BPK Pun Pesimis

Opindo, edisi 42, 17-23 Maret 2007

Adalah juru bicara Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK Baharuddin Aritonang yang secara tegas menyatakan, bahwa BPK pesimistis dengan pemberantasan korupsi yang dijalankan pemerintah selama ini. Pesimisme itu berangkat dari kenyataan bahwa program pemberantasan korupsi yang dilakukan selama ini tidak diikuti dengan dengan penataan sistem dan penempatan sumber daya manusia yang baik dalam pengelolaan keuangan dan pengawasan keuangan negara. Jadi memang ada dua persoalan yang mendasar untuk menjamin program pemberantasan korupsi di negeri ini bisa berjalan dan berhasil. Pertama-tama, adalah penataan system yang harus dilakukan di semua jajaran pemerintahan, dan yang kedua adalah soal manusia yang mengelola program keuangan dan pengawasan Negara.

Jika benar persoalannya itu, maka semakin memperkukuh pernyataan lama yang sudah berkembang di masyarakat bahwa pemberantasan korupsi di negeri ini hanyalah asesoris belaka, karena sedari awal tidak dirancang dengan system dan pengawasan serta pengelolaan dengan mempertimbangkan sumberdaya manusia yang memadai. Jadi inilah contoh buruk dari kecenderungan yang berkembang sekarang ini, dengan makin banyak lembaga tetapi justru tidak semakin berkurang korupsi di negeri ini. Jika benar penyataan itu, maka lagi-lagi menunjukkan kepada kita semua bahwa korupsi yang terjadi selama ini terjadi lebih karena tidak adanya kemampuan mengelola dan melakukan pengawasan terhadap anggaran yang terjadi di beberapa instansi.

Tidak heran kemudian, jika pemberantasan korupsi di Indonesia selama 2,5 tahun lebih ini dinilai berjalan lambat dan hasilnya kurang signifikan seperti yang diharapkan oleh banyak kalangan. Dari ranking pun, posisi negeri ini masih tidak begitu menggembirakan. Survey terbaru yang dilakukan oleh PERC yang berbasis di Hingkong, menunjukkan bahwa negeri ini bersama Thailand hanya turun satu tingkat di bawah Filipina dan dinyatakan sebagai negara paling korup.

****
Direktur Informasi dan Akuntansi Departemen Keuangan Hekinus Manao mengakui soal lemahnya sumberdaya manusia yang secara teknis menguasai keuangan menguasai bidangnya di hampir seluruh departemen dan lembaga pemerintah non departemen (LPND). Akibatnya banyak pengelola anggaran di departemen dan LPND, yang ”tidak nyambung” saat berkomunikasi perihal pengelolaan keuangan, dan gagal menyusun sistem pembukuan yang baik dan sesuai dengan prinsip-prinsip keuangan yang transparan dan akuntabel. Padahal, pemerintah sudah menetapkan Sistem Akuntansi Pemerintah (SAP) yang berlaku di pemerintah pusat dan pemerintahan daerah di provinsi hingga kabupaten.

Parahnya lagi, banyak tenaga akuntan yang justru setelah lulus langsung menjadi tenaga pemeriksa keuangan atau justru berperan setelah adanya penyimpangan dan penyelewengan keuangan, dan bukannya bekerja di departemen dan LPND untuk mengelola dan menyusun anggaran di departemen. Jadi ibaratnya jadi tukang make up, yang berperan bagaimana mempercantik laporan keuangan bukannya bagaimana cara mencegah terjadinya kebocoran atau penyelengan anggaran.

Memang menjadi wajar adanya jika pemberantasan korupsi tidak kunjung menuai hasil yang signifikan, factor manusia yang memiliki kompetensi dan kapasitas yang memadai untuk mengelola dan mengawasi keuangan belum diberlakukan. Tentu ini bukan berarti memaklumi atau memaafkan terhadap tetap tingginya kecenderungan korupsi. Di sini, tampaknya akar persoalan yang bisa menjelaskan mengapa korupsi masih saja terjadi. Dan ternyata, cukup mengejutkan, pengawan dan pengelolaan keuangan banyak dipegang oleh orang yang tidak memiliki disiplin dan komtensi yang memadai.

Pada saat yang sama, system pengawasan yang selama ini berjalan ditengarai sebagai amburadul. BPK sebagai badan pemeriksa keuangan memang berperan sebagai auditor eksternal yang selalu bekerja setelah anggaran berjalan. Sementara pada saat berjalan, diakui memang ada Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, tetapi sayangnya badan ini tidak ditebarkan atau menempatkan orang-orangnya di seluruh departemen dan LPND, sehingga bisa mencegah terjadinya penyimpangan keuangan yang potensial terjadi.

***
Membahas masalah mengapa negeri ini tidak kuncing peringkatnya sebagai Negara yang rapornya merah dalam memberantas korupsi, tenyata persoalannya banyak dan hamper tidak jelas mana ujung dan mana pangkal. Tak ubahnya membuka kotak Cina, di mana satu kotak, kalau dibuka ada kotak lagi, begitu terus menerus tak ada habis-habisnya.
Padahal persoalannya sederhana, kunci dari pemberantasan korupsi sebenarnya dibangunnya sistem yang dimulai dari perencanaan keuangan, pengelolaan dan pengadministrasian serta pengawasan dan pemeriksaan keuangan, sehingga orang semakin kecil menggunakan peluang penyimpangan.

Bisa jadi salah satunya memang masalah system dan kapasitas orang yang mengelola dan mengawasi keuangan. Secara teoritik memang bisa bisa dibenarkan bahwa akuntan bisa membangun dan menata sistem pengelolaan keuangan dan mencegah korupsi di departemen dan LPND. Yang menjadi soal adalah bahwa persoalan korupsi di negeri ini tidak bisa dilihat semata-mata sebagai persoalan teknis administrative, ada persoalan yang jauh lebih substansial dan mendalam dari itu semua. Tetapi juga persoalan kultur yang sudah lama dan mendarah daging,. Tetapi bukannya tidak peluang, sebab kultur itu bisa dikikis habis denngan adanya system dan kepempinan yang bisa menjadi panutan moral dan politik damam memberantas korupsi.
Ellyasa KH Darwis

Network