Masih Tebang Pilih

Opindo, edisi 45,9-15 April 2007

Ketua Umum Dewan Syuro DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menilai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih bersikap 'tebang pilih' dalam soal pemberantasan korupsi. Mereka yang dijerat 'kan orang-orang dekat Megawati, seperti Widjanarko Puspoyo (mantan Dirut Perum Bulog) dan yang terakhir adalah Rokhmin Dahuri (mantan Menteri Kelautan dan Perikanan).

Statamen itu, disampaikan saat berbicara dalam Majelis Silaturrahim Ulama Rakyat (MaSURa) Jatim di Masjid Agung Sunan Ampel, Surabaya, mantan Presiden RI itu menjelaskan sikap 'tebang pilih' itu terlihat dari orang-orang dekat pemerintah yang 'aman' dalam korupsi. Mantan presiden itu dengan bahasa yang puitis menyindir apa yang dilakukan SBY dengan kata-kata’ "Yang dekat dengan Megawati diseret ke pengadilan, tapi mereka yang dekat dengan orang lain justru dibiarkan,"

Seperti diketahui bersama, soal tebang pilih memang menjadi perhatian banyak kalangan dan reaksi cukup lantang dikemukakan oleh kalangan PDIP dan juga kalangan pegiat antikorupsi.

Jika dicermati secara seksama, tebang pilih memang menjadi cara untuk menyingkirkan kekuatan-kekuatan lama yang menjadi rival politik. Dengan cara demikian, maka secara pelan dan pasti rival politik akan buruk citranya di mata public politik. Pada saat yang sama, pemberantaran korupsi dengan cara tebang pilih itu, juga merupakan early warning bagi musuh-musuh politik agar tidak kritis. Jika demikian adanya, maka pemberantasan korupsi yang dilakukan selama ini lebih dominan kepentingan politik jangka pendek pemegang kekuasaan. Di sini, pemegang kuasa sedang unjuk gigi dengan menggunakan agenda pemberantasan korupsi untuk melumpuhkan kekuatan lawan-lawan politiknya.

Di sini, keuntungan politik penguasa bisa diraih dalam sekali dayung. Pertama, kekuatan lawan politik yang tersandung kasus korupsi, secara langsung atau tidak langsung akan dikait-kaitkan dengan partai politiknya. Pelan-pelan akan tercipta stigma politik kalau kalau partai yang bersangkutan memang korup. Dengan demikian pemilih akan menjauh atau tidak mempertimbangkan lagi dalam Pemilu yang akan dating. Kedua, dimata public, maka akan terjadi proses political decay bagi partai yang bersangkutan.

****
Kita tentu masih ingat, salah satu pesona SBY-JK dalam kampanye pemilu lalu alah janji politiknya. Pasangan ini menjanjikan pemberantasan korupsi menegakkan supremasi hukum tanpa pandang bulu. Rakyat mendukung dan setuju dengan janji itu dan sebagai buktinya, mayoritas rakyat memilihnya baik pada putaran pertama maupun pada putaran PILPRES kedua. Pilihan dan dukungan terhadap SBY-JK tentu, dilandasi oleh realitas bahwa negeri ini sangat parah tingkat korupsinya yang secara secara sukses telah mengantar ke jurang kemiskinan dan kisis.
Sayangnya, dukungan politik rakyat itu telah diabaikan. Program pemberantasan korupsi tidak menggembirakan untuk tidak mengatakan jalan di tempat. Banyak memang pelaku korupsi yang ditangkap dan dipenjarakan. Hanya saja, koruptor-koruptor tersebut baru kelas teri. Koruptor kelas kakap yang telah merugikan negara sampai lebih dari Rp 600 triliun dibiarkan bebas begitu saja. Para pengemplang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sampai hari ini tidak jelas arahnya.
Rakyat mungkin kini hanya bisa bermimpi, pemerintah SBY-JK berintak tanpa pandang bulu terhadap korupsi. Tak pandang bulu dalam memberantas korupsi, bukan korupsi-korupsi kelas jalanan yang --walaupun tetap merugikan-- efeknya tidak begitu signifikan, tetapi juga koruptor-koruptor kakap yang belum dipilih untuk ditebang.
---

Pemberantasan Korupsi tampaknya juga mengisararatkan dua hal. Pertama, pemberantasan korupsi secara politik masih sangat simbolik. sekadar menunjukkan kepada public luas bahwa telah dilakukan pemberantasan korupsi. Untuk itu, angka-angka yang selalu diekspose adalah angka statistic dengan misalnya selama tahun ini, dari sekian kasus, telah divonis sekian. Angka statistic ini tentu, jika dilihat sepintas telah menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi telah meningkat baik dari sebaran maupun intensitasnya.

Angka-angka statistic itu, jelas memukau dan bisa membuat berdecak kagum. Hanya saja jika ditelusur lebih dalam, kasus-kasus yang diberantas itu masih kelas teri dan tampak hanya pada pelaku yang powerless. Pelaku yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik kuat, jarang yang bisa disentuh.

Kedua, tampak bahwa sikap politik elit terhadap pemberantasan korupsi mendua. Ketika yang terkena adalah lawan-lawan politiknya, maka dengan sangat antusius akan didukung. Sebaliknya, jika yang terkena adalah orang atau kelompoknya sendiri, maka sikapnya berubah. Jadi jika secara politik upaya pemberantasan korupsi itu menguntungkan kepentingan politik kelompoknya maka akan didukung habis-habisan. Sebaliknya, jika yang terkena adalah kelompoknya sendiri maka akan dukungannya berbeda.

Sikap ini dengan sangat nyata dipertontonkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla saat Bupati Kutai Kertanegara, Syaukani HR ditahan KPK. JK memberikan pembelaan yang tidak proporsional dan tampaknya lupa, bahwa saat kampanye dulu dirinya mengkampanyekan pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu. Irononisnya, bukan memberikan dukungan terhadap KPK sebaliknya, JK dengan tegas mengatakan akan memberikan bantuan hukum kepada Syaukani.

Ellyasa KH Darwis

Network