Darwis

Network