Dari Multilateral ke Bilateral?

Opindo, edisi 35 5 -11 Peb. 2007

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menganggap keberadaan forum Consultative Group for Indonesia (CGI) tak diperlukan lagi. Negeri ini, sudah bisa mandiri dalam mengatasi permasalahan utang luar negerinya, tanpa melibatkan forum yang dibentuk pada 1992 itu. Dengan lantang SBY mengatakan ''Saya memandang perlu untuk mengakhiri format yang kita sebut dengan forum CGI. Tahun 2007 ini saya nyatakan tidak perlu lagi ada forum CGI seperti dulu.

Selama berhubungan dengan CGI, Indonesia diharuskan memaparkan rencana pembangunannya, kemudian dibahas, dikritisi, dan selanjutnya diberikan komentar. Baru kemudian diberi hutang. Dengan bubarnya CGI itu, maka semua itu sekarang tidak diperlukan lagi. Tekad SBY jelas, ingin menegakkan sikap kemandirian dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Dengan bekal kemandirian itu, maka semua lini pemerintahan, baik pusat maupun daerah, dapat menyusun rencana pembangunan dan anggaran yang tepat sasaran dengan skala prioritas mengurangi kemiskinan, menekan pengangguran, peningkatan pendidikan, kesehatan, produksi pangan, dan kecukupan energi.

Tapi nanti dulu, dengan dibubarkannya CGI itu tidak dengan sendirinya negeri ini tak lagi mengandalkan hutang luar negeriu. Menkeu, Sri Mulyani, pagi-pagi sudah menjelaskan bahwa pemerintah akan mengandalkan pendekatan bilateral jika ingin berutang. Setidaknya ada tiga kreditor besar dan dianggap penting perannya, yakni Bank Dunia, ADB, dan Jepang. Dengan pola bilateral seperti itu, konon, posisi tawar Indonesia menjadi lebih tinggi. Kenyakinan itu berdasarkan kenyataan bahwa sumber pembiayaan pemerintah untuk menutup defisit APBN kian terdiversifikasi, bisa dari penerbitan surat utang negara atau privatisasi. Tegasnya, 'APBN tidak lagi tergantung pada utang luar negeri. Jika demikian formulasinya, memang benar adanya dan begitulah yang terjadi.

*****

Sebelumnya, banyak kalangan yang mengkampanyekan upaya penghapusan utang luar negeri yang selama ini sangat membebani APBN. Tahun 2005 yang lalu misalnya, disebut-sebut sebagai momentum emas untuk menegosiasikan pengurangan utang. Saat itu banyak kalangan yang berharap SBY jangan dulu mengambil utang baru. Selain kewajiban membayar utang yang tak terpikulkan, akibat conditionalities yang belum terpenuhi, cukup banyak utang lama yang masih tersimpan di bank menunggu pencairan.

Sayangnya, kesempatan emas untuk memperoleh keringanan utang lewat Paris Club berakhir antiklimaks. Jumlah utang yang ditangguhkan pembayarannya dan juga jangka waktu penangguhannya bahkan lebih kecil dari yang disebut-sebut oleh para kreditor sebelumnya. Semua ini, konon, karena diplomasi delegasi kita yang "kedodoran". Sulit dipahami bahwa negeri yang oleh Bank Dunia dikategorikan sebagai severely indebted low income country (SILIC) ini, seperti yang diungkapkan ketua delegasi Indonesia di Paris Club, tak butuh penghapusan utang.

Pada era Megawati Soekarnoputri, misalnya, ada tawaran utang dari Bank Dunia melalui pinjaman konsesional (IDA) dengan bunga nol persen berjangka 35 tahun yang biasanya diberikan kepada negara-negara dengan tingkat kemiskinan sangat tinggi. Namun, tawaran itu dikomentari Menko Ekonomi waktu itu bahwa pemerintah menerima bantuan tersebut, tetapi menolak kategori Indonesia sebagai negara miskin.

Negeri ini, diakui atau tidak telah jadi negara miskin karena kebaratan utang luar negeri. Jadi ttanpa adanya keringanan utang (debt relief), terutama berupa penghapusan sebagian utang luar negeri, Indonesia dilansir akan terjerumus ke dalam krisis yang lebih besar. Sinyalemen tersebut berdasarkan data tentang rasio cicilan dan bunga utang terhadap ekspor, rasio total utang terhadap GDP, dan rasio total utang terhadap ekspor yang jauh di atas ambang batas kewajaran.

Padahal penghapusan utang, seperti dilakukan Argentina yang hanya akan membayar sebagian, yaitu paling banyak 41,8 miliar dollar AS dari 102,6 miliar dollar AS utang luar negeri dan itupun akan dikonversikan ke dalam bentuk obligasi baru yang memiliki jangka waktu yang panjang.

**

Kabarnya wacana pembubaran forum CGI telah dipertimbangkan sejak dua tahun silam. Perannya yang hanya mengoordinasikan negara donor, dinilai tak efektif. Jika demikian peran dan fungsinya, maka pemerintah cukup deal (utang) secara bilateral dan informal terkoordinasi dengan beberapa negara dan lembaga internasional..

Harus dicatat memang, sejak 2004, Depkeu menerapkan kebijakan mengurangi sumber pembiayaan APBN dari utang luar negeri. Pemerintah memprioritaskan pada sumber pembiayaan dari penerbitan surat berharga negara (SUN). Ini agaknya salah satu formulasi yang jika sungguh-sungguh direalisasikan, akan mengantarkan negeri ini dari l utang yang selama ini didominasi sejumlah negara yang memililki agenda tertentu. Utang Luar negeri, harus betul-betul digunakan untuk membangun infrastruktur vital. Jika langkah ini dilakukan, maka utang tidak lagi membebani APBN.

Yang jadi soal kemudian, dan ini agaknya yang harus dicermati secara seksama oleh banyak kalangan, bubarnya Consultative Group on Indonesia (CGI) bubarnya CGI tidak berpengaruh terhadap perekonomian nasional jika pemerintah masih tetap saja berutang kepada negara-negara atau pun lembaga eks anggota CGI. Sebab yang akan menjadi pembeda Cuma hanya hanya negosiasinya: jika sebelumnya melalui forum multilateral sekarang menjadi bilateral.

Benar saja, tak lama setelah pembubaran itu Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencana Pembangunan Nasional Paskah Suzetta, akan segera mengintensifkan negosiasi secara bilateral terhadap utang-utang lama yang tertunda pembayarannya dan utang-utang yang sedang berjalan total senilai 83 miliar dollar AS। Negosiasi terhadap utang lama mencapai 67 miliar dollar AS untuk pembayaran pokok maupun bunga utang.

Ellyasa KH Darwis

Network