Peningkatan PAD dan Kerusakan Lingkungan

Opini Indonesia, edisi 33/25-30 Desember 2006

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mensinyalir adanya hubungan antara peningkatan PAD dan kerusakan lingkungan. Hubungan itu terjadi disebabkan karena pemerintah daerah lebih memprioritaskan kenaikan pendapatan asli daerah (PAD) daripada menjaga lingkungan alamnya. Kerusakan alam itu, terjadi sebagai akibat dari pemberian izin bagi perluasan perambahan di kawasan hutan lindung, hutan produksi dan kawasan perkebunan, serta kawasan pemukiman.

Tentu, sinyalemen BPK itu bukan sinyalemen kosong tetapi berdasarkan hasil audit BPK terhadap pengelolaan dan pengendalian lingkungan di daerah aliran sungai (DAS) Bedadung, Jember, Badan Pengelola DAS Sampean, serta Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur II dan sejumlah instansi terkait lingkungan di Surabaya, Malang, Bondowoso dan Jember, Jawa Timur.

BPK sebelumnya melaksanakan audit menyusul terjadinya bencana longsor dan banjir bandang di awal tahun 2005 lalu yang menyebabkan puluhan korban jiwa meninggal dan luka-luka. Pada kasus Jember misalnya, Perusahaan Daerah Perkebunan Kabupaten Jember selama periode 2001 hingga 2005 lalu hanya mengejar kontribusi PAD dari perkebunan itu, yang hanya sebesar Rp 8,59 miliar. Namun, sama sekali mengabaikan kondisi lingkungannya, sehingga sistem penanaman kopi yang monokultur di kawasan perkebunan tersebut justru kurang melindungi tandah terhadap curah hujan yang tinggi. Akibatnya, itu memicu terjadinya longsor ke Sungai Dinoyo dan Kali Putih di Jember.

BPK menilai, pemerintah pusat dan daerah belum merancang dan melaksanakan sistem pengendalian yang efektif untuk mencegah kerusakan lingkungan di kawasan DAS. Pemerintah dinilai tidak dapat mengetahui dnegan cepat untuk mengantisipasi kerusakan lingkungan yang memicu bencana. Koordinasi pengendalian kerusakan lingkungan antarintansi di pusat maupun daerah belum berjalan baik, sehingga kegiatan masing-masing instansi tidak terpantau dan tidak terkait sama sekali.

Temuan BPK itu tentu bukan suatu yang mengejutkan. Kecenderungan yang yang terjadi sejak Otonomi Daerah memang, pembangunan daerah yang lebih berorientasi pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sering melupakan kondisi ruang dan Sumber Daya Alam (SDA) yang tersedia. Juga mengabaikan sama sekali perimbangan antara aspek ekonomi, sosial budaya, dan ekologis. Akibatnya, pemanfaatan ruang dan SDA menjadi tidak terkendali, serta tumpang-tindihnya (overleaping) peruntukan ruang apalagi jika tak disertai langkah-langkah antisipatif dan perbaikan.

****

Kecenderungan yang terjadi belakangan ini memang banyak pemerintah daerah yang ingin berlomba-lomba memacu PAD. Gengsi dan martabat pemerintah daerah tampaknya hanya diukur sebarapa besar PADnya. Ini yang kemudian banyak pemerintah daerah yang kemudian mengabaikan kaidah-kaidah ekologis dan kelestarian lingkungan diabaikan. Pada saat yang sama, pengamanan dan penegakkan hukum juga tidak optimal. Tata ruang tak terkelola dengan baik, menyebabkan.ruang ekologi saat ini sangat terdegradasi, sebagaimana tampak pada menurunnya kemampuan hutan sebagai tangkapan air di daerah hulu-hulu sungai (fungsi hidro-orologi) dalam menjaga keseimbangan DAS. Tidak heran kemudian jika air sungai pun mengalami fluktuasi. Kasus banjir dan longsor yang terjadi pasa musim penghujan sekarang ini merupakan contoh kasus yang bisa ditunjuk.

Maraknya terjadi bencana tanah longsor dan banjir bandang saat curah hujan intensitasnya tinggi (yaitu 178 mm/hari dari curah hujan normal 32 mm/hari), akan dengan mudah menggerus kawasan yang rentan longsor khususnya kawasan yanga kelerengannya yang curam (>40 derajat). Pada sisi lain, tak jarang kondisi itu diperburuk dengan dengan adanya kegiatan perusahaan perkebunan, juga aktivitas masyarakat untuk berladang, padahal daerah itu seharusnya menjadi kawasan lindung.

****

Salah satu akarnya adalah selama ini otonomi diidentikan dengan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang harus dipenuhi setiap kepala daerah dan wajib dicantumkan dalam setiap laporan pertanggungjawabannya. Hingga setiap daerah memacu jumlah PAD sebesar-besarnya dan menyebabkan terkurasnya SDA pada titik kritis. Laporan Bank Dunia tentang hutan di Sumatera misalnya, jika tidak dilakukan upaya sistematis, maka akan habis tahun 2010.

Dengan atas nama PAD memang, banyak daerah yang kemudian ramai-ramai memaju diri untuk meningkatkan daerah. Sayangnya, yang menjadi lumbung utamanya adalah kekayaan alam. Sementara masalah-masalah yang selama ini problematis dan menjadi aspirasi warga, seperti tuntutan pengakuan kawasan-kawasan adat, tidak dilakukan. Pendek kata, alam dieksploitasi dan mengabaikan mekanisme konsultasi publik.

Wajah kemudian, jika pelaksanaan otonomi daerah sejalan dengan menurunnya kualitas lingkungan. Salah satu kasus yang paling aktual adalah kerusakan hutan yang kian tajam. Perhitungan Dephut, deforestasi selama 3 tahun sejak era Reformasi dan otonomi telah melampaui angka 2,5 juta hektar pertahun dari rata rata sebelumnya 1,6 juta hektar pertahun.

UU No.22 tahun 1999 dan UU 41 tahun 1999 diterjemahkan berbeda-beda sesuai dengan kepentingan masing-masing daerah. Tidak heran kemudian jika kemudian bermunculan PERDA yang sangat teknis, sektoral dan tidak ramah terhadap lingkungan.

Peraturan yang tumpang tindih, konflik sosial yang melibatkan berbagai elemen masyarakat, perencanaan pengelolaan lingkungan yang tidak ak urat, kurangnya koordinasi, serta maraknya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang merata di semua strata, menga ibatan realitas pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia makin menjauh pembangunan yang ramah linngkungan। Hasil audit lingkungan BPK secara langsung telah mengatakan itu.
Ellyasa KH Darwis

Network