Jika Aspirasi Tak Terwakili Lagi...

Opini Indonesia, edisi 32/18-24 Desember 2006

ADALAH Mantan Ketua DPR Akbar Tandjung yang menilai terjadinya perpecahan sebuah partai politik hingga menyebabkan munculnya partai baru disebabkan tak tersalurkannya aspirasi politik sebagian anggota atau pengurus partai tersebut.

Masih menurut Akbar, tentu semua punya alasan membentuk partai baru, mungkin karena menganggap aspirasinya sudah tidak sesuai dengan awal pendirian partai. Dengan cara pandang itu, sebagian kader parpol yang sudah tidak sejalan itu kemudian mencoba meluruskan dengan mendirikan partai baru. Tentu saja, itu suatu yang sah-sah adanya. Dan membuat partai alternatif, mungkin bisa menjadi wadah untuk mengartikulasikan kepentingan atau aspirasinya yang sudah tidak sejalan dengan partai sebelumnya.

Jika dicermati secara seksama, terdapat beberapa alasan mengapa membuat partai baru. Tetapi salah satu kecenderungan yang dominan dalam belantara politik negeri ini adalah, mereka yang kemudian membuat partai baru, adalah kelompok atau faksi-faksi yang kalah dalam pertempuran internal. Ini bisa terjadi, karena sebagian besar konflik internal yang terjadi dalam tubuh partai politik adalah konflik yang habis-habisan dengan biasanya mengambil jalur hukum sebagai cara untuk menyelesaikan konflik. Jadi kemudian yang terjadi adalah ‘pertempuran’ habis-habisan, pertempuran kalah dan menang.

Akibat konflik yang berlarut-larut ini, biasanya partai politik tidak sempat mengurusi konstituennya dan sebaliknya, segala daya dikerahkan untuk memenangkan pada jalur hukum. Sibuknya partai politik bertikai habis-habisan itu, memang menunjukkan bahwa partai politik itu menjadi wahana kepentingan elitnya masing-masing untuk berakrobat mempertahankan statusnya masing-masing. Tentu ini, suatu ironi politik tersendiri. Partai yang seharusnya mengagregasikan dan mengartikulasikan kepentingan rakyat, sekarang justru dilanda perpecahan

****

Jika ditelisik secara seksama, sebagaimana sering dikemukakan para pengamat politik, perpecahan partai politik biasanya dipicu oleh dua faktor penyebab: faktor internal dan eksternal. Secara internal, konflik akibat terjadi perbedaan pandangan politik yang berujung pada perbedaan penyikapan, yang tidak dapat dipertemukan, apalagi setelah terbungkus oleh ego politik individu atau kelompok. Kadar pragmatisme dapat dijadikan ukuran untuk menilai sejauh mana egoisme politik tersebut mengerucut.

Hal tersebut dapat dialami oleh partai berdasar ideologi tertentu atau pun yang bersifat catch-all alias menghimpun segala corak latar-belakang para aktivis politiknya (plural). Dalam partai mono-ideologis, bukan pertengkaran perbedaan menafsirkan ideologi yang dipercayainya ke dalam format politik riil, tetapi yang kelihatan dominan belakangan adalah semata-mata pertengkaran pragmatis–amat terkait dengan perebutan alokasi sumber daya kekuasaan.

Demikian pula atas jenis partai cacth-all. Unsur-unsur penopang "menyatu-memudar"-nya bukan karena persoalan bagaimana mereka memperkuat basis ideologi yang menyatukannya, tetapi lebih ditentukan oleh magnet pragmatisme–di mana amat terkait dengan kekuasaan dan (mohon maaf) uang. Dimensi kepatutan (etika) politik pun tersingkir.

Secara eksternal, biasanya, yang paling utama dikaitkan dengan "faktor pemerintah". Ada pertanyaan baku, walaupun sesungguhnya bersifat "amat menuduh" dalam hal ini: sejauh mana pemerintah berhasil mengintervensi parpol-parpol. Tidak menjadi soal utama kalau parpol tersebut adalah "parpol pemerintah" atau mendominasi pemerintahan. Tetapi kalau tidak dominan, apalagi "oposisi", maka pertanyaan di atas layak dikemukakan.

Kestabilan dan dinamika pemerintahan di masa demokrasi longgar dewasa ini, tak lepas dari kiprah dan sikap parpol-parpol. Tentu saja, siapa pun yang memerintah pasti membutuhkan dukungan parpol-parpol, serta seoptimal mungkin menekan kehadiran "oposisi". Pada zaman-partai-partai saat ini, kerap pemerintah susah untuk memperoleh dukungan optimal dari mereka secara murni berdasarkan kepentingan "kesamaan visi" semata. Pastilah ada pertimbangan pragmatis, dan bisa jadi ia lebih (amat) menonjol.

***

Statemen Akbar Tanjung, seolah-seolah mengkonfirmasi dan melegetimasi kecenderungan yang terjadi sekarang ini. Seperti diketahui bersama, partai-partai besar dan partai kecil, selama ini tak lepas dari konflik yang berujung kepada perpecahan dan berakhir dengan pihak yang kalah keluar dan mendidirikan partai baru. Sebut saja contoh PKB, PDI-P, PPP, PAN dan sampai batas tertentu juga Golkar.

Jelas dengan perpecahan demi perpecahan yang terjadi, membuat proses institusionalisasi partai politik di negeri ini tidak kunjung terjadi. Pada tataran internal, upaya konsolidasi, kerja sama sulit terwujud, dan terjadi polarisasi polarisasi atau pengelompokan (klik) pascakonflik.

Dengan menderikan partai baru, tentu sumberdaya partai akan berkurang. Kader yang potensial dengan segenap barisannya akan migrasi politik dan tentu saja akan mengurasi dayadukung partai dalam kontestasi politik dalam Pemilu.

Pada tataran eksternal, berpengaruh terhadap kinerja dalam memainkan fungsi dan peran sebagai wahana artikulasi kepentingan politik rakyat. Peran partai politik sebagai jembatan antara rakyat dengan pemerintah tidak berjalan. Pada sisi lain, tentu komunikasi politik, sosialisasi politik, rekruitmen politik, dan pengatur konflik jelas tidak akan berjalan.

Network